sembilan

8 0 0
                                    

Ini sudah dua bulan sejak Jenar mengetahui semuanya. Dari semua cerita Rajen, ia tahu jika ayahnya sudah-tiada. Tentu Galih juga sudah tahu semua, memangnya siapa teman cerita Jenar jika bukan Galih? Rupanya posisi Galih tidak jauh dengannya. Ayah Galih sudah direkrut berperang sejak setahun yang lalu.

Pagi ini ia bangun dengan mata sembab akibat menangis semalaman untung saja ibunya memasak telur ayam-membuat suasana hatinya membaik. Biasanya ia hanya makan tiwul, nasi jagung, atau singkong rebus. Selepas makan, ia berpamitan untuk mengantar makanan ke kediaman Nyonya Djani. Selama dua bulan pula ia bolak-balik dengan buku pemberian Djani. Jenar semakin menggeluti hobi menulisnya berkat Djani. Ambar tidak masalah dengan waktu yang ditempuh Jenar mengantar makanan, bahkan pernah melampaui dua jam karena ia tahu jika gadis itu bercengkerama dengan sang nyonya.

Saat ini, ia baru keluar dari kediaman Djani, tentunya dengan sebuah buku di pelukannya.

"Kenapa kau di sini? Ini jauh dari rumahmu." Lelaki bersurai hitam legam muncul dengan kilat api marah. "Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

Jenar kelabakan. "Galih, aku hanya membantu ibu mengantar makanan cathering dan ini buku pemberian majikanku, kau tahu sendiri aku hobi membaca."

Rupanya kalimat panjang itu tidak membenam amarah Galih.

"Sejak kapan?"

"Dua bulan."

Jawaban singkat itu sukses membuat Galih naik pitam. Ia tak habis pikir Jenar tidak memberi tahu pekerjaannya, padahal gadis itu selalu bermain dan belajar bersamanya siang malam. Harusnya sebagai teman ia berhak tahu, bukan?

Dua cucu Adam usia sepuluh tahun itu berjalan di atas jembatan. Satunya berusaha mengais tangan si lelaki dan si lelaki berusaha menepis cekalannya. Ini pertama kalinya melihat Galih semarah ini. Astaga, Jenar pening! Padahal ia menyembunyikannya hanya agar tidak membuat Galih selalu mengantarnya dan ia juga ingin mandiri!

"Apa kau mengikutiku hanya untuk membual?" Ini respons pertamanya setelah penjelasan pelik Jenar.

Baru menarik nafas untuk mengucap, lelaki berperangai congkak menghampiri. Itu Aska bersama sepeda yang ia gunakan setiap hari bersekolah. Celaka! Bukan solusi yang datang malah petaka.

"Hai, cupu."

Ini bukan kondisi yang pas untuk mengonar. Galih bisa meninjunya kapan saja, tetapi yang Galih lakukan malah terus berjalan meninggalkan Jenar.

Ini kesempatan yang pas untuk merisaknya.

Tangan Aska segera mengambil benda yang ada di tangan Jenar hingga ia terjerembap dan melemparnya ke sungai di bawah jembatan lalu bergegas sebelum Galih beralih.

Kembali. Kembali Galih melihat netra teduh itu
yang tengah meratap bukunya yang telah hanyut. Batinnya mengintruksi melompat untuk mengambil buku itu dan mengembalikan pada sang pemilik.

━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
kidung sang poejanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang