Adrian
"Namanya Zahira. Janda karena suaminya meninggal, masih muda, belum punya anak. Dia itu keponakannya Datuk Arifin. Kamu tahu Datuk Arifin, saudara kakeknya Bang Ridwan yang rumahnya di Pariaman kan?" Uni Hana, kakak perempuan gue satu satunya ini, memulai pembicaraan yang... For the God sake, gue ga suka.
Kemarin, Khai habis demam. Apesnya, babysitter-nya hari ini ga bisa masuk. Kalau ada kejadian kayak gini, biasanya gue langsung nitipin Khai ke Ibu. Meski gue agak berat hati sih, karena selalu ngerepotin. Jadinya hari ini gue ga ambil overtime. Pulang sore tadi, langsung kerumah Abah. Dan sekarang gue terjebak dalam obrolan makan malam yang di buat sama Uni Hana. Ngeselin.
"Ga tau."
"Dulu waktu Uni nikah kan, kamu sempet ngobrol ngobrol sama orangnya. Masa udah lupa."
"Kalau kata Datuk, dia perempuan baik, ga pernah aneh aneh. Lulusan USU. Uni pernah ketemu, masyaallah... jilbabnya lebar. Uni suka. Kayaknya cocok jadi ibunya Khaizuran. Barangkali juga Zahira bisa bikin kamu lupa sama Annisa. Khaizuran butuh sosok Ibu." Omongan Uni Hana ini keterlaluan.
"Praaang!!" Suara benturan sendok sama garpu yang gue banting ke piring, ngagetin semua orang yang lagi ngabisin makan malamnya ini.
Ga ada satu orangpun yang bisa gantiin Annisa di hati gue. "Ian udah bilang kan. Ian belum siap nikah lagi. Ian masih pengen fokus sama Khaizuran. Satu lagi, Abah, Ibu sama Uni ga usah khawatirin Ian. Ian masih mampu jadi Ayah sekaligus Ibu buat Khaizuran. Dan inget baik baik, sampai kapan pun, Ian ga akan pernah bisa ngelupain Annisa." Ucap gue dengan tegas. Ghaida -adik gue- yang duduk disamping, ngusap lengan gue buat nenangin. Tapi gue ga peduli, gue berlalu meninggalkan mereka berempat.
"Sudah, Han. Jangan lagi ungkit ungkit hal itu. Ian kalau bilang enggak, ya dia ga bakalan mau." Suara Ibu terdengar ditelinga gue saat gue berjalan menuju ruang tengah.
Gue mendekati Khaizuran sama Rayyan -anaknya Uni Hana- yang lagi sibuk mainan lego di atas playmate. Ratusan lego berserakan dimana mana. "Khai, udah malam nak. Yuk kita pulang."
"Ga"
"Udah malam nak. Khai harus istirahat biar ga capek. Besok baru main lagi ya."
"Enggaaak." Si bayik ini masih sibuk jejerin mainan. Ga mau di ganggu sama sekali.
"Tidur sini aja, Bang. Kalau dipaksa ntar bisa rewel." Ghaida, adik gue si calon dokter ini datang menimpali gue sambil sibuk ngambil tumpukan buku buku tebal dari laci samping kursi sofa.
"Tadi udah Ghaida periksa. Demamnya turun. Udah 37 sekarang. Tapi daripada kena angin malem, mending abang stay disini dulu. Khawatir demamnya naik. Besok pagi bisa kita check lagi."
"Thanks Ge. Dia udah minum obat kan tadi?"
"Udah. Aman. Tinggal tidur aja dia." Jawabnya enteng sambil ngacungin jempol, lantas pergi menuju kamarnya.
*******
Gue ga tau lagi, apa maksud Tuhan nakdirin gue sampai dititik seperti ini. Kehilangan Annisa sama halnya dengan gue kehilangan seluruh dunia gue. Satu satunya perempuan yang setia menemani gue dari nol. Kerja dengan gaji UMR, tinggal di kontrakan kecil dan sering berpindah sana sini demi dapat harga kontrakan yang murah, kemana mana naik mobil kecil, sampai dia juga ikutan bantu gue dengan jual baju baju via online meski jarang laku. Ngirit pengeluaran demi bisa rutin ke obgyn buat program hamil. Hingga akhirnya Tuhan mengabulkan do'a kita saat Khaizuran lahir. Tapi hal itu lagi lagi harus dibayar mahal karena Tuhan mengambil Annisa dari sisi gue.
"Ini Ayah." Ucap gue sambil nunjuk foto gue sama Annisa. Sementara Khaizuran yang rebahan disamping gue, ikut nunjuk nunjuk dengan jari jari kecilnya.
"Yaa yah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Affogato
ChickLit"Indeed we have much taste. Indeed we are not together. If indeed we are destined to be together forever, love would not be where" - Jenahara "Because the coffee is bitter, do not you force it to be sweet, because as much as any sugar you add, it st...