13. Aku Bukan Bakteri

430 64 12
                                    

Jenahara

"Udaaa!!! Jangan!! Aku saja, jangan anak anakku!!!" Mataku terbuka tiba-tiba saat Mama berteriak. Aku langsung bangun, memaksa tubuh berjalan ditengah tengah kesadaran yang belum sepenuhnya pulih.

"Ma? Mama dimana?" Aku berjalan sambil berpegangan tembok karena masih setengah sadar dan kepala yang masih pusing karena terbangun tiba-tiba. Lantas memeriksa kamar Mama. Tapi kamar Mama kosong.

"Burhan, sudah kubilang. Kemarin sudah aku bayar!" Aku mengusap wajah dengan kasar. Ya Tuhan, urusan sama Om Burhan lagi.

"Bohong! aku ga menerima sepeserpun. Alah!! Bilang aja kau mangkir ga bayar hutang." Gertakan Burhan kayaknya ga main main. Kalau aku inget, emang jatuh temponya di bulan ini. Mama sama aku ga kepikiran karena meninggalnya Papa kemarin. Bahaya ngadepin Burhan cuma berdua di saat kondisiku masih setengah lemes gini.

"Dav! Davin?? Dek, lo dimana?" Aku mengetuk-ngetuk pintu kamar Davin. Dasar aku yang pelupa. Sepulang Adrian sama Khai dari sini tadi, Davin langsung berangkat kerja. Dia dapet shift siang. Pasti pulangnya malem.

Aku langsung menuju sumber suara di ruang tamu. Terlihat Om Burhan dengan wajah bengisnya. Lengkap dengan preman preman suruhan yang berbadan gede. Gimana Mama ga takut kalau begini. "Om, Jangan kasar sama Mama. Mama juga adeknya Om Burhan!"

"Uang dan keluarga itu berbeda. Mana janji kau yang bakal ngelunasi hutang di bulan ini? Mana uangnya?!!!"

"Om Burhan gila. Aku udah transfer ke rekening Uda Ezy. Kalau om ga percaya, aku ada bukti transfernya." Ucapku dengan begitu tenang. Kalau ga tenang, aku ga bakal bisa balik keadaan. Om Burhan bakal gampang mengintimidasi Mama.

"Enggak, mana ada seperti itu? Aku ga nerima uang dari Ezy. Sudah aku cek sendiri, dan memang ga ada."

"Om punya mata kan? Nih lihat!!" Aku menunjukkan layar handphone ku yang berisi bukti transfer ke rekening anaknya.

"Cuma segini?!! Kau sudah terlanjur miskin rupanya? Ini ga sesuai perjanjian. Kalian ingat baik baik kan??? Inget kan? Bulan ini harus lunas. Tapi nyatanya kalian bohongi aku. Bedebah kau!!!" Kepalaku didorong kuat kuat. Aku langsung limbung, dan jatuh. Beruntung, didekatku ada kursi sofa.

Mama langsung pasang badan didepanku. "Uda, aku sudah bilang. Aku ga bisa ngelunasin dalam waktu cepat. Kuburan Uda Zein masih merah. Kenapa uda Burhan tega teganya jadi rentenir di keluarga ini?"

"Uang dan keluarga ga bisa dicampur. Enak kali kau jual kisah sedihmu! Aku ga akan melunak." Gila orang ini. Adiknya belum ada sebulan meninggal, sudah berani beraninya bikin rusuh lagi.

"Kosongkan rumah ini atau Jenahara yang akan kubawa ke kantor polisi karena sudah main main sama perjanjian kita."

Aku berdiri. Giliranku jadi tameng depan Mama. "Ga akan!!! Langkahi dulu mayatku Om! Aku ga akan pernah mau ninggalin rumah ini!! Rumah ini punya Mama!! Bukan punya Papa!! Om pergi sekarang juga!!" Teriakku ga mau kalah.

"Berani sekali kau jalang kecil. Oke lah, berarti kau yang kubawa ke penjara!!" Om Burhan langsung kasih kode ke preman disampingnya. Salah satu preman bertato langsung nyeret aku keluar rumah. Alhasil, tetangga pada mengerubungi rumah. Tapi ga ada sama sekali yang berani mendekat. Karena aku juga yakin, preman preman ini pasti bawa senjata tajam.

"Aku bisa jalan sendiri, om!!" Aku berkelit mencoba melepas tanganku dari preman yang nyeret aku. Tapi susah. Langkahannya besar-besar.  Bikin nafasku tersengal mengikutinya.

Mama langsung teriak-teriak ga karuan. "Uda Burhan!! Aku saja!! Jangan anakku!! Mereka  masih punya masa depan. Aku saja!!!" Teriak Mama sambil menangis pilu. Air mataku menetes saat Mama tiba-tiba sujud di kakinya Om Burhan.

AffogatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang