Bab 4 - Tiket Liburan Ke Yogyakarta

4K 259 2
                                    

Rumah tangga bukan hanya untuk tempat pulang saja, tetapi juga membutuhkan kesetiaan supaya terus bahagia.

Stefa Azika Isabella

Tiga hari setelahnya, Elano baru sampai di rumah, tepat saat matahari akan terbenam. Laki-laki ini masih bisa tersenyum---dan memberikan anaknya sebuah martabak manis kesukaan Efano.

"Kamu dari mana, Mas? Kok lama keluar kotanya? Dan, kenapa gawaimu tidak aktif sampai sekarang?" Aku berkata setelahnya mencium tangan suamiku---mencoba bersikap manis. Walau hati benar-benar sakit.

"Enggg---tadi di perjalanan aku dirampok orang. Kamu tahu sendiri, aku tidak membawa mobil." Elano menjelaskan terbata-bata.

Ya, ternyata aku tahu bahwa Elano tidak membawa mobil. Setelah aku berkunjung ke rumah satunya kemarin. Ya, rumah satunya itu sebagai gudang tempat barang-barang toko dan dipakai sebagai garasi mobil juga.

Elano membuka tas koper yang dia bawa, mencari sesuatu benda yang ada di dalamnya.

Aku masih memperhatikannya sambil berdiri, sementara anakku sibuk dengan belajar---karena cerdas cermat sebentar lagi digelar, besok lusa.

"Cari apa, Mas?" Aku bertanya, karena Elano benar-benar sibuk mencari sesuatu. Dan, tidak kunjung ditemukan.

"Oleh-oleh buat kamu," dia mendongak menatapku.

Cih! Oleh-oleh? Tidak mungkin dia membawakan oleh-oleh! Ya, paling-paling pakaian kotor bekas keringatnya dengan perempuan itu!

Tetapi aku masih harus bersikap manis kepadanya---seakan tidak tahu apa-apa menunggu saat itu tiba.

"Aku bantu cari, ya." Aku berjongkok membantu mencari apa yang disebut 'oleh-oleh' oleh Elano.

Satu per satu pakaian aku keluarkan, padahal koper ini tidak penuh. Hanya empat potong pakaian santai dan tidak ada jas sama sekali.

Tunggu? Sepatutnya orang yang bertemu dengan klien pasti mengenakan pakaian jas dan membawa cadangan yang banyak. Ini? Tidak ada, hanya satu---itu Elano pakai sekarang.

Aku melanjutkan mencari, kemudian aku menahan tertawa. Ketika menemukan kotak yang aku titipkan kepada pengemudi ojek online itu. Tidak dipakai? Atau...

"Nah! Ini dia," Elano berhasil menemukannya, ternyata adalah tiket liburan ke Yogyakarta berdua. Untukku dan Efano.

Aku menerima tiket itu, dan kutatap secara lekat-lekat tanggal keberangkatannya. 10 Juli 2015, besok berarti---dan ini sudah termasuk destinasi wisata yang akan dikunjungi selama satu minggu ke depan.

Aku langsung memberikan tiket itu kembali ke Elano, sia-sia dia membelikan tiket tanpa konfirmasi dahulu. Karena aku masih harus mengurus persiapan pembukaan toko sembako kedua---serta besok lusa Efano juga akan cerdas cermat.

"Kenapa?" Dia menatapku dengan kedua tiket yang dipegangnya.

"Aku tidak bisa, Mas. Kamu tahu sendirikan sebentar lagi toko mau buka cabang, Efano juga mau cerdas cermat."

"Benar begitu Efano?" Elano menatap anaknya dengan tatapan curiga.

Efano mengangguk---kemudian dia kembali fokus ke buku yang ada di depannya. Elano memandangi tiket itu cukup lama, lalu hendak menyobek tiket itu.

"Eh, jangan disobek. Kasih Surti sama Tejo saja, biarkan mereka berlibur bersama." Aku menarik tiket itu kembali ke tanganku.

Surti dan Tejo---sepasang pengantin baru. Sama-sama telah lama ikut dengan keluarga kami, sebagai asisten rumah tangga. Mereka baru menikah tiga bulan lalu---cinta lokasi.

Aku melihat raut tidak rela tiket itu akan diberikan ke mereka. Seandainya aku bisa menebak isi hati Elano---mungkin sudah mendengar bahwa ada keinginan dia sendiri yang menggunakan tiket liburan itu.

"Tidur, Efano, sudah hampir jam sembilan." Aku masih berdiri dalam lamunanku---melirik Efano yang masih tidak mau pergi dari bukunya.

Elano sudah berjalan naik ke kamar, aku lupa belum membikinkan kopi untuknya. Walau hati ini sudah sangat dongkol dengan perilakunya beberapa hari terakhir.

Aku berjalan ke dapur dan mulai menyalakan kompor---meracik kopi. Tiba-tiba Elano datang dan memelukku dari belakang---aku reflek melihat ke arah sekeliling. Efano sudah tidak ada.

"Apa mas?" Aku berbicara sambil menuang air panas ke gelas.

"Tidak rindu kepadaku sayang?" Dia mengelus perutku.

Aku tidak menjawab pertanyaan laki-laki tukang selingkuh ini. Rindu? Tidak sama sekali. Dan ini apa? Dia tiba-tiba bersikap romantis seperti ini? Oke, aku mengerti Elano menginginkan sesuatu.

Aku segera melepas pelukannya dan menaruh kopi di atas meja makan----lalu duduk di salah satu kursi.

"Habiskan kopimu dulu," aku melihatnya yang ikutan duduk.

"Lalu?" Tanya dia sambil memiringkan sedikit kepalanya---seperti anak kecil.

"Kita tidur, aku capek." Aku bangkit dan menuju ke kamar. Elano langsung cemberut dan duduk meminum kopi sembari membuka gawai.

---

Hei! Aku tidak langsung tidur, melainkan bersembunyi di dekat kamar Efano yang sejajar dengan kamar kami berdua.

Aku memperhatikan Elano sedang memanggil seseorang. Samar-samar terlihat dari atas ternyata dia sedang melakukan panggilan video---entah dengan siapa.

Gerak-gerik Elano benar-benar membuatku bingung, dia tersenyum sendiri, kemudian mendekatkan diri ke gawai tanpa mengeluarkan sedikit suara.

Satu lagi, bukannya tadi Elano bilang gawainya habis dicopet, ini kok masih ada? Apa gawai baru? Atau Elano sengaja memblokir kontakku supaya tidak tahu pesan yang kukirim?

Jelas! Dia tidak mau ketahuan aku! Entah Indri atau perempuan lain, Elano sangat romantis walau virtual. Kuputuskan mengabadikan dalam satu foto dan segera kucadangkan di email supaya tetap aman jika tiba-tiba gawaiku rusak.

"Laki-laki pintar berbohong," aku mengertakan gigi-gigiku.

Dengan sangat terpaksa, kuputuskan untuk berlari masuk ke dalam kamar. Karena tiba-tiba pintu kamar Efano berbunyi---aku tidak mau dia tahu, masih berdiri mengendap-endap selayaknya maling.

Bersambung...

Hadiah Istimewa Untuk Suamiku 1 (Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang