10. Numb

475 71 8
                                    

Jenahara

Air hujan berjatuhan. Bersamaan dengan tangisan Mama yang mengiringi kepergian Papa. Termasuk Davin. Dari kemarin dia berusaha nunjukin kepada orang orang kalau dia cukup tegar. Pas beberapa pelayat pergi, tangisan Davin malah terdengar kencang. Dia meluk batu nisan Papa seolah Papa berdiri disitu. Padahal aku tahu, seumur hidup Davin, Papa ga pernah meluk anak laki lakinya itu sama sekali. Meski tingkahnya agak aneh, I think perilaku Davin cukup normal seperti orang kebanyakan yang merasa sedih kalau orangtuanya meninggal.

Malah aku yang sekarang merasa aneh dengan diriku sendiri. Aku kosong. Ga ada isak tangis kayak Mama. Ga ada muka merah sembab karena berusaha nahan tangis kayak Davin. Sudah seminggu ini aku ga tau gimana perasaanku. Sedih enggak. Bahagia juga enggak. Berkali kali aku mendapatkan pelukan dan ucapan sabar dari orang orang. But yeah, it's normally sound. Nothing special, even nothing sad. Tadinya aku mengira air mataku sudah habis. Tapi bukan. Memang aku gak merasa sedih atau senang sama sekali. I'm numb. Apa ada yang salah dengan aku?

Aku mau meluk Mama, barangkali tangisan pilunya agak mereda. At least, kita bisa saling nguatin. Tapi pelukan dari tetangga yang juga temen Mama, malah bikin tangisan Mama menjadi jadi. Oke, aku tahu, aku butuh Davin. Barangkali pelukan Davin bisa bikin aku nangis kayak Mama.

Aku menepuk pundak Davin dari belakang dengan pelan. "Dav, ayo pulang." Ajakku saat melihat langit mulai menggelap.

Davin melepas tanganku. "Ntar dulu kak. Masih ada banyak orang disini." Jawabnya dengan nada dingin sambil berbisik ke arahku.

"Gue duluan. Gue pusing, butuh tidur." Aku melenggang pergi saat Davin diam ga menjawabku sambil membelakangiku.

"Je, gue turut berduka cita. Yang sabar ya." Si Bapak Sultan tiba tiba muncul didepanku. Dengan baju batik dan setelan celana kerja yang sering dipakai para investor buat belanja saham di perusahaan. I mean, orang ini pasti ga sempet pulang. Dari kantor langsung kesini.

"Eh. Oh. Iya. Mas. Tomi. Makasih udah kesini." Ucapku reflek karena merasa terharu dengan kebaikan mereka. Orang yang udah kuanggap 'kakak ketemu gede' ini emang bener-bener baik.

"Je." Nana langsung menghadangku, lantas meluk aku kenceng banget. Kayak enggak sadar kalau di perutnya ada bayi. "Papa Zein orang baik. Punya anak yang baik juga. Gue tahu, lo perempuan terkuat yang pernah gue temui. Gue sama Mas Tomi bakal selalu ada buat lo. Ikhlas ya." Saat dia melepas pelukan, aku bisa melihat muka Nana yang sembab karena tangisannya. Dia mengusap ngusap bahuku. "Sabar ya. Kuat ya."

"Hm. Thanks." Ini aneh ga sih? Temenku yang notabene enggak ada hubungan darah sama Papa aja bisa sedih. Sementara aku, anak kandungnya kok biasa aja. Mukaku bener bener kering meski aku sudah memaksa tangisanku keluar sejak Papa dipulangkan dari Rumah Sakit. Iya, permintaan Papa yang disampaikan ke Adrian tentang DNR harus kita hormatin.

Waktu denyut jantung Papa udah bener bener menurun drastis, tensinya yang juga semakin tinggi, juga saturasi oksigen yang terjun bebas, Davin langsung komunikasi sama Adrian. Meski Adrian masih di Sangatta, dia cukup membantu kita buat ngurus kepulangan Papa. Surat surat serta administrasi yang harus diselesaiin.

Sementara, aku linglung. Mikirin banyak masalah yang rasanya kayak ga ada ujungnya. Meninggalnya Papa bukan menyelesaikan masalah dengan serta merta. Ada Athalla yang harus aku pikirkan masa depannya. Masalah Tante Rika, Om Burhan dan semua saudara Papa. Hutang hutang Papa yang masih belum lunas. Bagaimana kondisi Mama? Demi Tuhan, jangan sampai Mama sakit atau kenapa kenapa.

"Je, Lo mau pulang? Kita anterin mau ya? Ayo gue pegangin. Mobil kita disana." Panggilan Nana membuat lamunanku buyar.

"Ga usah. Lo disini aja temenin Mama. Kalau mereka udah puas, baru ajak pulang. Gue duluan, tamu dirumah ga ada yang nemenin." Ucapku sambil berlalu meninggalkan mereka.

AffogatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang