38 | Terror

1.6K 94 3
                                    

Semenjak Cornelia meninggal, hubungan pernikahan Aldrich dan Arabella berjalan begitu tentram. Tak ada lagi rengekan minta dinikahi ataupun surat berterbangan. Kini Arabella bisa lebih fokus pada pendidikan dan juga suaminya. Seringkali saat tak ada jam kuliah, dia membawakan makan siang untuk sang suami. Setiap weekend, Aldrich juga rajin mengajaknya jalan-jalan barang menilik pantai. Hal serupa juga terjadi pada Aldrich. Pria itu dapat berkonsentrasi pada pekerjaannya. Sehingga jarang sekali dia harus lembur. Bisnis ke luar kota juga lebih tenang, sebab sang istri tidak risau. Namun semua itu harus ditutup sore ini.

"Untukku?" tanya Arabella pada satpam kediaman Maximilian itu.

"Iya, Nona. Di sini jelas tertulis nama Anda."

Arabella menerima kotak itu. "Okay. Terima kasih."

Sambil bersenandung, Arabella membawa kotak paketnya menuju kamar. Senyumnya merekah, membayangkan apa isi di dalam sana. Perlahan dia gunting solatip yang membungkus serta bubblewrapnya.

"Apa Paman ingin memberi kejutan untukku?" Arabella terkikik.

Arabella berhasil membukanya. Keningnya mengerut mendapati sebuah box kaca buram. Ada gembok kecil di sana. Ia pun mencari kuncinya yang ternyata jatuh bersamaan dengan bubblewrapnya. Arabella berdiri, kemudian meraih kunci itu. Perlahan ia buka gemboknya. Karena sedikit susah, Arabella terpaksa mengangkat box itu. Berhasil. Ia pun membukanya. Namun bola mata Arabella segera membelalak.

PYAARR!!

"Ara?!"

Arabella menoleh terputus-putus pada suaminya dengan air mata mengucur. Tubuhnya menggigil. Tangannya bergetar hebat.

"AAAAA!!!"

Semua orang berkumpul di ruang keluarga. Arabella tak henti mengucurkan air matanya. Tubuhnya masih saja bergetar. Ada Alfred dan Varischa juga Aluna dan Revander yang bergabung. Mereka semua mendiskusikan tentang paket yang diterima Arabella.

"Apa kau bisa melacaknya, Revan?" tanya Aldrich.

Pria bermata biru itu mengangguk. "Aku usahakan, Kak."

"Sebenarnya siapa sih yang melakukan semua ini? Meneror Kak Ara dengan mengirimkan kepala kucing. Astaga!" keluh Aluna.

Semua orang berperang dengan pikiran masing-masing.

"Jangan terima paket apapun melalui alamat rumah. Jika memang perlu, minta semua orang yang bersangkutan mengirimnya ke kantor!" titah Erick.

Aldrich mengangguk. "Baik, Dad."

Alfred menyahut, "Apa Kak Ara punya musuh tersendiri? Maksudku.. yang tidak berhubungan dengan Kak Aldrich."

Arabella mengangkat kepalanya yang semula bersandar di dada suaminya. "Aku.. Aku tidak tahu. Aku tidak pernah merasa bermusuhan dengan siapapun."

"Sepertinya itu dari Kak Aldrich."

"Maksudmu.. dia musuhku, Revan?"

Revander mengangguk.

Arabella kembali menangis. Dasha segera mendekat dan mengelus tangan menantunya itu. Ia katakan jika Arabella akan baik-baik saja.

Sementara itu, Aldrich berperang dengan pikirannya. Pria itu berdiri di balkon ruang keluarga setelah menidurkan istrinya. Alisnya terus menaut. Ia tak bergerak sedikitpun bahkan saat Revander mendekat. Pria berambut pirang itu juga menumpukan kedua lengannya di pagar.

"Rambut perak."

"Ya?" Aldrich menoleh.

"Aku lihat sumbernya si rambut perak. Pastinya Kakak lebih tahu siapa itu?"

ALIENATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang