Setelah dari kamar mandi tadi. Kini, kedua keluarga berkumpul di ruang tamu. Semua menatap kearah Antras yang akan berbicara.
Intan hanya berani menunduk dalam. Tidak berani berbicara apapun. Dia bingung. Sekaligus takut. Bingung apa yang harus ia lakukan. Dan takut bagaimana nanti dia berbicara. Takut salah menjawab. Dan akan menimbulkan bencana.
"Saya Antras Kailo, mengaku, bahwa saya adalah, adalah ayah kandung dari Inras. Putra dari Intan Antari." kata Antras menatap Yanda yakin.
Krik krik! Semua diam. Yanda menatap Antras tajam.
"Kenapa baru sekarang?" tanya Yanda mengepalkan tangannya erat. Menyalurkan kemarahannya selama dua tahun ini. Dan dengan gampangnya Antras memberitahukan semuanya sekarang? Bukankah sangat terlambat?
"Saya juga baru mengetahuinya beberapa hari yang lalu. Sudah dua tahun ini saya mencari siapa perempuan di malam itu. Dan baru beberapa hari yang lalu saya mengetahui yang sebenarnya. Jikalau perempuan malam itu, hampir setiap hari saya melihatnya. Apalagi sampai mempunyai anak tanpa saya ketahui." jawab Antras panjang lebar.
"Intan." panggil Nita. Setelah duduk di samping Intan. Kini Intan duduk di antara dua wanita yang menenangkannya.
"Intan. Benarkah dia ayah kandung Inras?" tanya Rose lembut. Menahan tangis.
"Ma, dia-dia, iya ma. Dia laki-laki itu." jawab Intan gugup, sampai terbata-bata, dia hanya bisa menangis dan menunduk dalam.
Antras merasa lega. Dia berjanji hanya akan mencintai Intan. Membangun keluarga yang harmonis. Semoga.
"Kami datang kemari sekalian ingin melamar Intan, putri Anda tuan Yanda. Antras sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menikahi Intan dua bulan lagi. Dia berjanji bahwa Intan sudaha kan menjadi istrinya saat perpisahan SMA nanti." kata Wira pada Yanda yang sedari tadi beradu pandang dengan Antras.
"Saya, terserah putri saya. Dia sudah terbiasa mengurus Inras sendiri tanpa bantuannya." kata Yanda menatap Antras tajam.
"Intan." panggil Antras mengalihkan tatapan tegasnya tadi dari Yanda beralih menatap Intan lembut, dan meyakinkan.
"Kak Antras, aku, aku hiks! Iya aku mau. Tapi kak Antras bisakah berjanji? Jangan tinggalkab aku dan Inras. Jangan pisahkan aku dan Inras. Jangan- jangan kecewakan aku dan Inras hiks." pinta Intan menangis tersedu-sedu. Dia takut. Sangat takut jikalau keputusannya salah. Yang ada di pikirannya sedari tadi adalah Inras. Putranya. Inras tidak mendapatkan kasih sayang seorang ayah. Walaupun Yanda selalu memanjakannya tetapi itu semua berbeda.
"Makasih nak, kamu mau memberi kesempatan pada putra kami." kata Nita memeluk Intan erat.
"Bolehkah aku menemui an-anak kita?" tanya Antras pada Intan. Dan di setujui oleh Intan.
Saat sampai di taman belakang. Mereka melihat Inras yang sedang menetap bunga mawar merah yang tumbuh tepat setingginya.
"Inras." panggil Intan lembut. Membuat sang empu menoleh mengalihkan tatapannya dari bunga mawar indah itu. Ke sesuatu yang lebih indah menurutnya. Bundanya. Bundanya adalah yang paling indah yang pernah dia lihat di dunia ini.
"Ya, bundha." jawab Inras singkat. Intan merasa aneh dengan putranya ini. Kenapa Inras tidak manja seperti tadi? Apa ia melakukan kesalahan pada putranya?
"Kemari sayang, ada yang mau bunda bicarain." pinta Intan dengan senyum indahnya. Antras sedari tadi hanya menatap ciptaan tuhan yang indah itu sedang bercengkrama dengan sang putra.
"Apa?" tanya Inras dengan suara cadelnya. Berjalan dengan pelan karena jalanannya terdapat batu-batuan kecil-kecil. Apalagi Inras masih dalam masa berjalan pelan-pelan, belum bisa lancar. Tapi saat berbicara dia lumayan lancar. Hanya cadelnya dan masih terpotong-potong. Antras gemas sendiri melihatnya. Ia tak sabar ingin memeluk, mencium kedua pipi putranya. Dan tentu saja memanjakan putra tunggalnya itu.
"Sayang." kata Intan berjongkok agar bisa menyamakan tinggi sang Putra. "Inras katanya mau ketemu ayah kan?" tanya Intan lembut.
"Nda ja di bundha. Inlas nda mau ketemu ayah laghi. Ayah jahat buat bundha nangis hiks! Tadhi Inlas liat bundha nangis kalena ayah!" teriak Inras menangis sembari mengucek matanya menggunakan satu tangannya. Sedangkan tangan satunya menunjuk Antras yang sedari tadi diam melihat interaksi mereka berdua. Hal itu membuat Intan dan Antras terkejut.
Antras berjalan mendekati Inras kemudian berjongkok di pinggir Intan.
"Jagoan ayah. Maafin ayah ya udah buat bunda nangis. Ayah janji ga akan buat bunda nangis lagi kecuali air mata kebahagiaan." kata Antras meyakinkan Inras sembari memeluk putra kecilnya itu.
"A-yah, ja-ngan bu-at bundha nangis ayah." kata Inras pada sang ayah yang sedari tadi mengelus rambutnya dengan sayang.
"Insyaallah." jawab Antras.
"Inras mau jalan-jalan ga? Sama ayah bunda?" tanya Antras. Mulai hari ini ia akan menghabiskan waktu luangnya untuk Inras dan Intan.
"Ma-uu!" jawab Inras senang. Cepat sekali anak kecil ini berubah moodnya.
"Oh ya? Inras mau jalan- jalan kemana hari ini?" tanya Antras senang. Putranya mau menerimanya.
"Nda tau, Inlas suka pelgi ke taman sama bunda." jawab Inras bingung.
Antras menatap Intan dengan alis naik satu. Intan yang seperti itu gugup.
"Anu, itu, emm kita emang sering ke taman buat sekedar jalan-jalan aja. Kayak waktu kak Antr-"
"Cukup, dan maaf." kata Antras sewaktu mengingat kejadian yang membuatnya menyesal.
"Eh! Gapapa-gapapa." kata Intan kikuk. Dia tidak menyangka seorang Antras yang terkenal seram, selalu menatap tajam dan selalu marah-marah. Kini dia melihat dengan mata kepala langsung dan mengalami kejadiannya sendiri. Bahwa seorang Antras Kailo bukanlah laki-laki seperti itu.
"Ayo jalan-jalan ke mall. Kita belanja apa aja yang bunda dan antras mau." kata Antras menggendong Inras sembari menggandeng tangan Intan membawanya ke ruang tamu.
Disana terdapat kedua orang tuanya dan calon mertuanya. Dia merasa aneh sendiri mengingat itu.
"Ma, pa, om dan tante. Antras izin bawa Inras sama Intan jalan-jalan boleh?" tanya Antras sopan. Dia tak mau menghancurkan kepercayaan keluarga Intan pada dirinya.
"Ga." jawab Yanda sinis.
"Mas!" tegur Rose pada suaminya sembari memukul pelan pundak sang suami. "Gapapa, boleh kok. Tapi hati-hati ya. Jangan pulang terlalu malam." kata Rose merasa senang melihat betapa antusiasnya sang cucu di gendongan sang ayah.
"Ya udah kami pamit dulu, Assalamualaikum." pamit Antras sembari menarik Intan pelan.
"Pergi dulu ya pa, ma, dan tante, om." pamit Intan tersenyum. Dia sedari di taman belakang tadi merasa gugup. Di gandeng lembut oleh Antras. Sang lelaki yang pernah merendahkannya. Semoga saja Antras benar-benar setia padanya. Dia tak masalah jikalau Antras tidak mencintainya. Asalkan Antras tidak memisahkannya dari Inras. Dia bisa hidup tanpa Antras. Tapi tak bisa hidup tanpa sang putra.
Setelah sampai di Mall Kai's. Antras membukakan pintu untuk gadis di sebelahnya. Kemudian mengambil Inras dari gendongan Intan.
"Ayo masuk." ajak Antras setelah keluar dari pintu mobil yang ia bawa.
"Makasih kak, udah mau luangin waktu buat Inras." kata Intan tulus menatap Antras dengan senyuman manisnya.
Antras hanya tersenyum tipis melihat Intan. Ia memang belum ada rasa apapun pada Intan. Tapi dia akan berusaha mencintai Intan. Bukan hanya berusaha. Dia pasti akan mencintai Intan apapun yang terjadi. Apa yang kurang dari Intan? Tak ada. Dia perempuan cantik, dari keluarga baik-baik. Sopan. Bahkan Intan adalah perempuan pertama yang membuat Antras bisa sedekat ini.
"A-yo ayah. Inlas nda sa-bar mau alan." celoteh Inras gembira menatap Intan dan Antras.
'Ya Allah, semoga keputusanku benar. Aku hanya ingin melihat Inras bahagia. Itu saja.' batinnya berdoa.
•□•
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Aku Yang Tahu. [HIATUS]
Ficción General"Kenapa? Tuhan jika hamba punya salah di masa lalu, mohon maafkan hamba. Tapi kenapa engkau memberiku cobaan begitu berat?" kata gadis bergaun yang berantakan. Berjalan di trotoar jalan dengan pandangan kosong ke depan. ... "Sial! Siapa cewek semala...