Jenahara
Mungkin karena naluriku sebagai ibu sedang menunjukkan jati dirinya. Sejak ditelepon Ghaida sampai sekarang, ga sedetikpun aku ngelepasin pegangan tanganku ke Khaizuran. Dan kini, aku dan semua orang yang ada diruangan ini duduk tergugu sambil menatap sebujur tubuh kaku yang sudah di bungkus kain kafan. Abah menutup usianya dengan cara paling terhormat saat menikmati sujudnya di sholat shubuh. Tanpa ada keluhan penyakit apapun. Membuat semua orang iri, termasuk aku.
Aku mengusap bahu Ibu dari samping. Berusaha menenangkan kesedihannya karena takdir yang terjadi secara tiba-tiba. Tidak hanya Ibu, semua orangpun kaget. Saudara jauh masih berada di perjalanan dari Jawa Timur dan Sumatra. Bahkan komunikasi kita sama Bang Ridwan sempat terputus karena Bang Ridwan lagi perjalanan dari Muscat. Terpaksa, jasad Abah dikebumikan nanti sore menunggu semua saudara berkumpul disini.
"Kakek... " Aku mendengar suara Khaizuran yang sedang kupangku memanggil kakeknya. Semoga dia paham tentang arti merelakan orang tersayangnya karena dipanggil menghadap Tuhan.
Aku mendekat, membisikkan sesuatu ke telinganya. "Khaizuran sedih ya, nak. Gapapa ya, masih ada Minda, Ayah, Oma, sama Nenek. Khaizuran jangan merasa kesepian." Ucapku sambil mengecup puncak kepalanya.
"Minda?"
"Hm?"
"Khai main sama siapa? Ayah sibuk." Ga terasa, air mata menetes di pipiku. Sebenarnya, tidak hanya Khaizuran yang merasa kehilangan. Aku juga. Mengingat waktu pertama kali Adrian mengenalkan aku didepan semua keluarganya, Abah adalah sosok yang paling aku takuti. Sempat merasa bahwa aku belum bisa memenuhi ekspektasi beliau menjadi menantu yang baik. Tapi itu hanya berlangsung sebentar. Saat aku sudah menjadi istri Adrian, Abah adalah orang yang paling membelaku saat aku direndahkan oleh keluarganya. Beliau menerimaku dengan begitu lapang dada, hingga percaya sepenuhnya bahwa aku bisa menjadi teman hidup anak laki-laki satu satunya yang paling beliau banggakan, menjadi ibu yang menyayangi cucunya dengan penuh ketulusan.
Aku mengusap air mata dipipiku, lalu memeluk Khaizuran dengan penuh sayang. "Ada Minda, ada om Apin, ada uncle Ridwan juga. Allah selalu ada buat Khaizuran."
Cukup lama aku sibuk membaca buku yasin yang ku pegang. Merapalnya bersama puluhan orang yang ada disini.
Tiba - tiba Mama datang disampingku. "Mama."
"Adrian mana? Temani suamimu itu. Dia lagi terpuruk." Sejak kedatanganku dirumah ini tiga jam yang lalu, aku dan Adrian hanya sekali bertemu. Itupun hanya papasan dan Adrian menatapku sebentar, menciumi anaknya, lalu sibuk kembali dengan proses pengurusan jenazah. Seharusnya aku sadar, disaat seperti ini aku juga harus menguatkan Adrian.
Gendhis yang sadar dengan situasi, menyentuh bahuku pelan "Permisi bu, biar Khaizuran sama saya." Aku langsung mengiyakan tawaran bantuannya menyerahkan Khaizuran ke Gendhis. Habis ketemu sama Arga tadi, aku langsung buru buru kesini. Dan akhirnya Mama yang mampir kerumah membawa Gendhis ikut melayat kesini.
Setelah pamit ke Ibu mau mencari Adrian, aku berjalan ke lantai dua menuju kamarnya. Berharap menemukan sosoknya disana yang entah menghilang kemana sejak berpapasan dengan aku tadi.
Tapi saat aku sampai dikamarnya, ternyata kosong. Aku berjalan terus mengelilingi lantai dua yang sepi dan ga ada orang ini. Lalu memutar kembali, masuk menuju kamarnya lagi. Memandangi foto fotonya saat masih muda. Beberapa ada fotonya saat dia masih kecil dan foto foto Khaizuran saat masih bayi. Disampingnya ada foto kita bertiga saat liburan ke Disneyland Hongkong, waktu itu kita menuruti permintaan Khaizuran di hari ulang tahunnya yang ke tiga tahun. Aku mengalihkan pandanganku lagi menuju foto besar yang dia bingkai rapi didalam pigora. Foto pernikahan kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Affogato
Chick-Lit"Indeed we have much taste. Indeed we are not together. If indeed we are destined to be together forever, love would not be where" - Jenahara "Because the coffee is bitter, do not you force it to be sweet, because as much as any sugar you add, it st...