31. Mumi Firaun

332 35 8
                                    

Holaaa... Aku comeback setelah ribuan purnama. Mohon maaf sering PHP-in kalian. Huhuhu. Setelah kesibukan kuliah, ternyata kemarin aku sibuk mengejar suatu hal untuk perencanaan karir. Haiiish. Dasar aku suka beralasan aja ini mah. Honestly, it's due to my less creativity, alias stuck ide. Wkwk. Ditambah komen yang sedikit. Jadinya yaaa... Begitu deh. Hehehe. Yuklah, komen atau kasih jejak gitu. Kadang aku tuh punya ide gara gara celetukan komen kalian loh. Kayak Affiliare kemarin.

Udah segitu aja. Selamat kangen kangenan sama Minda dan Ayah Ian 😊

******
Adrian

"Mantu Mama yang gantengnya nomer dua setelah Adrian, benar lho ya. Untuk seminggu ini Adrian jangan diberi pekerjaan lagi. Terserah kalau gajinya harus berkurang beberapa persen. Jenahara butuh perawatan yang cukup lama. Kasihan kalau pikiran Adrian bercabang-cabang."

"..."

"Iya, Na. Mama sudah bilang. Kalian berdua ga perlu khawatir. Selesaikan dulu urusan kalian. Kalian sehat-sehat ya disana."

Gue membiarkan Mama Thia dan Ibu sibuk dengan sambungan video call bersama Mas Tommy dan Dokter Kania hanya untuk merayu mereka supaya memberi gue jatah cuti lebih lama dari biasanya. Duh, jangan ditanya malu atau enggak. Malu banget. Prosedur pengajuan cuti ga seperti itu. Seharusnya kabar ini ga perlu sampai terdengar mereka yang masih ada urusan di LN. Mereka di LN juga untuk kerja, bukan untuk traveling. Gue rasa, izin cuti sudah cukup gue sampaikan ke HRD saja.

Mentang-mentang Mama Thia kenal dekat dengan mereka berdua, seenaknya minta izin berlagak curhat begitu. Anehnya, Ibu yang seharusnya lebih paham prosedur, iya-iya aja diajak begitu sama besannya. Padahal mah, gue sama Jenahara ini cuma pegawai kelas umbi-umbian.

Gue menjauh dari mereka berdua yang sedari tadi menjarah iPad gue dan berlama-lama ngobrol dengan beberapa orang untuk kasih kabar. Kata Ibu, kita harus jemput bola untuk kasih kabar dan komunikasi yang baik ke keluarga dan kerabat buat minta doa. Ga perlu sampai jenguk Jenahara rame-rame. Khawatir pemulihannya lama hanya gara-gara sibuk nerima tamu. Untuk hal ini gue sepakat.

Gue beralih mendekat ke hospital bed yang ditempati Jenahara. Memeriksa suhu AC dan humidifier sudah sesuai dan pas. Karena perhitungan dokter mengatakan bahwa antara satu hingga dua jam lagi Jenahara sudah bisa sadar.

"Ra? Udah bangun. Alhamdulillah. Ngerasa pusing atau nyeri ga? Abang minta dokternya kesini ya." Gue langsung duduk di kursi mendekat ke arahnya saat melihat matanya sudah membuka lebar. Thank God, kondisinya lebih bagus dari perkiraan. Hopefully, efek pasca operasi ga bikin dia merasa kesakitan.

"Kamu... Minggir." Dia menggerakkan tangan kanannya yang bebas gips dengan gerakan seperti mengusir gue.

"Mama Thia mana?"

"Ada. Beliau disebelah."

"Mamaaaa!" Mata gue membulat karena kaget saat mendengar teriakannya memanggil Mama.

"Ra, ssstt! Mama lagi istirahat. Kamu butuh apa? Sama abang aja ya." Bujuk gue untuk menenangkan. Energinya akan habis kalau teriak-teriak. Terlebih lagi suaranya masih parau, belum fit seratus persen.

"Mamaaaa! Mama dimana?!"

"Ssstt! Ra, ini rumah sakit. Tenang dulu ya. Abang panggilin dokter kalau kamu..."

"Mamaaaaa!!!!" Serobotnya masih keras kepala memanggil Mama. Alhasil Mama, Ibu, dan Om Setyo yang ikut kesini, langsung mendekat ke arah kita.

"Keluar semuanya!" Semua orang langsung bingung dengan perintahnya.

"Hah? Mama harus keluar juga?" Tanya Mama Thia dengan ekspresi polosnya.

"Enggak. Mama disini aja."

"Ada suami kau! Malu lah bertingkah macam Khaizuran!!" Balas Mama Thia dengan tegas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AffogatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang