akhiran

4 0 0
                                    

1993, Djakarta.

Padang rumput hijau dan gundukan tanah terlihat syahdu dengan beberapa pengunjung yang berniat mendoakan penghuninya; sesekali berbisik agar tak mengganggu ritual doa yang lain. Dua nisan bersisian yang tidak memiliki pengunjung terlihat menarik dengan varia bunga segar serta bingkai foto penghuninya. Yang satu sudah terlihat usang, sementara yang di sampingnya tampak segar dengan kertas foto yang masih jelas tanpa cela. Itu sang ibu dan yang di sampingnya ialah anaknya. Jarak wafat mereka terpaut sembilan belas tahun. Nisan sang ibu bertulis Djani Suradarma sedangkan sang anak bertulis Jenar Nareswari.

Cucu Hawa yang masih mengenakan seragam ber-name tag Hanin dengan surai kecokelatan
dan kulit kuning langsatnya datang lalu berjongkok di samping gundukan tanah sang anak. “Aku bisa hidup hingga detik ini karenamu,” cicitnya.

Nuraninya memuja sosok wanita bernama Jenar. Dulu saat dirinya menjalani pengobatan di rumah sakit yang ia lakukan hanya membaca karya tulis Jenar. Gadis itu sempat mencoba
mengakhiri hidup sebelum akhirnya bertemu Jenar dan semua sastranya. Wanita itu lihai bermain kata dan sajak.

Sedari kecil ia tak bisa hidup bebas layaknya anak lain akibat cacat jantung. Setiap hari ia berharap ada manusia berbaik hati yang mau mendonorkan jantungnya hingga akhirnya ia bertemu Jenar—idolanya—di rumah sakit yang sama dengannya. Saat itu kondisi Jenar sudah tiada; harapan Galih agar Jenar mati dengan layak terwujud.

Selang sehari setelah pertemuan itu, ia mendapat kabar jika Jenar adalah partisipan pendonor
organ untuk transplantasinya. Ia tak menyangka jika Jenar sudah mendaftarkan diri sejak usia tiga puluh tahun. Tak salah jika ia amat mengagumi tulisannya.

Sebagai penggemar, ia tahu betul asan garam hidup Jenar. Salah satu karya tulisnya yang bertajuk Satu Hari di Bulan Desember dalam tian manis pahit hidupnya, seperti bagaimana seluruh keluarga dan sahabatnya tewas, dirundung karena buta huruf, hingga
perkecimpungannya di negeri antah-berantah. Semua buku Jenar adalah favorit-nya, apalagi yang bertajuk Surat dari Penjara dan satu berbahasa Inggris yang bertajuk The Lady in Blue. Jenar benar-benar layak dijadikan panutan.

“Aku ingin menjadi sepertimu,” tekad Hanin.

━━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

━━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
kidung sang poejanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang