🔺Langkah keempat

31 5 16
                                    

I once was a man with dignity and grace.

Tahta tertinggi seseorang adalah kesetiaan, kekecewaan yang paling menyakitkan adalah penghianatan.

. . .

Sudah kukatakan pada Johanes, aku hanya menginap untuk satu malam. Tapi dia memintaku untuk tinggal beberapa hari lagi karena Moci tidak ada yang jaga selama dirinya bertugas di malam hari. Sebenarnya tidak ada malasah, hanya saja, Mas Nandi jauh lebih penting belum lagi Amnan yang sudah menggangguku di pagi buta dengan menelponku berkali-kali. Anak itu sangat menjengkelkan, tapi aku merindukannya setiap hari. Meski teman dekatku di rumah adalah Prasasti, kali ini orang itu tidak ada di rumah, ah, lagi-lagi aku menyebut namanya.

Prasasti Gading Pamungkas, sungguh sempurna untuk sosok yang kurasa sangat cocok dengan namanya. Murah senyum, lembut, dan ceria. Dia seperti ukiran kuno, hanya wajahnya saja yang jauh lebih tampan katanya.

Gila, dia itu orang paling gila yang pernah kukenal. Lahir dalam rahim yang sama selalu membuatku bertanya, mengapa aku harus menjadi adiknya?!mengapa bukan aku saja kakaknya? Lagi-lagi aku harus percaya pada fakta bahwa, tingkat kedewasaan seseorang bukan dilihat dari penampilan dan wajahnya saja. Melainkan pola pikir seseorang untuk memahami masalah orang lain tanpa harus menggurui apalagi mengadu nasib. Prasasti orang yang tepat untuk semua itu. Tingkahnya saja seperti bocah, tapi pola pikirnya jauh lebih mengarah ke masa depan bahkan sampai titik terburuk pun sudah dipikirkannya. Ajaib.

"Gue masih di rumah Johan, ada apa?"

"Mas Nandi nanyain lo terus, Bang. Pulang dong. Kalau lo pulang, gue janji duit jajan, gue sumbangin buat lo deh"

"Cuma duit jajan?"

"Ikan nila peliharaan gue, ikan cupang, semuanya deh, tolonglah jangan kayak mbak-mbak kompleks yang habis berantem sama gebetan, nggak seru banget."

"Jemput gue. Lima belas menit dari sekarang."

Ya, aku tahu untuk tidak mengucapkan janji palsu jika tidak ingin ditagih dikemudian hari. Tapi sekali lagi, Amnan punya seribu alasan untuk membujukku kembali. Anak itu hanya akan merelakan ikan cupangnya untukku jual di pegadaian ikan.

Aku yakin Amnan sedang menghardik diriku di sebrang sana. Bagaimana tidak, permintaanku tidak akan bisa ditolaknya. Lagipula, dia yang memintaku pulang, sudah pasti aku akan meminta izin terlebih dulu pada Johanes. Rasanya tidak enak jika aku pergi tanpa pamit, padahal Johanes telah berbaik hati memberiku tumpangan walau semalam.

Aku pun menutup sambungan telepon setelah Amnan menyetujui permintaanku. Lagi dan lagi, Amnan kesal karena ulahku. Tapi percayalah, aku menyayanginya lebih dari apa pun. Bahkan sebelum Bubu dan Ayah pergi, mereka telah menitipkan banyak pesan padaku, Prasasti terutama pada Mas Nandi. Selain sulung diantara kami, Mas Nandi jauh lebih berhak mengatur segalanya termasuk sandang, papan, dan pangan untuk kami bertiga. Menurutku Mas Nandi sosok yang luar biasa, karena paska kebakaran beberapa tahun silam, membuatku mengingat puing-puing kenangan manis ketika masih bersama dengan Bubu dan Ayah.

Saat itu... Aku masih SMP kira-kira masih kelas dua. Tidak jauh berbeda denganku, Prasasti juga sama, dia kakak tingkatku saat di sekolah. Sementara Amnan masih sangat kecil, SD, entah aku lupa dia kelas berapa. Yang pasti, kami benar-benar sangat bahagia. Di setiap langkah akan terlihat anggun, Bubu satu-satunya wanita dengan Ayah sebagai pengawal setia, alias raja kami. Ayah yang tampan dengan Bubu yang cantik selalu membuat orang lain iri, terlebih Bubu dan Ayah memiliki bibit unggul sepertiku, tampan maksimal.

Lagi-lagi aku terkekeh, jika aku mengatakan aku paling tampan, Amnan akan membunuhmu dengan cuma-cuma. Dia anak kecil yang tidak berperasaan. Menyeramkan, tapi pengecut dengan tikus rumah yang setiap malam muncul dari selokan. Menjijikan.

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang