15. I Got Their Blessing

485 63 14
                                    

Jenahara

082387xxxxxx

Halo, Rara sayang.
Gimana sekarang?
Papamu ga ada,
Tante Rika minggat.
Sudah bahagia?
Aku sudah bebas
dari penjara.
Siap siap ya, kamu
akan lebih bahagia lagi
setelah bertemu denganku.

RJ

Tanganku bergetar saat membaca pesan dari nomer yang ga ku kenal. Iya, hanya nomernya yang ga kukenal. Tapi aku tau siapa pengirim pesan ini. Sudah berkali kali nomerku ditelepon nomer ga dikenal. Saking seringnya, aku sampai memblokir semua panggilan dari nomer yang ga ku simpan. Dan pesan seperti ini, sudah berkali-kali aku terima. Aku takut kalau dia kembali. Aku, Mama dan Davin sudah memulai kehidupan kembali dengan tenang. Jangan sampai ada yang mengusik kembali.

Handphone ku kembali berdering. Tertera nama Adrian dilayar. Dengan reflek, aku menerima panggilannya. "Halo, Ra. Assalamu'alaikum." Bodoh banget aku ini, enggak sadar kalau sudah sebulan ini aku menghindari Adrian.

"Wa... Waalaikumsalam. Ada apa?"

"Ra, aku boleh minta tolong ga? Aku mau nitip Khaizuran ke kamu, bisa?"

"Aku masih ada antrian pasien."

"Masih lama ya? Ga bisa dialihin ke dokter yang lain? Khaizuran rewel banget hari ini."

"Aku ga bisa Yan. Masih ada banyak pasien. Habis ini aku ada rapat, persiapan major surgery besok pagi. Kasusnya rumit."

"Jam segini lho Ra. Ga biasanya kamu jam segini ada urusan sama pasien."

"Ian, panggilan dokter itu 24 jam. Aku harus siap kapanpun. Kalau Gendhis sama Ibu ga bisa, titipin aja ke Homeybee. Caregivers disana standby sampai malem kok."

Hampir sepuluh menit aku teleponan sama Adrian kayak anak kecil yang lagi berantem. Adrian tuh ga peka banget kalau aku lagi ngehindarin dia. Hidupku udah tenang selama sebulan ini tanpa urusan tentang Adrian. Ini tiba-tiba dia minta aku jagain Khai. Bukan aku ga mau. Alasan pertama, aku lagi bener-bener repot sama urusan kerjaan. Aku ga mau lagi menurunkan performance kerjaku. Alasan kedua, berurusan sama Khaizuran, berarti aku berurusan juga dengan Adrian. Aku harus memaksakan diri buat belajar melupakan mereka berdua.

"Ra, please. Dari tadi dia rewel banget. Aku udah ngelakuin ini itu tapi ga berhasil. Aku bingung. Ga tau lagi harus ngapain." Sejujurnya ada rasa miris didadaku mendengar kalimatnya Adrian. Karena Adrian sudah memaksa aku jadi tokoh antagonis disini.

"Kan kamu yang bapaknya. Aku orang lain yang bukan keluarga kamu. Kenapa jadi kamu yang bingung?"

"Ra, kenapa kamu yang marah. Aku tuh..." Suara Adrian terputus saat aku mendengar panggilan blue code dari IGD yang ditujukan kepadaku.

"Yan, sorry. Ada pasien emergency. Aku harus ke IGD." Aku ga peduliin Adrian yang memanggilku berkali-kali. Aku langsung berdiri dari kursi kerja. Meninggalkan jurnal yang belum selesai kubaca. Setelah mengambil stetoskop dan memakai pelindung diri dengan terburu-buru, secepat mungkin aku berjalan ke IGD.

"Dokter, tolong dok! Tolongin anak saya dok! Ada pendarahan!" Begitu masuk IGD, aku langsung disambut Ibu ibu yang memasang ekspresi khawatirnya. Dokter jaga IGD langsung menjelaskan kondisi pasien ke arahku. Aku terhenyak ketika melihat pasien didepanku ini masih kecil. Kalau ku taksir masih berumur antara tujuh sampai sembilan tahunan. Apa penyebabnya sampai anak sekecil ini harus ditangani obgyn?

Aku mendekat ke arah anak perempuan yang berada di bed. Aku bisa mendengar suara tangisannya menahan sakit. Ada darah yang tercetak di bajunya. "Pendarahannya dimana bu?" Tanyaku kepada ibunya untuk memastikan, meski aku bisa menebak dari arah mana pendarahan itu terjadi.

AffogatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang