delapan

15 0 0
                                    

Bangunan bergaya klasik mencekam—tank militer yang keluar masuk membawa tawanan wanita serta beberapa lelaki bertubuh kekar berseragam dengan senjata api—mengumandangkan bahwa tempat ini haram dijajaki. Namun, Jenar sudah bertumpu sejak dua puluh menit lalu dengan jarak sepuluh meter.

Terlahir di tengah perang meletus membuatnya tahu bangunan apa ini. Rumah bordil. Seolah tak cukup memperbudak gadis negeri antah-berantah, mereka juga merekrut paksa gadis pribumi. Bahkan di rumahnya dulu, ia sempat melihat gedung eksekusi tawanan politik. Para tentara militer tak ragu menggunakan berbagai metode untuk menyiksa tahanan. Ah, ia jadi teringat ayahnya. Apa dia masih hidup?

"Hei, gadis kecil tidak boleh di sini." Lelaki beratribut lengkap di kerah dan tanda kepangkatan di sisi kiri menghampiri seraya menyeringai. "Kembalilah ketika dadamu sudah besar."

Menjijikkan! Pelecehan verbal itu berhasil membuat Jenar mengalihkan mata sepenuhnya. "Perilakumu sama sekali tidak mencerminkan sosok tentara."

Sudahlah, lebih baik ia pulang dan mengantar makanan katering ke majikan ibunya, Djani.

Di sinilah ia bertapak. Rumah luas yang sunyi. Baru mengetok pintu sudah ada pelayan yang menyambutnya dan mempersilakan masuk. Selagi menunggu kedatangan Djani, netra hitamnya menelisik ke penjuru ruangan. Ia mencium bau yang membuatnya candu.

Kakinya bergerak dan tangannya membuka daun pintu, ternyata ruang baca. Rupanya tadi bau tumpukan kertas. Ia mengambil buku yang paling menarik dan membaca tajuknya.

"Sedang apa di sini?"

Jenar terkesiap seperti kedapatan mencuri. Ia rasa watak bringas pantas disematkan untuk wanita itu.

━━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

Bibirnya bergerak komat-kamit membaca buku yang ia pangku. Ini buku pemberian Djani saat tadi ia di kediamannya. Mungkin setelah ini ia harus meminta maaf pada wanita itu karena sudah menilainya buruk. Di ruang baca tadi Djani bercerita banyak tentang keluarganya. Misalnya, bagaimana ia hidup tanpa suami, tulisan nasib, hingga rasa dambanya haus seorang putri. Ia bisa menebak jika Djani adalah wanita maniak karier. Masalah orang kaya memang selalu sederhana.

"Jenar, ikutlah denganku." Sang ayah memanggil dan mengajaknya ke tanah lapang tempat biasa ia belajar bersamanya. "Bagaimana harimu? Kudengar kau membantu mengantar katering ke rumah Nyonya Djani?"

Jenar mengangguk girang. "Nyonya Djani orang baik, dia memberiku tiga buku sesukaku!"

Rajen termenung sebentar. Ia teringat buku yang ia bacakan untuk menidurkan Jenar malam itu. Rupanya buku itu mengisahkan kegundahan wanita memilih antara menikah atau berkarier. Ia rasa topik itu tidak cocok untuk anak seusia Jenar. Maklum, waktu itu Jenar tidak bisa membaca dan asal mengambil. Rajen tersenyum. "Anak pintar."

Lima belas menit berlalu dengan keheningan. Rajen kembali bimbang ingin berkata atau tidak. Setiap menatap netra teduh Jenar, tampak kesepian ialah kawannya. Beruntung sekali ada anak tetangga—Galih—yang mau berteman dengannya.

"Aku ingin memberi tahu sesuatu." Awan kelabu tersirat dari tilik Rajen. Perbincangan ini tidak bisa diundur lagi. "Ini tentang keluargamu."

Jenar masih membisu. Nalarnya memutar kejadian malam itu hingga berakhir dirinya koma di rumah sakit.

"Ayahmu ditawan militer Jepang karena dicurigai membelot bersama temannya." Rajen menelan saliva lalu berujar, "Semua keluarga dari tawanan itu dibantai dan keluargamu satu-satunya yang bisa meloloskan diri meskipun ibu dan adikmu harus tewas di kereta itu."

Bulir kristal lolos dari netra hitamnya.

"Sebelum insiden malam itu, ayahmu telah menemuiku untuk membicarakan ini dan sekarang kau berakhir menjadi anak asuhku, tapi jangan pernah berpikir jika kasih sayangku adalah hal yang harus dibayar kemudian hari."

Jenar terisak mendengar kalimat terakhirnya. Rajen mendekat dan memeluk Jenar. Ia bisa merasakan pilu dari isak tangisnya.

━━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

━━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
kidung sang poejanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang