Bab 32 - Pertanyaan Fano (1)

688 43 2
                                    

"Bapak sebelumnya sudah janjian dengan Mas Arlo?" tanyaku ketika mobil yang dikendarai oleh Pak Andika sudah berjalan.

Aku masih terbayang-bayang kejadian beberapa menit yang lalu. Ruangan kerjaku disulap menjadi sebuah restoran kecil---hasil karya para pegawai resto.

"Kamu tidak menjadi istriku?" Aku teringat ucapan Arlo saat itu, sambil ditangannya memegang sebuah cincin emas.

"Ya, aku tahu. Aku bukan orang kaya. Hanya seorang penjaga komplek perumahan, tetapi percayalah Ste. Aku bisa membahagiakan kamu dan Fano, anakku." Aku melihat ketulusan yang tercetak pada mimik wajah Arlo.

Dan, apa itu tadi? Dia menganggap Fano sebagai anaknya? Apa aku tidak salah dengar? Ya, memang selain kebahagiaanku dalam memiliki pendamping hidup lagi.

Aku juga memikirkan nasib Fano jika disandingkan dengan ayah sambungnya. Apa cocok atau tidak?

"Aku belum bisa menjawabnya, Ar. Akan kurundingkan dengan Fano, soalnya aku tidak sendiri sekarang. Sudah punya anak, sudah remaja," perkataanku tadi sambil pandangan terus lurus ke depan.

Tetapi aku sudah mengetahui dan juga menilai bahwa kedua orang ini satu sama lain sudah saling cocok. Seperti ayah dan anak kandung. Atau mungkin terpaksa demikian?

"Maaf, Bu. Sejak kemarin Pak Arlo sudah menghubungi saya. Ingin merencanakan lamaran itu," Pak Andika berbicara dengan pandangan ke kaca depan. Membuatku langsung tersadar dari lamunan.

Secepat ini? Secepat ini aku akan bertemu dengan sosok pengganti Elano. Aku masih takut, ketika cintaku yang tulus dipatahkan oleh perilaku menyakitkan hati.

Rasa trauma akan jatuh cinta terlalu dalam itu masih mengakar ke pikiran dan bersemayam dalam ingatan.

Memang ya, kebanyakan orang hanya mengingat secuil keburukan orang lain. Padahal, orang itu telah berbuat baik terus menerus.

Ajakan Arlo untuk menikah, masih belum bisa kuiyakan. Harus kurembukan dengan Fano, karena dia juga akan mendapatkan seorang ayah sambung.

Aku tidak mau kalau aku memaksakan kehendakku---berujung dengan terganggunya rasa nyaman dalam posisi Fano.

"Surti sudah bisa dihubungi?" Aku mencoba bertanya kepada Pak Andika.

"Terakhir belum bisa, Bu," Pak Andika menjawab lagi.

Kandungan Surti memang sudah besar, jadinya aku sedikit gusar terlebih lagi dia sedang berada di rumah hanya bertiga dengan Tejo dan Fano.

Surti memang sudah kusuruh untuk cuti hamil, tetapi dia menolak. Surti lebih ingin di rumah. Menemani Fano dan Tejo---sementara pekerjaan rumah dipegang oleh suaminya itu.

"Pak Andika bisa bantuin cari teman baru untuk Surti?" aku menatap ke arah jalan tol yang mulai ramai.

"Bi-bisa, Bu. Surti tidak dipecat tapi Bu?"

"Tidak, kasihan juga masa habis melahirkan langsung kerja. Biar nanti anak baru itu dibantu oleh Tejo. Tejo juga biar enteng pekerjaannya, nggak dobel-dobel," aku masih menatap kaca sebelah kiri.

Memang jalan raya sudah mulai ramai, banyak yang menuju ke Malang. Atau juga sebaliknya. Aku semakin percaya, hidup itu harus selalu maju. Merelakan apa yang telah terjadi itu perlu. Supaya, kita bisa melangkah maju.

---

"Assalamualaikum," aku membuka pintu.

Kontan aku kaget, ruang tamu dihias dengan pernak-pernik sederhana dan ada tulisan besar di banner berwarna merah bata. Dengan gaya tulisan Times New Roman.

Selamat Datang Ibu, begitu tulisannya. Fano berdiri di bawah kata-kata itu, sambil tersenyum ke arahku.

Surti menyambutku dengan duduk di kursi sebelah Fano sedangkan Tejo berdiri di belakangnya.

"Nak, apa ini?" aku berjalan ke anakku.

"Ini ide Mas Fano, Bu. Katanya menyambut datangnya Ibu kembali ke rumah ini," Surti berbicara sambil mengelus perutnya.

Tidak terasa air mata turun perlahan dari kedua bola mataku. "Ibu padahal hanya ke Surabaya," aku memeluk anakku.

"Sur, kandunganmu sudah besar ya? Ndak izin saja? Pulang kampung gitu?" pertanyaan ini kuulangi lagi.

Surti nampak menunduk, Tejo juga sama dalamnya dengan Surti. Ada apa ini? Apa aku salah bicara?

"Di kampung sedang sibuk berebut warisan peninggalan mendiang nenek, Bu," Surti mencoba berbicara dengan nada santai---tetapi aku mendengar ada getaran di sana. Saat dia menyebutkan kata warisan.

Kukira drama perebutan warisan adalah hanya ada di dalam sebuah film-film televisi yang semuanya itu hanya rekaan. Tetapi, ternyata tidak. Aku mendengarnya langsung.

Berebut warisan? Untuk apa? Ketika orang-orang pemilik harta itu telah pergi. Sekarang peninggalannya dijadikan ajang saling ingin memiliki. Lantas bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki cukup harta?

"Saya itu kasihan sama mendiang Nenek, karena akhir hayatnya tidak tenang," Surti tiba-tiba menangis dengan lirih.

Aku mengerti perasaannya Surti sekarang seperti apa? Benar-benar menyakitkan sekali. Kuelus tangannya dengan lembut.

"Sabar, kalau memang tidak mau pulang. Kamu bisa di sini, dikurangin kerjanya. Biar Tejo sementara yang memegang, sambil menunggu ada orang baru di sini," aku melihat keduanya secara bergantian.

"Terima kasih, Bu," Surti mendongak---tersenyum kepadaku.

Aku akan membuat nyaman orang yang telah membantuku sejak lama. Tanpa mereka mungkin, tidak bisa seberkembang ini usahaku.

"Pak Arlo nggak ikut?" Fano masih berdiri di tempat semula. Kali ini bersama Pak Andika di samping kanannya.

Aku langsung teringat, bahwa tugas besar masih menanti. Memberitahu kepada Fano dengan perlahan. Perihal ajakan untuk menikah.

"Nanti ngomong sama Ibu pas makan malam ya, Nak." Aku berjalan ke arah Fano---mengacak-acak rambutnya dan melanjutkan langkahku menuju kamar. Benar-benar perjalanan yang melelahkan, ingin beristirahat sebentar saja.

---

Tejo dan Surti berhasil menyulap bahan-bahan masakan yang aku beli di jalan tadi. Saat bertemu dengan tukang sayur perempuan yang usianya sudah lansia.

Sayur dan ikan itu sudah disulap menjadi menu yang menggugah selera makan menjadi langsung naik.

Makan malam kali ini, hanya berdua dengan Fano. Tidak ada orang lain. Surti dan Tejo memilih makan di kamarnya. Sedangkan Pak Andika sudah pulang ke rumah.

"Sini, Ibu ambilkan semua," aku menadahkan tangan ke Fano---bermaksud untuk mengambil piring di depannya.

Aku sekarang hanya memakai daster sedangkan anak laki-lakiku yang ada di depan. Memakai baju koko beserta sarungnya---baru saja selesai salat.

"Ibu tadi mau ngomong apa? Ini sudah dimeja makan," Fano berbicara dengan raut muka datar.

Jantungku tiba-tiba berdegup dengan kencang, "Pak Arlo mengajak Ibu menikah," sambungku pada akhirnya.

Aktifitas mengambil lauk---seketika aku hentikan. Ingin menunggu respon Fano yang tiba-tiba mematung.

"Menikah? Kalau Ibu menikah dengan Pak Arlo. Dan punya keluarga lagi, Ibu akan meninggalkanku di sini?" Tatapan Fano fokus ke aku saja. Tidak ada objek lain---walau Tejo baru saja datang mengantarkan jus semangka madu.

Bersambung...

Bagian baru lagi, jangan lupa spam vote dan komentarnya ya.

Terima kasih banyak sudah membaca sampai bagian ini. Oh iya, aku baru saja menulis dua kisah baru itu judulnya Not the Last dan After Graduate. Diramaikan ya.

Sayang kalian,
Al.

Hadiah Istimewa Untuk Suamiku 1 (Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang