🔺Langkah kesembilan

23 1 0
                                    

I can't wait to get you

Ketidakadilan lagi? Lupakan! Tidak bisa mendapatkan hak yang sama dengan lain, bukan sebuah alasan untuk menyerah. Lakukan apa yang kamu suka.

. . .

"Dengarkan hukum alam. Semua hal yang hari ini terjadi, akan terjadi suatu saat nanti."

Semua yang kulakukan hanya akan sia-sia bukan? Lantas apa yang harus dipertahankan jika semuanya sudah hancur berantakan? Ini seperti penjara hidup dalam dunia. Semua orang menjauh seolah tak peduli dengan keadaan orang lain. Jangankan melihat, bertanya apa kabar saja rasanya mustahil untuk didengar.

Ini sama seperti pembelaan tanpa saksi. Hanya ada kekecewaan dan berakhir dalam penyiksaan. Semua orang tidak akan memandangmu, mereka justru menindas dan menyalahkanmu atas kesalahan yang murni tidak kamu lakukan.

Ada aktor yang sedang bermain pasti akan ada penonton yang mengkritik. Bukankah dunia ini keras? Lalu apa lagi yang mau diharapkan dari sebuah interaksi dengan media masa yang terkadang hanya sebatas peres? Pesan moral? Bukan, tapi keadilan yang tidak tahu apa itu benar  atau tidak.

Lagi-lagi obrolan singkat yang tidak berguna. Siaran gosip di pagi hari jauh lebih mendominasi daripada saksi dan bukti.

"Obrolan gila!"

"Kamu yang gila, sudah tahu tidak pantas dilihat, kamu tetap menjadi penonton setia tanpa dibayar."

Kekeh basi yang kudengar bukan sebatas ucapan tak berguna, ada selip makna yang tersimpan di dalamnya. Setelah pulang dari rumah sakit, Mas Nandi sedikit diam, bicara seperlunya dan aku hanya menjadi patung jika tidak dibutuhkan. Sementara Prasasti hanya datang sebentar untuk membuang waktu lalu kembali ke markas dengan bangga memamerkan baretnya padaku.

"Manusia sinting!"

"Mas. Jangan kayak netizen, deh, diem bisa, kan?"

"Tidak akan ada manusia yang bisa bertahan tanpa bicara Ger. Kalau kamu siap menerima penolakan di masyarakat, harusnya kamu sadar untuk tidak bertindak gegabah."

"Mereka aja yang udah su'uzon sama gue. Gue berniat baik, malah dikira komplotan."

Mas Nandi tertawa, sudah lelah meladeni ucapanku yang suka seenaknya. Sudah tiga kali dalam dua pekan Mas Nandi masuk rumah sakit dengan alasan yang sama. Padahal kapasitas tubuhnya jauh lebih bugar dibandingkan diriku yang kadang sulit untuk mencerna makanan berat.

"Lambungmu bagaimana?" tanya Mas Nandi saat hening menyelimuti diantara kami berdua. Lelaki yang kini duduk bersandar sambil memakan camilan rumahan, sangat-sangat tidak ramah bila bertanya pun, tidak ada senyum di wajahnya. Aku heran, bagaimana bisa sosoknya begitu monoton dengan bahasa baku sebagai caranya berinteraksi.

Aku menoleh, menemukan tatap tajam itu sudah memandangku sejak tadi. "Mas, kalau punya masalah sama kerjaan mukanya biasa aja dong. Horor banget, deh."

"Kamu tahu, manusia di luar sana sangat tidak ramah pada sesama. Mereka memilih menjadi egois padahal masih membutuhkan satu sama lain."

Aku pun menyandarkan tubuhku, sambil menikmati camilan yang ada di tengah antara aku dan Mas Nandi. Tak lupa dengan siaran televisi yang sama sekali tidak menyenangkan, hanya sebagai pajangan agar suasana tidak begitu sepi.

"Tumben, emang Mas Nandi punya masalah di kantor? Hasil disain juga pasti bisa memuaskan klien, kan?"

Mas Nandi menggeleng,lalu terdiam sejenak sebelum pandangnya ia bawa lurus ke depan. Ada hela napas panjang sebelum Mas Nandi kembali melanjutkan ucapannya.

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang