"Selamat pagi rekan-rekan semuanya, bagaimana kabarnya?" Aku menatap orang yang penting di depanku.
Seperti sudah lama tidak melihat mereka dan menginjakan kaki di sini, padahal baru satu bulan. Aku sangat rindu dengan kehangatan yang ada di kantor ini.
Mereka hanya tersenyum dan bilang 'baik'. Ucapan selamat atas pembukaan toko dan restoran di Surabaya keluar dari mulut mereka masing-masing.
"Kita akan membahas laporan penjualan dan kendala para karyawan-karyawan kita,
Seperti biasa, jangan ada yang iri dengan omset dan bonus yang akan didapatkan oleh tempat dengan keadaan ramai." Aku menatap semua---secara bergantian.
Pras, memberikan sebuah buku laporan yang sudah dia kerjakan sejak awal. Aku sedikit salut dengan dia.
Mengelola dan menghimpun data dari semua tempat.Terlebih lagi, bulan depan ketambahan data dari Surabaya.
Aku meneliti satu demi satu data yang sudah tertata rapi di berkas merah ini---ternyata selama aku tinggal ke Surabaya.
Toko ini mengalami kepesatan yang lumayan tinggi dibandingkan semua restoran dan juga toko utama. Entah, apa mungkin orang-orang lebih suka berbelanja daripada makan?
"Wah, ternyata toko kita yang memiliki omset atau pemasukan yang lumayan tinggi. Jadi yang mendapatkan insentif atau bonus adalah Toko 29 cabang kedua dan karyawannya." aku bertepuk tangan dan diikuti oleh semua orang. Termasuk manager Toko 29 itu sendiri.
"Untuk bonusnya, nanti bisa diambil ke ruangan Pras. Dan, langsung dibagikan kepada semuanya ya. Jangan lupa dokumentasinya," aku tersenyum lagi.
Layar gawaiku tiba-tiba menyala, ada sebuah notifikasi pesan dari Arlo di sana. Tidak tahu tulisannya apa, tetapi aku masih ingin melanjutkan membahas urusan kantor dahulu.
Karena tidak baik, masalah rumah dibawa ke tempat kerja itu. Membuat fokus terganggu dan menjadi pecah pemikiran.
"Selanjutnya, kita akan membahas kinerja karyawan di semua tempat ya."
Aku mulai menunjuk pemimpin pertama untuk bercerita kendala apa yang dihadapi selama satu bulan lalu. Mengenai pelanggan atau juga karyawannya.
Kudengarkan laki-laki di depanku ini berbicara tanpa sesekali memotongnya dan mengalihkan pandangan ke objek lain.
Laki-laki ini bercerita bahwa sebulan kemarin tidak ada kendala yang dialami di tempatnya. Melainkan hanya selalu diuji kesabaran untuk memegang pengunjung menyebalkan.
Memang watak konsumen itu beda-beda, tetapi tanpa ada pengunjung. Tempat kita tidak akan bisa maju dan berputar.
"Untuk soal pengunjung, memang tidak ada solusinya ya," aku mulai memberi keputusan.
"Semua tetap yang sabar, saat menghadapi konsumen. Tanpa konsumen kita tidak akan bisa berdiri sampai sekarang," sambungku sambil menatap semuanya.
Sesi bercerita mereka terus bergulir hingga pukul sepuluh pagi, aku juga memberikan masukan-masukan untuk toko yang mereka pegang supaya tetap kondusif.
Kulihat ada delapan panggilan keluar dari Arlo. Memang---selama rapat tadi gawai kubalik, layarnya ada di bawah.
Ternyata tidak hanya panggilan keluar saja---ada satu pesan yang baru saja kubuka. Aku tersenyum saat membaca isinya.
Arlo: Sayang, bagaimana? Apa aku bisa ke sana sekarang? Sudah rindu.
Pesan itu dikirimkan beberapa jam yang lalu, padahal dia tadi pamitan untuk istirahat sejenak. Dan, aku juga Arlo janjian siang.
Aku benar-benar seperti kupu-kupu saat membaca kata rindu yang dikirimkan oleh Arlo. Terbang menuju ketinggian.
Kulihat lagi gawai yang ada pada genggaman tanganku---Arlo ternyata masih aktif jadi segera saja kuketik pesan balasannya.
Stefa: Hai, maaf baru selesai rapat Mas. Boleh, kutunggu di kantor ya.
Lihatlah! Pesan itu langsung dibaca olehnya. Arlo juga langsung mengetik.
Arlo: kamu lupa? Aku tidak tahu alamat kantor kamu.
Aku menepuk jidatku sendiri. Lupa kalau Arlo tidak pernah datang ke kantor yang ada di Malang.
Stefa: Jl. Serumpun Melati, Kavling 27-B. Bersebelahan dengan restoranku sendiri kok. Kutunggu ya, Mas.
Gawai kututup, segera aku berjalan turun ke bawah. Menuju restoran yang ada di sebelah. Menjamu tamu adalah satu hal penting menurutku.
Restoran ini sangat ramai, ada antrean di mesin kasir lumayan panjang. Aku kasihan kepada pegawai yang ada di kasir. Cuma satu orang.
"Managermu mana?" aku bertanya ke perempuan yang berada di kasir.
"Di ruangannya, Bu." jawabnya dengan sedikit nada gugup di telingaku.
Apa ini? Kenapa dia membiarkan karyawannya kelabakan? Aku mengedarkan mata---ternyata kapten restoran juga sama sibuknya. Harus berpindah-pindah pos.
Tanpa banyak bicara, aku segera naik ke kantor manager itu. Paling tidak suka melihat seorang pemimpin hanya sekadar menyuruh tanpa ikut turun tangan, padahal waktu-waktu ramai ini sangat butuh orang banyak.
Pintu ruangan kerjanya tidak terkunci, kulangkahkan kaki dengan tegas menuju ke dalam. Aku terlonjak ketika melihat seorang pemimpin, merokok dengan santai.
"Bagus, ya. Bagus sekali," aku berbicara sambil menepuk tangan.
Kontan laki-laki itu langsung memutar kursinya menghadapku, "Bu---Bu Stefa?"
"Pantas saja, tadi kamu bilang tidak ada kendala soal karyawan. Kamu saja tidak tahu karyawanmu kelabakan di bawah." aku tersenyum ke dia, Ilyas namanya. Usianya lebih muda daripada aku.
Ilyas langsung bangkit berdiri dan mengucapkan mohon maaf berkali-kali kepadaku. Ya, memang semua pemimpin tidak berdiam di satu tempat saja. Alurnya masih sama seperti dahulu.
"Saya minta maaf, Bu. Saya tadi istirahat sebentar. Habis mengerjakan laporan," dia tidak berani menatapku.
"Apa kata anda? Mengerjakan laporan? Bukannya berkas laporan ada di kantor semua?
Di meja kerja setiap cabang hanya berisikan televisi untuk mengawasi melalui kamera. Juga sebagai tempat untuk rapat dengan karyawan. Anda lupa?" aku mendekatkan badanku ke dia.
Laki-laki itu hanya diam saja. Aku sangat membenci orang seperti Ilyas ini, mendapatkan gelar seorang pemimpin. Tetapi malah lepas tangan, tanpa ikut andil membantu mereka.
Dan, mencari pembelaan untuk membenarkan dirinya. Padahal itu terbukti sebuah kesalahan. Sungguh, aku tidak suka orang seperti dia.
"Mulai besok, anda turun menjadi karyawan biasa. Bertukar posisi dengan kapten dari cabang ini, biarkan kapten ini menjadi pemimpin yang sesungguhnya." aku menatap Ilyas dengan senyum merekah.
Ilyas seketika kaget mendengar kuturunkan jabatannya. Ini memang tidak bisa ditoleransi, karena akan terus seperti ini jika dibiarkan. Aku meninggalkan dia tanpa permisi, bukannya tidak memiliki rasa iba. Tetapi hal sekecil ini harus dibasmi dari perusahaan.
Tiba-tiba gawai berbunyi kembali, ada panggilan dari Arlo. Segera aku angkat panggilan itu.
"Halo, Mas," aku berbicara sambil berjalan turun. "Oh, kamu sudah sampai? Iya, iya aku masih di sebelah. Tunggu dulu ya sayang."
Setelah menutup panggilan aku sadar bahwa baru saja aku memanggil Arlo dengan sebutan sayang. Kusegera memesankan menu buat kami berdua makan.
Meskipun ini restoran milikku, tetapi kalau aku ingin makan. Pasti aku membayarnya. Bahkan di toko juga seperti itu. Karena, supaya penghitungannya jelas.
Bersambung...
HIUS sudah update ya. Jangan lupa vote dan komentar seperti biasanya.
Aku sayang kalian,
Al.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Istimewa Untuk Suamiku 1 (Dewasa)
General FictionVOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! "Bangkai itu tidak bisa ditutupi, Mas!" Stefa Azika Isabella, pemilik Toko 29 sedang menyelidiki secara diam-diam perselingkuhan suaminya Elano Kenzo Gautama---dibantu oleh asisten pribadinya. Perselingkuhan Elan...