tiga belas

2 1 0
                                    

1953, Yogyakarta.

"Aku tidak bisa menerimanya."

"Mengapa?"

"Apa menurutmu ada orang yang mau membaca cerita berujung tragis seperti itu?" Tangan pria itu-tuan Braga-bergerak mengambil sejumput koin dan memberikannya pada gadis yang baru menginjak kepala dua. "Aku akan menerimanya setelah kau revisi."

Jenar meringis mendengar kata itu, ia kira cerita sad ending lebih getir dan membekas di hati
pembaca.

Selepas berkunjung ke makam Hanum, Rajen, Ambar, Galih, dan ibunya, ia menemui tuan
Braga untuk menjual tulisannya, tetapi yang ia dapat hanya kompensasi rendah. Netra hitamnya menderai tatkala mengingat jika cerita itu beralaskan liku kehidupannya. Berbicara tentang Hanum, ia kembali mendapat kabar bahwa wanita itu telah berpulang dua tahun yang lalu karena Meningitis yang ia derita. Nasibnya saat ini tak luput dari jasa wanita itu. Bagaimana Hanum merawatnya selayaknya anak kandung serta ketangguhannya menyembunyikan Jenar dari paramiliter Jepang.

Benaknya kembali berkecimpung ke kalimat terakhir sebelum kepulangan Galih, di mana pria itu meminta membaca surat peninggalannya. Surat itu menyimpan mimpi dan harapan Galih yang ingin ia lakukan bersama Jenar setelah tanah airnya merdeka, seperti mendirikan ayunan di sebatang pohon, makan di restoran enak, kuliah bersama, menyuruh Jenar untuk melihat Galih berbaris bersama pasukan tentara, dan menyaksikan wajah Jenar muncul di layar televisi sebagai penulis. Melihat harapan Galih sebesar itu, Jenar yang awalnya hanya ingin menjadi penulis amatir bertekad untuk mengubahnya. Tak lupa, Galih juga menuliskan first impression-nya yang menyukai gaya
satir Jenar. Dalam surat tercantum jika Galih menulis surat itu bukan tanpa alasan. Ternyata
sebelum insiden bom bawah tanah, akhir-akhir itu Galih mengalami mimpi buruk yang beruntun
dengan Jenar yang pergi meninggalkannya, tetapi lihatlah, sekarang malah pria itu yang
meninggalkannya. Aku ingin kau mati dengan layak, tulis Galih.

Ah, sekarang ia kembali merindukannya. Kira-kira seperti apa wajah pria itu jika masih hidup?

Setelah dua tahun insiden bom bawah tanah di desanya, Jepang berhasil dipukul mundur oleh
pihak barat yang telah membombardir Nagasaki dan Hiroshima. Tentu Jepang tidak menyerah
begitu saja, bahkan sebelumnya Jepang bertekad melanjutkan perang, tetapi enam hari setelah
pengeboman Nagasaki, Jepang menyerah tanpa syarat dan perang dunia resmi berakhir. Rumah bordil yang ia temui waktu itu dan gedung konsentrasi dekat rumah lamanya sudah diruntuhkan, tetapi ada juga yang dialihfungsikan menjadi museum pendidikan.

Musim kemarau telah berlalu. Kini awan hitam memimpin cakrawala. Sepulangnya dari tuan
Braga, Jenar kembali ke rumah makan tempatnya bekerja paruh waktu. Sudah lima jam shift
berjalan, tetapi hanya lima pengunjung datang. Arga, teman kerjanya sudah datang sejak
sepuluh menit lalu untuk menggantikan shift-nya. Mendadak wanita yang sudah menginjak kepala lima kalang kabut masuk karena tertimpa gerimis.

"Bagaimana akhir tulisanmu?" tanya wanita itu.

Jenar yang mengenalnya lantas menjawab, "Dia bersedia menerima jika aku mengubah akhir
ceritanya dan memberiku sedikit uang untuk merevisi."

"Sudah kuduga. Mengapa kau menerimanya?"

"Aku tidak punya pilihan lain, Ibu." Wanita yang ia sebut ibu ialah Djani.

Setelah Jenar kehilangan keluarga dan sahabatnya, Djani berkenan menanggung seluruh biaya hidupnya, tetapi setelah merampungkan sekolah ia bertolak ke Yogyakarta dan bertekad
menimba uang kuliah, sedangkan Djani menetap di kediaman lamanya sambil sesekali menjenguk Jenar.

"Muridmu sudah menunggu." Suara berat berbaur ke perbincangan mereka.

"Murid? Apa maksudmu, Arga?" Djani mulai ikut campur kala dirinya merasa tidak tahu apa-apa.

"Kau tidak tahu? Jenar juga mengajar anak-anak," timpal Arga enteng.

"Kenapa kau gila bekerja? Seharusnya kau menikahi pria kaya," cecar Djani tak habis pikir
dengan putrinya. Sudah ia bilang berkali-kali jika ia sanggup membiayai kuliah, tetapi gadis itu mengotot ingin mencari uang sendiri dengan dalih mandiri. Ia pikir, siapa lagi yang berhak menghabiskan uangnya jika bukan putrinya? Rasanya ia ingin menjodohkan Jenar dengan putra temannya daripada kelimpungan mencari uang. Tidak. Djani tidak menghalangi pendidikannya, hanya saja ingin hidup putrinya terjamin.

"Ibu, aku baru ulang tahun yang kedua puluh!"

"Memangnya kenapa? Toh, banyak gadis menikah di luar sana yang lebih muda darimu."

"Kenapa kau mengotot ingin aku menikah jika kau sendiri tidak menikah?"

"Karena aku wanita kaya," tutur Djani penuh wibawa.

"Apa maksudmu hanya wanita kaya yang boleh melajang?"

"Iya."

"Semua adil dalam perang dan cinta," kelakar Jenar yakin memenangkan perdebatan.

"Perang dan cinta juga butuh perjuangan," tampik Djani tak kalah energik.

Adu mulut berlanjut dengan Arga yang menutup telinga sembari berdecak kesal. Ibu dan anak itu selalu mengantongi topik untuk didebat alih-alih berpelukan melepas rindu layaknya orang lain yang lama tak berjumpa.

━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


kidung sang poejanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang