🔺Langkah ketiga belas

20 1 0
                                    


Harga diri.

. . .

Katakan pada mereka kalau manusia memiliki batas maksimal dalam memilih dan memutuskan sesuatu. Iya, aku tahu itu. Ita Jumansyah. Salah satu teman se-kelas-ku saat  masih sekolah dulu, dia hanya seorang laki-laki payah menurut mereka yang katanya sempurna.

Anas. Panggilan akrabku padanya, berbeda dengan Presda yang selalu mencibir tanpa berpikir. Anas berbeda, dia memang laki-laki tulen, namanya saja yang terkesan ambigu dengan status jantan sebagai pembuktian.

Dia itu pandai, bahkan selalu datang lebih awal dibanding yang lain. Kami mulai pertemanan singkat setelah masuk dalam satu grup yang sama. Anas pernah berkata kalau sebelumnya tak ada yang mau dekat atau berbincang dengannya. Alasannya sangat klise, aku hanya mengangguk saja waktu itu. Iya, aku tak mengerti tentang argumen orang apalagi isi kepala orang lain. Yang kutahu, Anas selalu menjadi bahan perbincangan karena identitasnya yang tak sesuai. Heran saja sebenarnya, yang memberi nama, kan, orang tua Ana, tapi orang-orang yang merasa risih dan berkata yang tidak, tidak.

Aku juga sempat berburuk sangka kala tahu nama asli Anas, dan bagaimana orang menyapanya dengan tidak baik. Menurutku sah-sah saja kalau orang tua memberi nama, toh nama terbaik yang diberikan adalah doa yang paling baik untuk si pemilik. Mungkin, hanya kurang tepat untuk anak laki-laki seperti Anas.

Waktu itu, tepatnya sore hari menjelang petang. Aku, Anas, Johanes, dan dua temanku yang lain sedang berbincang masalah tugas praktik yang diberikan oleh Mr. Anwar, salah satu guru favorit yang masuk ke dalam list di kelasku.

Jika Mr. Anwar masuk kelas, beliau akan disambut hangat oleh teman se-kelas-ku, bukan tanpa alasan, singkatnya Mr. Anwar tidak pernah memberi sanksi berat kalau hanya sekadar tidak mengerjakan tugas atau datang terlambat. Beliau hanya memberi hukuman ringan saja, contoh lain seperti membersihkan toilet,  atau berdiri di depan kelas sampai jam pelajarannya usai. Menurutku itu cukup ringan, jika keseringan Mr. Anwar punya caranya tersendiri untuk memberi hukuman yang tepat agar tidak terulang di kemudian hari.

Aku setuju dengan aturan ketat yang ada di setiap sekolah, pasti beda-beda. Aku juga setuju jika siswa melanggar harus diberi hukuman. Aku sangat setuju jika semua aturan yang ada sekolah dilaksanakan sesuai tempat dan kesalahannya. Tapi aku sangat tidak setuju, jika seseorang bertindak tidak pantas dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Misal saja seperti temanku, Dika. Saat jam pelajaran sejarah dia tidur di kelas. Aturan tetap aturan, aku  tahu itu. Tapi tidak pantas untuk seorang pendidik melayangkan tangan dengan hal kecil. Mungkin bisa ditegur pelan-pelan atau memberi peringatan saja, kan?

Aku saja tersentak, terlebih suara guruku sangat ketus, saat mengajar pun begitu membosankan. Tidak alasan, jika ada beberapa siswa yang kurang tertarik dengan pelajarannya. Terkadang aku berpikir mungkin yang salah bukan hanya siswanya, gurunya pun juga demikian. Bukan salah dalam mengajar, tapi bagaimana menyampaikannya, ya, kurang lebih begitu. Aku hanya terkekeh saat membayangkan wajah kesal Dika, dia hanya mengangguk tapi siapa yang tahu isi hatinya?

Lagi, lagi aku terbawa arus. Aku kembali menatap tembok putih di depanku. Kisah klasik jaman SMA masih sangat kental, tapi memori beberapa bulan terakhir jauh lebih menyakitkan. 

"Kamu Gerhana?"

"Iya, saya Gerhana. Ada apa?"

"Oh, jadi benar, dia orangnya? Pantas."

Aku menggeleng saat aku tahu kalau tatap sinis itu benar-benar mengarah padaku yang duduk diam membisu di halte bus. Jalanan ramai dengan kendaraan. Sementara trotoar dipenuhi oleh beberapa orang yang sedang menunggu angkutan umum atau berjalan sambil mengobrol dengan rekannya.

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang