🔺Langkah kesebelas

17 1 0
                                    

Kesempatan

. . .

Sebuah tindak kriminal, lagi-lagi berita yang sama yang tayang di stasiun televisi. Membosankan. Aku heran mengapa banyak orang percaya kalau kasus hukum akan lebih menakutkan daripada hukum alam yang sebenarnya.

Ada banyak yang perlu dilihat, tentang kehidupan alam sekitar, contoh kecil saja seperti penebangan liar, atau pencurian yang berakhir dengan hukuman berat. Padahal, jika dilihat dengan mata kaca, seseorang tidak bisa melaporkan sesuatu yang dirasa ringan, jika ada pilihan lain, mungkin bisa secara kekeluargaan saja.

Aku menggeleng kuat saat mendengar Johanes memberiku petuah ketika aku mengobrol lewat sambungan telepon. Dia aneh, tapi masih mau menjalin pertemanan denganku. Katanya, kalau tidak bersalah untuk apa takut? Lakukan saja, jika itu yang terbaik. Lagi-lagi aku terkekeh. Bukan sekali Johanes mengatakannya, tapi sering, mungkin aku saja yang kurang mengerti.

"Dengar Ger, sakit fisik nggak ada apa-apanya dibanding sakit batin."

Percakapan kami yang terasa klasik, membuatku terdiam sesaat, padahal ingin sekali aku bertanya padanya, mengapa semua orang akan terlihat hina jika memiliki masalah serius atau mungkin akan dijauhi masyarakat karena status baru yang melekat setelah terbebas dari tahanan.

Tak lama, Johanes terkekeh, dia benar-benar terhibur dengan obrolan yang tidak tahu mulainya dari mana dan berakhir di mana. Aku pun tersentak ketika Mas Nandi datang dengan segelas teh hijau favoritku.

"Duduk dengan tenang, jangan terlalu banyak melamun. Katakan, ada apa?"

Aku diam sejenak, setelah menerima minuman yang dibawakan oleh Mas Nandi. Aku tak yakin tapi aku ingin sekali bertanya bagaimana perasaan Mas Nandi setelah berpisah dengan mantannya. Walau aku tahu, obrolan itu akan bosan diceritakan berulang kali.

"Pikiranmu tidak lagi mempengaruhi lambungmu, kan?"

Aku menggeleng, sesekali menyesap teh hijau yang masih mengepul. "Enggak. Kemarin udah diperiksa Putra," kataku. Mas Nandi mengangguk saja. Aku tahu itu tak akan membuka percakapan yang serius sebenarnya, tapi aku tak akan memulai jika Mas Nandi tidak memulainya lebih dulu. Aku sangat tahu sifat Mas Nandi yang begitu monoton, kaku, dan membosankan itu. Aku hanya memerhatikan pergerakan tangannya yang nampak gelisah dari sudut mataku.

"Ngomong aja, kali."

"Bisa tidak, tidak usah mengganggu pikiranku?"

Aku tertawa begitu melihat wajah Mas Nandi yang terkejut ketika mendengar suaraku yang begitu tiba-tiba. Kalian harus tahu satu hal, Mas Nandi, kakak sulungku itu sangat membosankan kehidupannya, tapi dia sangat setia pada satu wanita. Namun, dia patah karena wanita juga. Saat perpisahan tidak ada hal yang spesial, tapi setelah beberapa bulan usai perpisahan, Mas Nandi semakin kaku, jadi gila kerja dan jarang di rumah. Aku memaklumi, tidak dengan Amnan. Anak itu selalu protes dan terus merajuk ketika Mas Nandi pulang malam atau pergi tanpa pamit saat pagi tiba.

"Mas, gue tahu, gue bukan adik yang baik yang bisa lo banggain. Tapi gue berusaha buat terus jadi lebih baik supaya lo nggak malu kalau ajak gue ke mana-mana," kataku menunduk. Uap panas dari gelas teh yang ada dalam genggamku pun mulai tak terlihat. Pelan-pelan aku menoleh ke arah Mas Nandi yang sudah bersandar di punggung kursi.

"Aku tahu, lalu apa? Apa aku juga harus bersikap egois sama seperti yang lain?" Aku menggeleng kuat, lalu kembali menunduk.

"Mas, Amnan sama Prasasti nggak egois kok. Gue-nya aja yang kadang nggak tahu diri."

"Kamu bodoh atau bagaimana? Tubuh saja gagah, tapi nyalimu sepeti permen kapas. Payah!"

Hei, apa yang dia katakan? Aku payah? Aku mendengus kesal. Bagaimana bisa Mas Nandi mengatai aku dengan tidak elegan. Padahal, aku ini keren. Dia saja yang jarang di rumah, selama sehat selalu di kantor, karena sakit saja jadi sering di rumah. Aku pun meletakan gelas tehku kemudian menatapnya dengan kesal.

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang