03 - Harus bahagia

190 42 6
                                    

Dean masuk ke paviliun tempat Bundanya di rawat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dean masuk ke paviliun tempat Bundanya di rawat. Ruangan itu selalu sama. Tidak ada yang berubah. Dean mengganti bunga yang minggu lalu dia berikan kepada bundanya dengan bunga yang baru. Dia juga menyiram beberapa bunga hias yang tumbuh mekar di paviliun kecil itu.

"Andrean? Andrean kamu ke sini, Nak?" Suara lembut itu selalu membuat hati Dean langsung merasa damai dan tenang. Suara yang paling dia sukai. Suara malaikat yang selalu membuat dunianya masih baik-baik saja.

"Andrean di sini, Bunda."

"Bukan! Kamu bukan Andrean. Andrean masih kecil, anak saya masih 10 tahun. Andrean kamu di mana, Nak? Ini Bunda, sayang." Diana menggeleng kuat menatap anaknya itu ragu. Selalu seperti ini. Dean menghela napasnya, matanya selalu memanas jika Bunda kembali lupa akan dirinya.

"Bunda, ini Andrean. Bunda, lupa?" tanya Dean lembut, sangat lembut. Bahkan tatapan matanya sangat teduh. Tatapan yang sangat jarang dia tunjukkan kepada siapapun.

Diana menarik rambutnya kuat-kuat. Hal itu membuat Dean langsung menahan tangan bundanya. Terkadang Diana akan langsung ingat dengan Dean, tapi terkadang Diana bisa kembali kambuh. Seolah dirinya masih terjebak di saat keluarga kecilnya masih utuh. Kalau sudah seperti ini, Dean tidak bisa memaksa bundanya untuk mengenalinya.

"Andrean di sini, Bunda, Andrean sekarang udah gede. Andrean udah bisa cari duit sendiri."

"Bukan! Bukan! Andrean masih kecil, Andrean kamu di mana, Nak? Di mana kamu sembunyikan anak saya?" Diana memukul bahu Dean cukup kuat, suatu hal yang sudah biasa bagi Dean jika bundanya kambuh.

"Bunda..."

"Kembalikan Andrean sekarang juga! Kamu penipu! Kembalikan anak saya! Cukup suami saya yang kamu rebut dari saya! Anak saya, jangan." Diana terus meracau sambil memukul bahu Dean yang hanya pasrah.

Dean hanya diam sampai Bundanya merasa jauh lebih tenang. Sampai Bundanya capek sendiri dan berhenti memukulinya. Ini bukan salah Bunda, ini bukan salah siapa-siapa. Hanya saja inilah takdir yang harus dia terima. Takdir yang harus dia terima tanpa bisa menyalahkan siapapun di dunia ini. Kehilangan sang ayah dan harus melihat penderitaan sang bunda, membuat Dean harus bisa ikhlas dengan semua garis kehidupannya.

Dean membantu bundanya kembali ke kamar. Tidak ada lagi perlawanan. Tatapan lembut itu kembali menatap Dean, membuat perasaan Dean jauh lebih tenang.

"Bunda istirahat ya, sebentar lagi suster bakalan datang bawain Bunda makanan." Dean menyelimuti Bunda dan merapikan rambut Bundanya yang berantakan.

"Maafin Bunda ya, Nak," ucap Bunda pelan, sangat pelan meskipun masih terdengar di indra pendengaran Dean. Matanya memanas hendak mengeluarkan cairan bening yang siap kapan saja tumpah, tapi Dean memilih untuk menahannya. Dia tersenyum lebar pada sang Bunda.

"Bunda jangan salahin diri Bunda. Andrean akan selalu ada buat Bunda. Andrean akan pastikan Bunda sehat dan kembali seperti dulu lagi." Dean mengusap lembut tiap uraian rambut Diana.

Pemeran Utama (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang