Prolog

2.9K 186 6
                                    

Langit gelap jika dilihat dari bumi. Berbeda kalau dilihat dari atas sana, tempat Tuhan dan malaikatnya berada. Jajaran malaikat pencabut nyawa apalagi, mereka telah bersiap mencatat tiap-tiap nyawa yang akan mereka cabut hari ini karena sebuah bencana akan datang.

"Bisa tidak kita turun saja? Ya ya. Aku malas di sini." Laki-laki bermata bulan sabit menarik baju senior yang membimbingnya.

"Je, diam. Sebentar lagi turun. Sudah tidak sabar untuk mengambil nyawa orang ha?" Yerevan memutar bola matanya dengan malas. Dia sedang membaca bagaimana kematian yang akan datang di antara manusia yang dia ambil nyawanya nanti.

"Bukan itu sih. Lebih menyenangkan melihat dari bawah kehidupan manusia, itu saja."

"Lalu kenapa kamu menjadi malaikat?" Yerevan membulatkan matanya ke arah Jehan.

Jehan mencebik kesal. Bukan pilihannya. Lagipula Tuhan yang membuatnya menjadi malaikat, bukan dia yang meminta. "Kan salah Tuhan. Lagipula aku hanya ingin melihat manusia tamak bersenang-senang Senior."

"Ya sudah, ya sudah. Ayo turun. Tapi sudah baca data nyawa yang akan kamu cabut hari ini?"

"Sudah." Padahal kenyatannya Jehan belum membacanya sama sekali. Tapi karena dunia manusia itu menyenangkan untuk dilihat, Jehan tidak peduli itu.

"Ya sudah kalau begitu ayo turun."

Jehan dan Yerevan turun bersamaan. Tapi ketika sudah sampai di dimensi berbeda, Jehan sudah menghilang begitu saja. Yerevan hanya bisa berteriak dalam diam. Semoga saja Jehan tidak melakukan hal yang macam-macam.

***

Diskotik, tempat para manusia menghamburkan uang hanya untuk membeli kesenangan satu malam. Jehan selalu berkeinginan bermain di sini. Melihat manusia berjoget tanpa peduli bahwa salah satu alkohol tersebut menjadi pengantar nyawa mereka ke dunia baru. Jehan juga selau menyukai pikiran-pikiran picik manusia yang membuatnya tertawa bagaikan sebuah cerita karangan.

"Manusia itu beragam sifatnya. Bahkan hal buruk terlihat menyenangkan bagi mereka." Jehan memutar gelas alkohol yang ada di meja bar. Bukan miliknya karena pemiliknya sedang berjoget di lantai dansa.

Jehan mengamati tiap-tiap manusia dan nyawa mereka yang terlihat di pandangannya. Dia menunjuk lima orang yang akan meninggal beberapa jam ke depan. Bukan bagiannya untuk menjadi pengantar mereka. Mengingat itu, Jehan menatap jam tangannya. "Satu menit lagi membawa penumpang menuju alam kehidupan baru. Tapi aku sedang malas." Jehan mencebikkan bibirnya. "Manusia apa tidak bisa berjalan sendiri? Harus dituntun begitu?"

Jehan berteleportasi ke alam manusia yang lain. Suasana kebakaran di sebuah perusahaan pembuatan kembang api masih terdengar ramai. Jehan dengan tenang berjalan ke dalam bersamaan dengan panasnya api. Dia tidak merasakan itu karena dia bukan benda atau makhluk hidup. Ya dia santai saja berjalan sambil mencari pemilik nama yang akan dia ambil.

Salah satu perempuan tertimpa kayu sedang merintih kesakitan bersamaan dengan sesak napasnya yang sudah terdengar setitik. Jehan berjongkok dan mengecek jam tangannya. Satu detik lagi. Lalu setelahnya Jehan membawa nyawa itu ke atas. Melintasi langit ketujuh dan membawanya ke kehidupan lain seperti penumpang lain pada umumnya. Jehan lalu kembali turun dan mengambil satu nyawa lagi. Tugasnya hari ini telah selesai.

"Waktunya bersenang-senang yay." Jehan mengepalkan tangannya dan bersorak dengan riang. Dia lalu mengambil jeli kesukannya dan memakannha dengan lahap bersama dengan ikan koi miliknya.

"Jehan!" Teriakan Yerevan menggema di dalam ruangan Jehan. Jehan tidak peduli dengan itu karena sudah biasa. Senior yang tidak memiliki ada itu memang selalu seperti itu jika datang.

Yerevan menarik lengan Jehan dan menatap jam tangannya. Yerevan mengotak-atik tiap fitur yang ada sampai menemukan data nyawa yang harus dibaca Jehan sebelumnya.

"Je, jangan bilang kamu salah mengambil nyawa manusia?"

"Tidak kok." Jehan berusaha menarik tangannya karena dia tidak bisa memakan jeli dengans satu tangan.

"Lihat. Perempuan berumur tiga puluh tahun tadi meninggalnya masih besok Je. Bukan hari ini."

"Oh ..." Jehan mengangguk seperti tanpa ada masalah yang berarti. "Auuu ..." Jehan mendapat pulukan di atas kepalanya. "Beda satu hari aja. Udah ke atas orangnya. Mau aku bawa pulang?"

"Je, satu hari itu sangat amat berharga untuk manusia. Kita tidak pernah tahu mereka ingin melakukan apa untuk waktu satu harinya."

"Paling ke diskotik kayak yang lain. Auh..." Jehan meringis kembali ketika mendapatkan jitakan dikepalannya.

"Manusia yang kamu lihat berbeda dengan yang lain. Salah pergaulan aja kamu. Sekarang manajer ingin bertemu padamu."

Ruangan hitam yang kemudian berganti menjadi putih dan muncullah perempuan yang ada di situ membuat Jehan mengernyit. Baru kali ini dia melihat manajer. Sejauh ketidajberesannya dalam mengambil nyawa, mungkin telat satu atau dua menit atau bahkan telat satu hari pernah. Tapi baru kali ini Jehan bertemu dengan manajer.

"Masih bisa tanpa dosa seperti itu Jehan? Ini nyawa orang bukan ladang mainan buat kamu. Terlalu banyak kesalahan. Kamu harus mendapatkan hukuman."

"Tapi baru kali ini saya dipanggil. Kenapa saya harus mendapatkan hukuman?"

"Karena sebenarnya dari kemarin, tapi Senior kamu ini tidak memperbolehkan. Tapi lihat sekarang, belum waktunya dia meninggal, kamu sudah ambil dia. Kamu tahu akibatnya?"

"Tidak. Lagipula dia sudah di atas."

"Perjalanannya berhenti. Dia harus menunggu kereta selanjutnya dan urusannya terlalu susah untuk ini karena dia belum waktunya kembali." Jehan tersenyum segaris. Dia tidak tahu efeknya.

"Saya akan menurunkan kamu di dunia manusia dan selama seratus hari. Silakan mengamati manusia bernama Mahendra Yuanda sebelum kematiannya."

"Kenapa tugas saya seperti ini? Saya tidak mau berurusan dengan manusia."

"Ini cara terbaik agar kamu bisa menghargai tiap-tiap nyawa di dunia ini. Selamat tinggal Jehan." Manajer itu memencet tombol di mejanya dan membuat portal menuju manusia langsung. Jehan terbawa oleh portal itu.

"Mahendra Yuanda." Ingatan Jehan di setiap putaran menuju dunia manusia.


Ini cerita pengen singkat aja gitu menemani gabut. Tapi prolog aja sampai 800 kata 😒

How to be Alive? || MarknoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang