🔺Langkah ketiga

48 4 18
                                    


Your steps keep me awake

Terjaga hanya untuk sesaat, atau melangkah agar tidak menderita?
. . .

Kembalikan rumahku? Jangan harap apa pun dari kata 'kembali' sebelum berperang. Rumahku telah berpulang, apa lagi yang mau ditunggu? Belas kasih? Jangan mimpi! Sejak dulu, tak ada ulur tangan yang benar-benar tulus membawaku pergi dari kegelapan. Ya, kalian benar, aku hanya fenomena alam yang hanya datang sesaat lalu pergi.

Aku heran mengapa namaku begitu menyebalkan bila di sebut, tapi begitu mengagumkan bila diingat. Tidak semua orang bahagia ketika aku hadir di tengah bahagia, tidak semua orang senang ketika aku memulai percakapan. Yang aku tahu, mereka benci ketika aku melintas di hadapan mereka. Iya, mereka membenci kehadiranku. Mereka tidak suka aku ada diantara orang-orang penting padahal, itu keluargaku sendiri.

Aku ada tapi tidak di sana, begitu katanya. Aku hadir, tapi tidak dinanti. Hadirmu hanya sebatas datang, bukan untuk singgah. Jadi, wajar jika Amnan memintaku untuk pergi, tepatnya aku lupa, tapi aku sangat ingat saat Prasasti memilih jalannya untuk tidak kembali di awal bulan usai lolos dalam seleksi.

"Tolong jangan jadi pahlawan kesiangan. Hidup itu harus realistis, kalau lo butuh duit, kerja, bukan rampas hak orang."

Itu Johanes, dia seorang penegak hukum, tapi tingkahnya seperti preman pasar yang sukanya memalak. Aku berteman dengannya sejak SMA, kalau tidak salah ingat dia salah satu anak fenomenal karena kelakuannya yang minus, alias tukang bolos di jam-jam sakral ketika pelajaran berlangsung.

"Gue kasih tahu, seragam lo cuma formalitas doang. Tapi lo tahu sendiri nggak semua penegak bisa punya pola pikir kayak lo, Nes."

Dia ternyata, menjijikan. Setelah sekian lama aku baru sadar, kalau Johanes masih menyimpan pin yang pernah kuberikan saat pelepasan sekolah dulu. Rasanya baru dua tahun lalu aku menjadi alumni sekarang sudah bukan siapa-siapa.

"Alah! Itu akal-akalan lo aja yang mageran. Untung gue sohib yang bijak, kalau nggak, hari ini lo punya predikat baru selain di sekolah dulu."

"Persetan sama julukan. Prasasti pergi, adek gue ngambek, kira-kira kalau gue balik, Mas gue bakal kasih nasihat nggak, ya?"

"Drama terus hidup lo, Ger. Ada gue, nanti kita obrolin lagi, hari ini ada dinas malam, lo di sini baik-baik. Jangan godain kucing kesayangan gue, awas aja!"

Aku mendecih, dia ini seperti perawan yang baru saja menstruasi, berisik dan bawel. Aku yakin siapa pun yang punya masalah hukum dengannya, akan mendapat hadiah istimewa yang tidak pernah dilupakan.

"Udah sana, kucing lo masih aman dihabitatnya."

Alasanku tidak kembali hanya karena Amnan masih marah padaku, sementara Mas Nandi masih belum mau bicara padaku, menyessl juga tidak ada untungnya, tapi aku tidak terbiasa berdiam diri. Biasanya kalau di rumah musuhku hanya Amnan dan Mas Nandi, manusia x yang pernah aku tandai keberadaannya.

Aku menggeleng, ingatanku kembali lagi, sial! Kenapa datangnya tidak tepat, padahal aku sudah berusaha melupakan hal menjijikkan saat di sekolah saat itu.

"Kamu lagi, kamu lagi. Gerhana Laut Pangestu. Um, bagus juga." Aku memerhatikan wajah predator yang sedang menyelidiki nametag-ku dengan kaca pembesar yang selalu dibawanya ke manapun. Aneh. Dari semua guru yang pernah kukenal, baru beliau yang selalu berpakaian layaknya anak jalanan. Berantakan!

"Saya nggak telat, Pak." kataku menghela napas kasar. Aku memutar bola mataku malas, melihat lembaran kartu kuning dan merah dalam kantung bajunya membuatku gila mendadak.

"Telat dua menit."

"Lho, saya telat karena bapak halang, coba kalau nggak, saya nggak akan telat."

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang