🔺Langkah kedua puluh dua

35 1 0
                                    

Jelajah Kekecewaan

. . .

Gila saja kalau dipikir untuk tetap berbaris seperti orang bodoh. Nyatanya pelatihan baris-berbaris semasa sekolah sangat dibutuhkan untuk masa ini. Sungguh mengejutkan, para pengunjung di setiap swalayan rela mengantre untuk bahan pangan yang mungkin sedang langka di kalangan orang-orang bawah. Rasanya ingin bertindak, tapi aku sadar, situasi sedang tidak bersahabat.

Aku kembali memutar uang logam di atas  laintai dingin tanpa alas apa pun. Mencoba untuk melupakan semua luka, rasanya sangat mustahil namun, aku berusaha untuk tidak mengingat bagaimana kasarnya tangan besar itu pernah menyentuh kulitku. Laporan pihak sekolah membuatku sedikit bernapas lega, setidaknya untuk waktu dekat aku bisa menghirup udara bebas lagi.

"Makasih, ya, Dek. Kali ini kamu sudah membantu kami dalam kasus penjualan organ ilegal."  Gelengan kepalaku nyatanya sama sekali tidak menghentikan ucapan terima kasih yang keluar berulang kali.  Aku pun mengusap lengan pria berbaju cokelat itu dengan lembut, sambil tersenyum lalu menunduk sejenak.

"Saya cuma mau teman-teman selamat, kasus kucing nakal itu tidak bisa dibenarkan, kan, Pak? Makasih udah datang tepat waktu." Pria di depanku mengangguk, lalu pamit pergi setelah kepala sekolah datang usai rapat bersama dewan guru lain.

Ada banyak hal yang tak kumengerti saat pria dingin itu menyalahlanku. Aku benar-benar bingung, tapi aku sadar rumahku bukan di sana, walau nanti aku sendiri yang jadi korban. Tetap saja, tindak kucing nakal tidak pantas. Status orang sebagai taruhan kejahatan. Pemikiran kotor dengan iming harta berlimpah, atau semua hutang akan dibayar lunas kalau sudah menjalankan misi. Persetan dengan kata 'percaya padamu' kalian hanya akan kecewa jika sudah mengenal siapa orang yang memberi kepercayaan itu.

Lagi, lagi, aku teringat pada Prasasti. Kakakku yang paling konyol diantara kami berempat, dialah yang memiliki pola pikir sangat unik. Bahkan dia mengatakan hal-hal yang jarang masuk akal, atau perumpamaan yang minim untuk dimengerti. Capuchino dan latte selalu menjadi pendamping disela obrolan dingin kami.

"Mas Nandi marah sama gue, Sas," kataku tiba-tiba justru membuat Prasasti tergelak. Menyesal rasanya mengadu di saat Prasasti sedang bahagia.

"Bagus dong. Ada kemajuan pesat dari Mas Nandi, kalau gitu gue harus rayain, kan?" Aku menggeleng, rasanya kesal tapi aku tidak bisa berbuat apa pun untuk membalas Prasasti.

"Sas, kata orang tua jaman dulu, Kakak itu panutan adiknya," ucapku. Prasasti mengangguk, lalu menoleh ke arahku sebelum kembali meniup latte yang sudah dipegangnya.

"Gue tahu, terus?"

"Sas, lo, kan, Kakak gue, anak sastra katanya, tapi kenapa gue nggak yakin, ya?"

Bagaimana rasanya? Tidak buruk untuk membuat Prasasti mengomel setelah mendengar perkatakaanku. Aku segera berdiri dan sedikit menjauh beberapa jengkal darinya. Tawaku pecah ketika wajah Prasasti berubah merah.

"Tuh, kualat sama saudara sendiri. Makamya, kalau orang lagi cerita denger dulu, ini malah nyela, nggak boleh, dosa!"

"Sial, lo Ger. Ya udah, mau cerita apa?"

"Perkara hidup kenapa harus dijelajah?"

Aku sudah malas duduk di kursi, lagipula Prasasti juga memilih berselonjor bersamaku di depan teras. Angin semilir membawa udara dingin usai hujan reda semakin terasa. Uap panas yang semuala mengepul kini sudah mulai berkurang.  Aku hanya ingin bertanya pada semesta sebelum akhir datang dan membawa semua kisah.

