🔺Langkah ketujuh

31 3 18
                                    

I hold on to little pieces

Potongan kecil hanya akan menjadi gambaran, bukan membawa perdamaian.

. . .

Pilar besar yang menjadi penghalang mungkin akan rubuh beberapa tahun lagi. Harusnya aku tidak mendengarkan ocehan Amnan pagi tadi. Siang ini aku hanya merasa paling bodoh diantara napas yang berembus. Sinting! Aku lupa kalau sore nanti Mas Nandi akan pulang.

Tapi ponselku terus berdering dan selalu muncul nama Prasasti di sana. Orang itu mengganggu perdamaian hari liburku saja. Aku pun segera menggeser tanda hijau pada layar ponselku, berharap akan ada keajaiban kalau aku mengangkatnya dengan penuh cinta. Namun, realita dan ekspetasi tidak akan pernah sejalan, menyebalkan!

"Mas Nandi baik- baik aja, kan, Ger?"

Aku mengangguk, belum mau menjawab. Lagipula aku tidak tahu harus menjawab jujur atau sebaliknya. Dalam rekaman ponsel Minggu lalu, pasti Prasasti mendengarnya dengan jelas, apa dia masih ingat? Aku kembali menggeleng, jika saja aku  menurut kemarin, hari ini aku tidak akan menjadi babu rumah tangga. Mulai dari bangun pagi, membereskan rumah, hingga menyiapkan sarapan untukku dan Amnan.

"Ger. Lo dengar gue, kan?"

Aku tersentak, hampir saja aku lupa, aku sedang bicara dengan Prasasti saat ini. Aku pun berdeham, mencoba mencari alasan yang tepat agar tidak dicurigai.

"Iya, gue dengar. Ada apa nanya Mas Nandi?" tanyaku pelan. Aku bisa mendengar Hela napas berat dari sebrang, aku yakin kalau Prasasti sedang memikirkan sesuatu tentang kami. Tidak, tapi Mas Nandi dan Amnan.

"GPS Mas Nandi nyala, kalian baik-baik aja, kan?"

"Gps?" gumamku, aku pun terdiam sejenak, mencoba mengingat puing kecil yang mungkin telah kulewati tanpa sadar.

"Ger! Lo dengar gue, nggak sih?"

"Iya, gue dengar."

Aku mendecih saat Prasasti berteriak. Tak lama aku pun mengecek ponselku memastikan kalau ocehan Prasasti hanya kekhawatiran belaka. Namun, detik berikutnya, aku ternganga. Lokasi Mas Nandi berpindah. Lagi-lagi aku terkejut mendengar suara Prasasti. Lelaki itu pandai membuatku senam jantung rasanya.

"Benteng pertahanan, 009. Buruan, gue susul nanti, jangan lama-lama Ger. Gue tunggu!"

Sial, apa sih dia ini, kode murah dengan harga terjangkau? Sudah seperti belanjaan dengan harga diskon saja. Aku tidak yakin, karena kode yang diberikan Prasasti menandakan kalau ada bahaya.

"Ger!"

Ya, aku yakin itu kode bahaya yang diberikan Prasasti. Sambungan telepon pun  terputus, aku tidak ingin membuang waktu hanya karena berpikir terlalu lama. Tapi—yang dimaksud Prasasti akan menyusul, itu apa?

Mungkinkah, dia kembali dalam waktu singkat?

Aku kembali mendapat pesan dari Prasasti, angka yang sama, ketika kami berbicara ditelepon tadi.
Aku rasa kekhawatiran kami dulu, akan terjadi jauh lebih cepat.

Dulu, ketika kami duduk di balai desa, aku dan Prasasti sempat berbincang akan masa depan, padahal kami sadar, masa sekarang saja masih butuh perhatian. Kekeh di tengah angin bertiup mengajakku berpikir sejenak. Obrolan-obrolan singkat menjadi hal yang paling menarik awalnya. Namun, beberapa detik setelahnya, aku sadar ketidaknyamanan obrolan kami harus diakhiri dengan sendu yang Prasasti perlihatkan.

"Ger, selama gue nggak ada, gue akan sambungkan jejaring canggih di hp lo, sama gue. Kalau ada apa-apa di rumah, gue bisa tahu. Begitu juga sebaliknya. Kalau ada apa-apa sama lo, gue pasti tahu."

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang