Mentari tengah memenangi antariksa membuat kidung burung dan tarian pohon semakin indah. Detik ini, gadis mungil tengah menatap jendela sambil sesekali menghirup udara segar. Senyum merekah manis di bibirnya—tak sabar bertemu ibu dan adiknya.
"Jenar, kemarilah. Aku ingin memberi tahu sesuatu."
Jenar berdiri menghampiri Hanum; wanita yang telah merawatnya enam hari terakhir ini di rumah sakit. Perasaan Jenar mendadak takut menangkap mimik getir Hanum, seperti menahan tangis.
"Ibu dan adikmu meninggal di kereta api itu.” Ia masih punya akal untuk tidak mengatakan ini di hari pertama Jenar siuman, dilihat dari fisiknya terlihat ia masih berusia sepuluh tahun.
Hati Jenar mencelos mendengar kalimat terakhirnya. Matanya memburam akibat bulir kristal yang tertahan di pelupuk matanya.
"Aku memang tidak tahu nama ibu dan adikmu, tetapi aku yakin karena posisi mereka ditemukan tidak jauh dari posisimu tidak sadarkan diri." Sejenak, ia mengusap air mata dan menoleh ke sekeliling—memastikan pembicaraan ini bersifat rahasia. "Dengar, apa kau masuk diam-diam ke gerbong kereta?" Cukup. Ia bisa membaca dari raut wajah Jenar yang ketakutan. "Tenang saja, tidak ada yang mencurigai ini selain aku."
Kalimat itu telak membuat Jenar berlega hati.
Hanum menunjukkan secarik kertas dari sakunya. "Aku menemukan ini di saku pakaianmu saat mengevakuasimu. Apa ini alamat tujuanmu? Mengapa kau ke sana?" Hanum tidak sebodoh itu untuk mengetahui bahwa Jenar dalam bahaya. Jika ia lalai barang setitik, bala tentara Jepang akan melenyapkan Jenar saat itu juga. Dalam hati ia mengutuk takdir yang tega membuat anak sekecil Jenar merasakan pahitnya hidup.
Belum menjawab, Jenar butuh waktu untuk mengusap bulir matanya. "Ayah bilang mereka bisa menolongku."
━━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━
ps: gambar hanya sebagai pelengkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
kidung sang poejangga
Historia Corta"Menangislah di pundakku." Jenar malah menidurkan dirinya di atas rerumputan yang kemudian disusul Galih. "Seakan-akan perasaan sedihku terbang ketika melihat langit," ungkap Jenar Galih menutup rapat mulutnya untuk mendengar Jenar menangis. Kata o...