"Hidup... Kalau dari perjalanan lo sendiri, gimana?"

"Ya? Gue?" Prasasti mengangguk, aku bisa melihat hela napas berat sebelum ia kembali bertanya padaku. Sepulangnya dari tongkrongan, Prasasti sama sekali belum menginjakkan kaki ke dalam kamar, ia datang sambil berteriak memintaku untuk membuatkan minuman hangat. Cuaca yang tidak bersahabat membuat langit menangis sampai tanah tandus berubah basah. 

"Sebelum lo jawab, gue mau kasih tahu sedikit. Kata orang tua yang mungkin udah terkikis karena jaman. Yang pertama; lo harus tahu, hidup itu sesuatu yang sementara dan kematianlah yang abadi. Kedua; lo punya tujuan atau enggak selama lo hidup. Ketiga; list mana yang udah lo jalani selama hidup."

Aku tidak tahu harus menjawab apa, karena sejauh ini tujuanku masih menggantung, ingin semua terlihat baik-baik saja namun, rintangan akan selalu datang tanpa diduga. Awalnya aku hanya ingin mengobrol santai, tapi Prasasti membuatku berpikir jauh ke depan tentang sebuah kekecewaan.

"Kalau lo pikir kita hidup cuma buat senengnya aja, itu kurang baik. Tapi kalau lo pikir kita hidup buat mati, coba ingat lagi, kapan terakhir kali lo mengecewakan orang lain." Aku langsung menoleh, jujur saja, aku belum mengerti apa yang dimaksud Prasasti.

"Gue tahu lo belum paham, sederhananya gini, ada namanya siklus roda. Kadang di atas kadang di bawah. Ketika lo lagi di atas, mungkin lo lupa hal-hal kecil, kayak menolong sesama, atau malah lo nggak ingat kalau dulu ada orang yang care banget sama lo.Nah, ketika lo di bawah, lo baru sadar, deh, kalau sebenarnya lo juga masih butuh sama orang lain. Secara nggak langsung Lo udah mengubah segalanya dengan cara yang kurang baik, melupakan sesuatu yang dulu ada karena hal yang baru. Lo lupa kalau sebelum lo tenar lo juga pernah di bawah, kurang lebih intinya, sih, hargai waktu sebaik mungkin Ger, karena kekecewaan seseorang itu nggak pernah terdeteksi kapan dan gimana, tahu-tahu pergi gitu aja."

Memikirkan ucapan Prasasti sama halnya memikirkan masa depan yang belum terlihat titik terangnya. Tapi aku percaya garis takdir, entah hanya aku atau memang saat aku mengingat wajah Prasasti rasanya aku benar-benar merindukan tawanya yang menyebalkan.  Duduk bersandar sambil mendongak ke atas salah satu kebiasaannya yang sampai detik ini masih kuingat.

"Jadi, penasaran wajah Prasasti kayak gimana, sampai lo paham banget kapan dia ngomong dan kapan dia diam." 

Aku menoleh, menatap Kamil yang kini sedang duduk bersila dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada.

"Karena kita pernah serumah, tapi sekarang rumah kita udah berbeda."

"Ya, gue rasa setiap orang memiliki rasa sakitnya masing-masing, mungkin berat buat dihadapi. Pelan tapi pasti, rencanya Tuhan nggak pernah salah, Ger."

Aku mengangguk, Kamil benar rasa percayaan seseorang akan hilang ketika mereka dipatahkan berkali-kali. Memaafkan memang mudah, tapi sulit untuk melupakannya. Yang Tercipta justru rasa kecewa yang mungkin akan jauh lebih sulit untuk dipulihkan.

⛔⛔

Yayyy, bentar lagi puasa, Gerhana juga mau pamit, semoga selama sebulan ke depan puasa kalian lancar semua, ya. Terima kasih sudah berkunjung, mungkin ada beberapa bab sebelum penutupan see you  Salam manis Gerhana 🥰

 Terima kasih sudah berkunjung, mungkin ada beberapa bab sebelum penutupan see you  Salam manis Gerhana 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Publish, 31 Maret 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Publish, 31 Maret 2022

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang