34 | Bye!

1.7K 110 5
                                    

Wanita yang memakai heels itu keluar dari ruang presiden sembari mengusap air matanya. Tentu saja hal itu tidak terlewatkan dari pandangan semua karyawan. Bahkan saat di lift, pabila dia berpapasan dengan beberapa pegawai, tak jarang dari mereka menggunjinginya.

"Kenapa putri walikota itu terus-terusan menggoda Presdir?"

"Iya. Apa dia buta? Betapa Presdir mencintai istrinya."

Kira-kira seperti itu yang sampai di telinga Cornelia. Wanita itu mengeratkan rahang dan mencengkeram tali tas selempangnya. Ia menundukkan kepala. Hanya berhadapan dengan karyawan kelas bawah saja dia sudah malu.

Cornelia sampai di basement. Ia buka mobilnya dan masuk ke dalam kemudian menutup pintunya dengan membanting. Gadis itu memukuli setirnya sambil menangis histeris. Tas selempang hitamnya ia buka lalu mengambil sebotol air pembersih dan sebuah kapas. Lewat kaca spion dia mematut wajah untuk membersihkan make-upnya. Seketika memar di seluruh wajahnya terlihat. Cornelia menangkup wajahnya sendiri sambil menangis meraung-raung.

"Aku lelah.. AKU LELAH!!"

Ia nyalakan mobilnya lalu menarik persneling dan menginjak gasnya. Wanita itu melaju meninggalkan gedung pusat Max Group. Air matanya terus meluruh bersamaan setiap meter jalan yang dilewatinya.

TIINN!!

Klakson mobil box itu tertuju padanya, sebab Cornelia berbelok tanpa menyalakan lampu sein. Ia berhenti di pinggir jalan sembari menata perasaannya. Salivanya ia teguk. Sisa air matanya ia usap. Ia tarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kemudian kembali melaju.

"Apa aku mati saja?" gumamnya sendiri.

Cornelia menelan ludahnya. Pandangannya berubah menjadi datar dan penuh tekad. Tangannya segera menarik persneling, kakinya menginjak gas. Kemudian ia menutup matanya.

TIIINN!! TIIINNN!!

CITT!!

BRAAKK!!

Zeny dan Mark berlari menyusuri lorong agar sampai di ruang UGD. Pasutri itu terlihat sangat khawatir. Bahkan Zeny sudah tak sanggup lagi menahan tangisnya. Berita putrinya mengalami kecelakaan sungguh memukulnya.

"Dokter! Bagaimana keadaan putri kami?" tanya Mark.

"Nona Cornelia mengalami patah tulang kaki kiri dan pendarahan ringan di kepala. Untung saja tidak sampai mengancam nyawa. Beberapa jam lagi, Nona Cornelia akan siuman, Pak Walikota. Saya permisi."

Mark dan Zeny menghela napas lega. Mereka lihat putrinya dibawa keluar dari ruang UGD. Pasutri itu mengintilinya hingga sampai di ruang perawatan. Zeny duduk di kursi samping ranjang sembari mengenggam tangan putrinya.

"Bagaimana kamu bisa seceroboh ini, hum?" tutur Zeny.

Dua jam kemudian, Cornelia mulai mengerjapkan mata. Nuansa putih menjadi objek yang dilihatnya. Semerbak bau medis, membuatnya berpikir. Apakah dirinya masih hidup?

"Sayang."

Cornelia mengerut kening. Itu suara Mama kan?, batinnya.

"Hey! Kamu bisa dengar Mama? Lihat Mama?"

Cornelia mengangguk pelan.

"Syukurlah!" Zeny terharu melihatnya.

"Lia masih hidup?" lirihnya.

Mark menyahut, "Apa yang kamu katakan? Tentu saja kamu hidup, Sayang."

Cornelia mengeratkan rahangnya melihat sang ayah. Menurutnya semua kesialan dalam hidupnya bersumber dari Mark. Jika saja Papanya itu tidak melakukan hal jahat, sudah tentu Cornelia akan mengencani pria yang dicintainya, bukan mengemis cinta pada Aldrich.

ALIENATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang