Aku hanya diam ketika mobil yang dikemudikan oleh Arlo sudah berjalan memasuki jalan tol---yang jumlah kendaraannya sangat sepi.
Bahkan sejak mobilku berjalan dari toko---aku tidak mengeluarkan sepatah kata saja untuk Arlo.
Fano sudah tertidur, entah. Dia bosan atau bagaimana aku tidak mengerti. Dia menguasai kursi penumpang bagian belakang---sendirian.
"Kamu marah Ste?" Arlo berbicara tanpa memandangku.
"Sedikit," aku juga demikian menatap jendela di sebelah kiri.
Arlo kemudian diam lagi, aku juga demikian. Hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras. Apa mungkin semesta sedang menunjukan kalau sedih---melihat sikap dinginku ke Arlo?
"Kenapa kamu memaksa ikut ke Malang?" Pertanyaan itu terlontar ketika mobil memasuki gerbang tol ke dua.
Arlo berdeham, memang bisa saja Arlo menginap di rumah. Tetapi aku masih harus membatasi diri, karena statusku masih menjadi istri Elano. Tidak enak juga sama Surti dan Tejo---takutnya mereka berpikir yang macam-macam.
Tanganku yang sebelah kanan, ditarik oleh Arlo di atas pahaku. Aku kali ini mengenakan celana panjang serta jaket---cuaca di luar memang dingin.
Fano juga demikian---dia sudah memakai baju tidurnya. Dengan bagian atas juga tertutup oleh jaket.
Kubenarkan posisi kacamata---lalu aku duduk tegap. Sambil menatap ke arah Arlo. Yang belum menjawab pertanyaanku tadi.
"Apa?" Tanyanya risih---saat aku pandangi lama.
"Kenapa kamu maksa ikut ke Malang?" Tanyaku berulang.
"Karena aku sudah lama tidak ke makam Ayah dan Ibu, Ste. Tenang, kamu jangan berpikiran yang macam-macam. Aku di Malang masih punya rumah kok," tangan kiri Arlo masih berada di atas tanganku.
Aku benar-benar dihantam oleh rasa malu, lupa kalau Arlo juga asli Malang. Memang ya, berpikiran juga memiliki prasangka negatif itu tidak baik bagi diri sendiri.
Entahlah, aku juga bingung. Kenapa diriku tiba-tiba menjadi seperti ini setelah Arlo muncul. Serius, sebelumnya tidak pernah.
"Maafkan aku, Ar," tidak ada kata lain yang bisa kuucapkan selain maaf.
Arlo berdeham, "aku tahu, kamu pasti takut kalau aku tiba-tiba minta tidur di rumahmu?"
Dengan polosnya, aku mengangguk. Arlo mengelus tanganku lagi, entahlah. Rasa yang aneh muncul. Ketika Arlo melakukan adegan itu. Manusiawi.
Mungkin karena aku sudah lama tidak bertemu dengan Arlo---jadinya pemikiranku ke dia hanya negatif saja.
Aku menoleh ke arah Fano---dia masih memejamkan mata, setelah membalik posisinya dari telentang ke tengkurap.
Tuhan, sakit sekali hatiku ketika melihat Fano tertidur. Bukan karena apa, melainkan tidak kuasa dia menjadi korban hubunganku dengan Elano secara tidak langsung---walau dia belum sebegitu mengerti, tentang hubungan rumah tangga.
"Kamu mau tidak ikut melihat makam kedua orangtuaku?" Pertanyaan Arlo itu membuatku tersadar---bahwa nasibku dan dia sama.
Sudah tidak memiliki kedua orangtua---dan, tidak lagi bisa merasakan rasa hangatnya pelukan mereka itu benar-benar menyakitkan.
---
"Bu, sebenarnya kita ke rumah mau ngapain?" Pertanyaan Fano membuatku langsung membuka mata dari tidur.
Ya, Fano pasti sedikit marah. Karena baru saja sampai di Surabaya, secara tiba-tiba kembali ke Malang.
Kalau tidak ada hal yang mendesak, mungkin aku masih berada di Surabaya. Kedua, ternyata surat panggilan sidang perceraian yang kedua sudah datang kemarin, saat aku masih perjalanan.
Untungnya, jadwal sidang perceraian dan sidang penjatuhan hukuman untuk Elano. Tidak pada hari yang sama---melainkan besoknya.
Jadi aku harus menahan diri, untuk tidak buru-buru ke Surabaya. Padahal aku penasaran, bagaimana wajah-wajah karyawanku di sana.
"Ibu nanti ke Pengadilan Negeri, kamu di rumah saja ya. Besok, setelah Ibu sidang perpisahan. Janji deh, langsung ke Surabaya lagi." Aku memutar posisiku dari yang memunggungi Fano, menjadi berhadapan dengan dirinya.
Gawai yang ada di nakas, bergetar. Ada pesan masuk, aku segera bangkit dari posisiku menjadi bersandar pada dinding.
Nama Arlo ada di sana, aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Memang benar, ada pesan masuk dari Arlo.
Arlo: Ste, sudah bangun? Aku temani sidang ya?
Ya, selama perjalanan kemarin aku dan Arlo saling bercerita. Terlebih tentang asal mula kasus yang membuatku dengan Elano harus berpisah. Luka hati yang lama sekali aku pendam.
Serta kejadian yang dibuat oleh Elano---membuatku pusing bukan kepalang. Aku juga bercerita kedatanganku ke Malang untuk apa, makanya tadi Arlo mengirimkan pesan seperti itu.
Aku jadi teringat perkataan Arlo tadi malam, membuatku tersadar apa pentingnya kesetiaan yang kuat dalam suatu hubungan.
"Ste, tidak ada hubungan yang awet jika kesetiaan dan kepercayaan itu sudah dipupuskan oleh salah satunya.
Ini bukan soal percintaan saja, tetapi juga dalam dunia kerja. Kamu juga sudah tahu pasti tentang ini Ibu Stefa?" Ucapnya sambil kedua tangan memegang kemudi mobil.
Pesan masuk lagi dari Arlo, langsung terbaca. Karena aku masih berada di dalam ruang obrolannya.
Arlo: Balas Ste.
Tidak, memang aku tidak langsung membalasnya. Kupikirkan matang-matang, apa yang akan terjadi jika aku mengajak Arlo ke sana? Terlebih lagi bertemu dengan Elano.
Antara sisi kanan dan kiri, mulai memberikan pendapat baik dan buruk. Lantas kenapa juga aku takut Elano cemburu? Padahal, sebentar lagi kita akan berpisah.
Sadar Stefa, batinku sambil menepuk kedua pipiku.
"Ibu kenapa?" Fano yang juga dalam posisi duduk---memandangku.
"Ibu tidak kenapa-kenapa, Nak." Aku mengelus pipinya dengan tangan kiriku.
Segera kuketikan pesan untuk Arlo, mengantungkan sesuatu terlalu lama itu tidak baik---termasuk kepastian.
Stefa: Boleh, Ar.
Bersambung...
Hai, maaf menunggu lama. Aku baru pulih dari sakit.
Bab ini pendek? Sengaja, supaya kalian penasaran bagaimana dan apa yang terjadi nanti di Pengadilan Negeri?
Spam komentar dan vote, follow akunku juga!
Terima kasih sudah mau sabar,
Al.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Istimewa Untuk Suamiku 1 (Dewasa)
Fiksi UmumVOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! "Bangkai itu tidak bisa ditutupi, Mas!" Stefa Azika Isabella, pemilik Toko 29 sedang menyelidiki secara diam-diam perselingkuhan suaminya Elano Kenzo Gautama---dibantu oleh asisten pribadinya. Perselingkuhan Elan...