sepoeloeh

8 0 0
                                    

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Pepatah itu cocok disematkan untuk Jenar saat ini. Selepas insiden hiruk tadi, ia pulang dengan basah kuyup akibat ikut mencebur ke sungai, pasalnya Galih tak kunjung muncul ke permukaan. Ditambah, terkena marah karena uang katering kurang. Mungkin terjatuh di jalan.

Makan malam juga berlangsung berbeda lantaran ayahnya mengemukakan jika dirinya direkrut berperang di usianya yang menginjak kepala lima. Jenar kalut. Ia tahu betul ketika seorang pria direkrut berperang maka tidak ada yang menjamin pulang dengan selamat.

Sekarang ia berada di bibir sungai bersama Galih. Tentu saja Galih yang mendesak lantaran tak sengaja melihat Jenar dengan mata sembab. Kini batinnya lega setelah menuang beban pikirannya.

“Menangislah di pundakku.”

Jenar malah menidurkan dirinya di atas rerumputan yang kemudian disusul Galih. “Seakan-akan perasaan sedihku terbang ketika melihat langit,” ungkap Jenar.

Galih menutup rapat mulutnya untuk mendengar Jenar menangis. Kata orang, hidup orang dewasa itu rumit, lantas mengapa di usianya sudah serumit ini? Apa besok akan lebih rumit lagi? Jika benar begitu, ia tidak akan ingin menjadi dewasa. Mungkin beberapa orang tidak menyadarinya, tetapi terkadang hidup memang tak adil.

"Rasa sakit adalah temanku," sambung Jenar.

“Kau terluka dan akan pulih.”

Mendengar itu isakan Jenar semakin jelas. “Ceritakan kabar baik.” Jenar harap ada obat dalam lukanya, tetapi yang terjadi hanya keheningan. "Kenapa kau bertindak nekat tadi?” cerca Jenar mengingat insiden siang tadi.

“Karena aku tahu kau menyukai buku.”

Lagi-lagi Jenar tak habis pikir. Jelas nyawa Galih lebih penting daripada segepok untaian huruf.

“Galih.”

Yang dipanggil hanya diam tak menyahut.

“Apa impian terbesarmu?”

Galih berpusing mencari kata yang pas. “Menjadi tentara.”

“Kini kau pelawaknya.” Jenar kembali mengusap bulir matanya. “Jika ini lelucon sebaiknya
berhenti.”

Baru saja ia berceloteh soal kondisi di rumahnya ternyata Galih malah menginginkan posisi itu.

“Dengar dulu, aku ingin memperjuangkan tanah airku. Sebagai anak yang terlahir di masa
perang, aku tidak mendapat hak seolah masa depanku direnggut. Zaman sekarang anak lelaki diajari berperang dan anak perempuan—” Galih terdiam sejenak menetralkan batinnya meski ia tahu itu tidak terjadi di negerinya melainkan—ah sudahlah! Jenar tidak boleh tahu.

Jenar sedikit terkejut tetapi masih menunggu kalimat selanjutnya. "Dari mana kau tahu?"

"Lupakan."

Galih berdiri mengambil objek berbentuk persegi panjang yang pasti Jenar gemari. “Aku sudah membaca kisah yang kau beri waktu itu." Galih menyodorkan objek itu. "Ini buku agar kau bisa mempelajari berbagai karakter. Semakin kesini, semakin aku tahu impianmu menjadi seorang penulis. Lain kali kita bisa bermain peran dari cerita yang kau tulis. Pasti seru!”

“Terima kasih karena selalu mengatakan hal yang ingin kudengar.”

━━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

━━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
kidung sang poejanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang