doea belas

2 0 0
                                    

Saat ini mentari belum mengekspos dirinya sempurna, tetapi seorang wanita paruh baya dengan gadis belia sudah belingsatan menaiki mobil. Mereka baru mendapat kabar jika desa Jenar tertimpa serangan bom bawah tanah tadi malam—saat semua orang terlelap. Posisi kediaman Djani yang jauh dari rumah Jenar membuatnya tidak tahu-menahu. Biasanya jika keadaan mulai genting dan ada tindak penyerangan maka ada satu prajurit yang memberitahu warga agar bergegas sembunyi dalam bungker. Serangan itu mengumandangkan berakhirnya gencatan senjata dari kedua kubu yang bersitegang. Seharusnya mereka bertempur di medan perang tanpa mencelakai warga sipil. Tentara licik!

Keduanya tiba di lokasi dan mulai mencari-cari keberadaan Rajen, Ambar, Galih, dan ibunya. Sejenak, Jenar termenung menatap objek mengerikan di depannya. Bangunan rata dengan tanah dan ratusan orang luka-luka serta tenaga kesehatan yang mengevakuasinya. Detik selanjutnya, datang tenaga medis yang menandu tubuh pasangan suami istri. Jenar tersadar ketika mengenalinya.

“Ibu! Ayah!”

Jenar mendekapnya sembari terisak disusul Djani yang melihat jasad penuh luka dan bercak hitam di sekujur tubuh mereka. Hatinya perih kala isi kepalanya bernostalgia, padahal ia berencana mengganti perban Rajen dan memasak berama Ambar selepas pulang.

Sepuluh menit di posisi yang sama, tiba tenaga kesehatan mengusung seorang wanita paruh
baya beserta putranya. Itu Galih dan ibunya.
Buru-buru Jenar menghampiri Galih yang sudah sekarat, sementara ibunya telah—berpulang.

Bibir Galih bergerak tertatih mengeja kata. “J—jenar. Apa itu k—kau?”

Jenar semakin terisak. Ia teringat kedua orang tua dan adiknya yang juga telah meninggalkannya. Apa sekarang Galih juga? Lantas ke mana ia harus berpulang?

"Galih, kumohon bertahan. Aku di sini...."

"J—jenar."

"Aku akan marah jika kau tidak sembuh!"

"Seorang t—teman tidak b—boleh memarahi temannya terlalu lama, bukan?" Galih tersenyum seraya meraih jemari mungil Jenar. “Aku ingin kau membaca surat yang ada di kamarku. Kau ingat letak kamarku, 'kan?”

Dada Jenar sesak kala mengingat kemarin sore adalah permainan terakhirnya bersama Galih dan makan malam terakhirnya bersama keluarga. Sekarang ketakutan terbesarnya akan menjadi pasti.

━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
kidung sang poejanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang