sebelas

7 0 0
                                    

Surai gelap berembun-menandakan selesai membasuh diri-menitikkan air ke pahanya. Bulu mata lentik itu terus bergerak mengikuti arah pupil. Bibir pink dan hidung kecil mengimbuh keelokan durjanya. Meski masih belia, ia bak perwujudan dewi Aphrodite.

Sekarang ia tengah berdiri memandang luar jendela kamarnya, tubuhnya lelah sebab seharian bermain adu peran bersama Galih. Kini bakat menulisnya berkembang pesat berkat buku pemberian sahabatnya. Jenar mengubah tulisannya dan senantiasa mempersaksikan hasilnya pada Galih. Lelaki itu memang paling bisa mengalihkan kerinduannya pada sang ayah.

Bicara tentang ayahnya, Jenar bersyukur lantaran ayahnya hanya direkrut sebagai pasukan Heiho yang tugasnya hanya membangun kubu dan menjaga kamp tahanan. Namun, ini sudah menginjak minggu kelima dari kepergiannya. Tak letih, setiap malam ia merapal doa agar sang ayah baik-baik saja.

Fantasinya buyar tatkala indra pendengarnya menjerat bising ketukan pintu. Apa itu Galih?

Tangannya menarik gagang pintu dan termangu skeptis. Orang yang ia rindukan kini menjadi atensinya. Buru-buru ia melabuhkan tubuhnya untuk mengakhiri rindu. Ambar yang baru menghampiri pintu mengikuti hal yang sama. Keduanya sama-sama menangis haru.

"Sstt, tenanglah, aku baik-baik saja berkat doa kalian," bisik Rajen menenangkan. Ia membawa keduanya duduk di meja makan. "Aku mengalami kecelakaan kecil saat memindahkan alat-alat militer dari mobil dan membuatku terluka."

Sudah Jenar duga, mustahil tentara-tentara itu meloloskan Rajen begitu saja.

"Tapi tidak masalah, ini hanya luka kecil dan
akan segera pulih. Aku berhasil mengelabui kepala prajurit hingga akhirnya aku dipulangkan
karena dianggap beban."

Senyum ketiganya merekah.

"Tunggu apa lagi? Mari kita makan ayam untuk merayakan!"

━━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

Gadis bersurai gelap itu masih asyik bergulat dengan buku di pangkuannya hingga tak engah surya habis berganti wulan. Kini ia di ruang baca Nyonya Djani sendirian selagi wanita itu membasuh diri dan mengizinkannya membaca koleksi buku sepuasnya. Sudut bibirnya enggan terbenam mengingat keluarganya kembali utuh dan makan malam hangat mereka. Diam-diam dersik mengarungi cela kaca dan tidur adalah manifestasi terbaik dari rasa kantuk yang menjeru.

Sadar malam tiba, Djani singgah ke ruang baca berniat menyuruh gadis kecil itu pulang. Alih-alih membangunkan Jenar, ia malah menyelimutinya. Djani tidak sampai hati mengabaikan gadis kecil seorang diri di malam hari.

━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

━━━━━kidung sang poejangga━━━━━━

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


kidung sang poejanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang