🔺Langkah keenam belas

13 2 0
                                        


Tamparan panas.

. . .

Setidaknya aku masih bisa berpikir walau sebenarnya, aku masih belum percaya tentang fakta yang telah menyeret-ku selama berbulan-bulan lamanya. Aku tertidur cukup lama, begitu katanya. Detak yang tiba-tiba berhenti, namun tidak sedikitpun dari mereka yang mencoba untuk membangunkan-ku.

Sedetik saja aku melangkah melewati lorong, mungkin aku tak akan kembali lagi. Iya, aku tak akan pernah kembali pada dunia yang saat ini sedang menjeratku dalam bahaya.

Malam itu, udaranya sangat dingin, gedung seribu lantai telah memberiku banyak luka. Menggores setiap jejak yang harusnya sudah pulih. Aku terbenam dalam halusnya usap lembut yang membuatku enggan membuka mata.

"Pergi dari sini, Ger. Biar gue yang ngurus."

Aku menggeleng kuat saat Prasasti mengatakan kalau dia bisa melakukannya sendiri, usahaku untuk bertahan di sana hanya sebagai pigura. Aku ada, tapi tidak tersentuh. Aku hanya menatap prasasti yang berusaha menyelamatkan seorang gadis dari jahatnya manusia tidak beradab. Aku ada di sana, sekali lagi, aku ada di sana. Langkahku terhenti ketika peluru benar-benar berhasil menembus kulit prasasti. Aku tidak percaya, aku hanya berteriak memanggil nama prasasti yang sudah terkapar lemas dengan gadis yang menangis di sisinya.

Tawa keras dari para penjahat itu membuatku tak tahan. Ingin sekali aku merobek mulutnya yang terus bersuara dan mengatakan Prassti telah tewas.

"Ger, pergi! Gue baik-baik aja."

Senandung merdu yang saling menyahut membuatku sadar. Aku hanya seorang lelaki yang tidak bisa menyelamatkan diri di saat saudaraku membutuhkan pertolongan. Aku benar-benar terlihat bodoh ketika tubuh tidak berdaya Prasasti diseret dan meletakkannya di hadapanku. Kedua tanganku yang semula dicekal pun terlepas. Aku berlutut di hadapan Prasasti, mengusap wajahnya yang sudah berlumuran darah.

"Sas, jangan tinggalin gue. Gue nggak bisa lihat kekecewaan Mas Nandi sama Amnan. Sas, lo denger gue,kan?"

Prasasti tidak membuka matanya, namun sedikit napas yang tercekat membuatku hampir putus asa. Sebelah tangan Prasasti terangkat lalu memegang punggung tanganku yang masih berada di atas dadanya.

"Tu-nggu, gue pu-lang. Gue bai-k, kok,"

Aku menggeleng kuat saat Prasasti berusaha untuk mengatakan sesuatu padaku. "Lo pasti baik-baik aja, ayo bangun," kataku mencoba untuk bangkit agar aku bisa memapah tubuhnya yang sudah terkulai lemas.

"Bo-doh."

Setelahnya Prasasti benar-benar menutup matanya dengan sempurna. Tidak ada pergerakan apa pun lagi yang bisa aku rasakan. Dingin. Hanya itu yang bisa aku katakan.

"Bang!"

Aku menoleh, aku—tidak—ini bukan di tempat yang sebenarnya. Aku tersesat? Sesekali aku memerhatikan setiap sudut interior yang ada di sekelilingku. Ada satu buah pigura besar dengan lilin aroma lavender di bawahnya. Menyengat. Aku tidak menyukainya.

"Gerhana... Nama yang pernah terlintas saat aku sedang berada di tepi sungai yang ada di daerah Bima, Nusa Tenggara Barat."

Aku tersentak saat ingatanku berlalu melintas kembali ke masa di mana semua orang terlihat bahagia. Mungkin sekitar beberapa tahun silam, aku tidak ingat tepatnya kapan. Yang pasti aku sangat yakin, suara itu adalah suara Mas Nandi.

"Gerhana bukan bulan atau matahari. Itu, kan, yang selalu kamu katakan padaku? Lantas apa yang ingin kamu sampaikan, Na?"

"Adikku. Sebentar lagi dia akan lulus sekolah, aku masih belum percaya kalau aku mampu membesarkan ketiga adikku."

"Pertanyaan macam apa ini? Kamu tidak yakin? Sejak kapan seorang Lanandi pesimis begini?"

Aku terpaku sejenak saat namaku disebut disela obrolan santai antara Mas Nandi dengan seseorang di depan teras rumah. Sesekali tawa kecil mengudara antara keduanya. Perbincangan itu semakin serius saat beberapa kalimat terakhir yang diucapkan Mas Nandi.

"Dia hanya benalu. Kamu tahu, kan, alasanku untuk tetap diam walau aku ingin."

"Na, biar bagaimanapun, Gerhana tetap adikmu. Dia saudaramu, bukan orang lain yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan kalian. Kamu lupa apa yang pernah kamu katakan padaku tempo hari?"

"Aku ingat. Sangat ingat meski tidak diberitahu olehmu berulang kali. Tapi aku tidak ingin semua orang menuduhkan kesalahannya pada Prasasti. Aku muak, kamu tahu itu! Aku tidak suka, bahkan seujung jari pun, aku membenci keberadaan yang selama ini sangat aku hindari. "

"Kamu tidak ingat. Kamu tidak ingin semuanya tahu kalau sebenarnya kamu lelah, semua hal yang bersangkutan  dengan hukum  harus kamu dengar setiap kali kamu menyalakan televisi atau membuka berita yang ada di media sosial."

Aku terdiam cukup lama sampai akhirnya aku tersadar oleh waktu yang telah membawaku pada masa lalu. Selama ini, ke-pura-pura-an telah menyelimuti setiap langkah yang kupikir adalah kebenaran. Nyatanya, kebenaran yang sesungguhnya telah menampar habis semua harapan yang selalu ingin ku-gapai.

Aku harus berlari atau bertahan? Pertanyaan yang selalu melintas dikala sepi menghampiri malam. Sinar bulan yang tampak indah akan tetap sama bila dipandang sambil menutup mata, gelap. Aku merasa semuanya tetap akan menjadi hitam walau putih mampu memberi warna. Kalau saja ada lukisan, aku ingin terlihat indah didalam lukisan saja. Meski awalnya hanya sebatas kanvas putih yang lama-kelamaan menjadi sebuah karya seni dari goresan kuas cat berwarna.

"Ngelamun lagi," tegur yang membuatku selalu ingin waktu berhenti sebentar. Agar aku tahu rasanya sepi yang sesungguhnya seperti apa. Lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng, membiarkan angin membawa pesan yang tak mungkin bisa sampai pada penerimanya.

"Percaya nggak, kalau di balik senyum selalu ada duka." Pertanyaan bodoh yang terlontar membuatku merutuk diri sendiri setelahnya. Namun, pertanyaan itu berhasil membawa kekeh manis dari seseorang yang sudah menjadi rekan satu kamarku.

"Percaya. Karena setiap orang pasti punya bebannya masing-masing."

Aku menoleh, lalu bangkit dari tempat dudukku yang terasa sedikit panas. Aku pun melangkah ke arah deretan besi yang terasa begitu dingin saat ku-sentuh.

"Tapi nggak semua orang mengartikannya sama. Ada senyum yang bahagia, ada juga senyum palsu."

"Maksud, lo?"

Aku berbalik menghadap ke arahnya sambil bersandar  lalu menatap lurus ke arah dinding polos tidak tersentuh apa pun di sana.

"Iya, senyum palsu. Selama ini gue percaya sama satu orang, bahkan selalu gue jadikan panutan ketika gue tersesat. Setelah dipikir-pikir, mempercayai orang juga perlu pertimbangan. Jangan terlalu percaya sama orang kalau nggak mau sakit hati. Tapi gue udah terlalu percaya, bahkan gue nggak bisa lihat, mama senyum yang tulus dan mana senyum yang palsu. Di mata gue semuanya sama, walau gue tahu, gue nggak pernah bisa ada diantara orang-orang itu."

Kata-kataku mungkin tidak jelas, tapi aku yakin kalau semua yang aku sampaikan akan terserap dengan mudah saat tahu apa yang sedang aku alami. Aku percaya pada diriku saat ini, karena yang mampu menolongku hanyalah diriku sendiri, bukan tanpa alasan aku mengatakannya. Ada banyak pertimbangan saat aku terlepas nanti.

"Ger!"

⛔⛔

Yayy, akhirnya aku bisa bawa Gerhana lagi. Selamat datang buat yang baru berkunjung. Terima kasih buat  yang sudah berkunjung. Salam hangat Gerhana 🥰

Publish, 24 Februari 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Publish, 24 Februari 2022

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang