Bab 35 - Pertanyaan Fano (3)

487 38 1
                                    

"Mas, maaf ya aku tadi sebenarnya mau pesan makan. Ketika ada insiden yang membuat aku marah, jadinya kuurungkan." Aku duduk berhadapan dengan Arlo.

Aku dan Arlo sudah berada di ruang kerjaku. Pintu sengaja aku buka---semacam déjavu saat Arlo melamarku. Arlo sudah berganti pakaian, kaus merah dan celana pendek hitam. Juga bersepatu.

"Tidak masalah, jadi kapan kita pulang ke rumah?" Arlo tersenyum---senyum yang membuatku jatuh cinta.

"Sekarang boleh," Aku membalas senyumannya.

"Aku sudah rindu dengan Fano."

"Oalah, kirain rindu sama aku," tidak terasa aku cemberut. Kemudian tawa ringan keluar dari seorang Arlo.

Kami berdua berdiri, jalan bersampingan tanpa berpegangan. Aku takut orang-orang di kantor membuat ini sebuah bahan untuk dibahas antar rekan.

Ya, meski aku sudah lama bekerja bersama mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka omongkan dibelakangku. Hati orang tidak ada yang tahu.

Aku ketika berdua dengan Arlo memang seperti remaja yang sedang dimabuk asmara. Padahal, usia kami sudah tidak muda lagi. Makanya aku sedikit malu, kalau bermesraan lebih ditempat umum. Itu juga yang aku lakukan saat bersama Elano dahulu.

Ngomong-ngomong soal Elano, Fano---anaknya juga jarang sekali bertanya atau mengajakku untuk sekadar mengunjungi ayahnya. Entah kenapa? Aku juga tidak tahu.

"Kita bawa mobil atau pakai motor aku?" Arlo bertanya kepada saat kita sampai di luar kantor.

"Aku pengin naik motor," Aku langsung berjalan dan berdiri di depan motor milik Arlo.

Arlo hanya geleng-geleng dan menyanggupi permintaanku, dia berjalan ke arah motornya juga. Tepat dibelakang mobilku. Pak Andika datang, dia baru saja mengecek restoran yang dipegang Ilyas dulu.

"Ibu sama Pak Arlo mau saya antar?" Dia menawarkan diri.

"Oh, nggak. Kami mau pulang berdua. Saya minta tolong pinjamkan helm Pras ya." aku menatap Pak Andika.

Cuaca Malang hari ini sangat terik, tetapi aku ingin mencoba sensasi lain. Naik motor---sudah lama sekali aku tidak melakukannya.

"Baik, Bu." Pak Andika berlari menuju ke dalam kantor.

---

"Kok diam saja sayang?" Arlo tiba-tiba bicara.

Semenjak aku naik dari motor Arlo---memang aku hanya diam. Pikiranku bingung soal Fano, meyakinkan Fano bahwa tuduhan-tuduhan melalui pertanyaan itu tidak benar.

"Jangan terlalu memikirkan Fano, dia masih remaja. Pastinya akan aku jelaskan nanti, supaya dia paham." Jelas Arlo dengan yakin.

Arlo menarik tanganku dan melingkarkan di perutnya. Ini baru kali pertama saat Arlo menyatakan cintanya. Tiba-tiba bibir ini tersenyum sendiri. Arlo mengelus tangan kiriku, ya, aku merasakannya. Bahwa laki-laki ini serius kepadaku.

Bahkan sampai di gerbang rumah, aku baru melepas pelukan ke Arlo. Kami berdua turun dan melangkah masuk bersama. Tejo datang---dia bilang kalau Fano baru saja pulang sekolah.

"Dia di atas, Bu," Tejo memberitahuku.

Aku hendak melangkah terlebih dahulu, tetapi langkahku dihentikan oleh Arlo. Dia mengisyaratkan supaya di depan. Aku mengangguk.

Kami berdua berjalan menaiki anak tangga, Tejo sudah kembali ke dapur. Tujuan utama aku dan Arlo adalah kamar Fano.

"Kamarnya tertutup, Mas." ucapku saat sampai di depan kamarnya.

Arlo mulai mengetuk kamar anakku, tanpa bersuara sama sekali. Satu kali ketukan tidak ada respon. Dua kali juga demikian.

"Fano, ini Ibu." aku berteriak sambil memandangi pintunya.

Hadiah Istimewa Untuk Suamiku 1 (Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang