Problem.

493 28 1
                                    

INTAN POV.

Aku sedang berada di ruangan milik Kak Antras, tentu saja di kantor milik papanya Kak Antras yang sekarang sudah menjadi milik Kak Antras sepenuhnya. Aku tidak menyangka saja, seorang Intan Antari cewek sejelek ini menjadi seorang istri dari seorang Antras Kailo. Meski aku tau bahwa Kak Antras menikahiku karena terpaksa. Tapi aku tetap bersyukur, mungkin ini memang sudah takdir.

"Bundha." suara putraku menyadarkanku dari lamunan.

"Hah? Iya." jawabku linglung.

"Ada apa Intan?" tanya Kak Antras menatapku dengan tatapan interogasi. Dan tatapan itu sangat menakutkan bagiku. Aku tau Kak Antras hanya bertanya, tapi terasa mencekam suasananya.

"Tidak, tidak ada apa-apa." jawabku cepat menggoyangkan kedua tanganku di depan dada sebagai tanda tidak ada masalah apapun.

"Ok, jadi ada perlu apa datang kesini?" tanya Kak Antras lagi. Namun dia sangat tenang sekarang, bahkan tanpa ekspresi.

"Aku, emm aku hanya mengantarkan makan siang untuk kakak. Maaf, aku tidak menghubungi Kak Antras dulu." jawabku menyesal. Tentu saja aku merutuki diriku sendiri bodoh.

"Tidak perlu menghubungiku terlebih dahulu agar kalian bisa langsung masuk ke ruangan ini." ujar Kak Antras berdiri dari kursi kebesarannya dan berjalan menuju tempatku dan Inras duduk. Aku memang duduk di sofa yang muat untuk tiga orang di ruangan ini, tentu dengan Inras yang duduk di pangkuanku.

"Ayah, tante tadhi ndak pelcaya Inlas anak ayah." kata Inras mengadu pada kak Antras tentang sekertaris di depan ruangan ini.

"Benarkah? Tante yang mana?" tanya Kak Antras mengambil alih Inras. Aku hanya diam saja memperhatikan obrolan mereka berdua. Rasanya menenangkan melihat mereka tertawa. Tapi aku juga merasa tertekan kadang kala. Aku merasa belum bisa menerima Kak Antras sepenuhnya. Trauma yang ku alami karena Kak Antras. Lantas aku tidak bisa dengan begitu mudahnya menerima Kak Antras begitu saja.

Aku takut kalau tiba-tiba Kak Antras meminta haknua sebagai suami. Aku takut aku belum siap dan mengecewakannya. Namun aku juga takut karena traumaku pada sentuhan laki-laki karena Kak Antras. Berada dalam pelukan Kak Antras memang meneangkan tapi terkadang aku merasa tegang. Aku takut pemaksaan yang Kak Antras lakukan padaku dua tahun lalu kembali ia lakukan. Meski sekarang Kak Antras belum meminta haknya. Aku tau ia lelaki normal. Apa yang harus aku lakukan? Tanpa terasa air mataku mengalir.

"INTAN!" suara tegas Kak Antras membuatku tersadar dari lamunan.

"Ha-hah?!" jawabku tergagap menatap mata Kak Antras yant kini menatapku datar.

"Bundha kenapa nangis?" pertanyaan dari Inras membuatku tersadar bahwa aku menangis.

"Kak Rasya!" teriak Kak Antras memanggil sekertarisnya yang berjaga di luar ruangan.

"Iya, Pak Antras?" tanya Kak Rasya, perempuan berumur kira-kira tiga puluh tahun itu memasuki ruangan.

"Tolong Kak Rasya ajak putraku bermain di luar, akan ku panggil lagi nanti!" perintah Kak Antras pada perempuan itu sopan.

"Baik, Pak." patuh Kak Rasya. "Ayo Inras ikut tante cantik yuk." ajak Kak Rasya menggendong Inras dan di bawa pergi keluar.

Aku menggigit bibir bawahku. Entah kenapa aku merasa ketakutan sekarang. Berada dalam satu ruangan dengan Kak Antras, membuat tubuhku bergetar.

Kak Antras mendekatkan tubuhnya padaku. Melihat hal itu aku berdiri dan mundur menjauh darinya. Tubuhku bergetar ketakutan.

"Hei! Kenapa Intan? Ada apa?" tanya Kak Antras khawatir. Tapi entah kenapa melihat tatapan mata itu mebuatku semakin ketakutan.

Hanya Aku Yang Tahu. [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang