🐾 95 Days to go 🐾
Pagi ini Mahen mengetuk pintu kamar Jehan seperti biasa. Tapi tidak ada jawaban. Ketika Mahen berusaha menarik gagang pintunya ternyata terkunci dari dalam. Tapi tidak semudah itu Jehan akan terbebas dari hukuman hari ini. Mahen mengambil kunci duplikat dan membukanya. Dia membangunkan Jehan dengan memanggil namanya. Tidak ada jawaban. Lalu Mahen menepuk kasur Jehan. Tidak ada jawaban juga. Mahen lalu menepuk pipi Jehan. Kali ini Jehan bersuara.
"Mahen diem. Ada ayam bakar." Lidah Jehan membasahi bibirnya. Mahen memutar bola matanya. Jehan apa tidak bisa berhenti memikirkan makanan?
"Bangun Je. Kamu lupa hari ini mau ngapain?"
"Enggak mau. Aku mau di rumah." Jehan membalik menyampingkan tubuhnya, membelakangi Mahen.
Mahen menarik lengan Jehan. "Ayo Bangun Je!" Ternyata Jehan cukup kuat. Buktinya tubuh itu tidak bergerak sama sekali ketika Mahen menarik lengannya.
"Ih, nggak mau. Mau di rumah. Nonton bear bears, mau nonton drama sama film."
"Gak. Nggak bisa. Kamu harus kerja. Enak aja kamu diem di rumah doang."
"Mahen kan kaya. Ya aku di rumah aja."
"Kamu numpang di sini Jehan. Kerja! Sesuai kesepakatan kemarin."
Kemarin mereka bertaruh dalam bermain, siapa yang menang, maka dia berhak memutuskan hukuman apa yang ingin diberikan. Kesempatan itu dimanfaatkan Mahen sebaik mungkin untuk membuat Jehan mau menginjakkan kakinya di kantor lagi. Untuk itu Mahen akan memperkejakan Jehan agar Jehan juga tahu bagaimana cara mencari uang, bukan hanya bisa menghabiskan uang saja.
"Aku benalu. Jadi maklumlah Mahen." Jehan menguap, matanya kembali berniat untuk masuk ke alam mimpi.
Tidak ada pilihan lain, percuma Mahen membujuk laki-laki itu karena Jehan juga tidak tahu malu. Untuk itu Mahen mengambil remote pendingin ruangan dan menurunkan suhunya sampai enam belas derajat celsius. Seketika ruangan menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Mahen juga membuka korden yang seketika membuat ruangan itu menjadi lebih terang dengan cahaya sinar matahari yang masuk. Tidak sampai di situ. Mahen juga mengibaskan selimut Jehan dari bawah.
"MAHEN!" Jehan berteriak sambil mendudukkan dirinya di atas kasur. Matanya membulat sepenuhnya dengan bibir yang mengerucut sebal.
"Apa hah? Bangun atau aku siram air."
"Ini kekerasan dalam rumah tangga."
"Emang hubungan kita apa?" Jehan menggaruk tengkuk lehernya. "Mandi! SEKARANG!"
"NGGAK MAU." Jehan mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
Tidak ada pilihan lain. Kalau berdebat dengan Jehan juga percuma. Jehan itu harus dipaksa lewat fisik. Kalau dengan ucapan ya banyak gagalnya. Alhasil Mahen mendekat ke arah Jehan. Kemudian mengangkat tubuh Jehan seperti mengangkat karung beras.
"MAHEN. TURUNIN. KEPALA AKU PUSING!" Jehan berusaha memberontak sambil memukul punggung Mahen tapi Mahen tidak peduli dengan itu. Sebagai gantinya justru Mahen memukul pantat Jehan dengan keras. "AAAA! SAKIT MAHEN. LEPASIN NGGAK?"
"Iya ini aku lepasin." Mahen meletakkan Jehan ke dalam bathup yang berisi air.
"MAHEN DINGIN! NGGAK MAU." Belum sepenuhnya tubuh Jehan masuk ke dalam bathup tapi laki-laki itu sudah berteriak kembali. Tangannya juga mengalung dengan kuat di leher Mahen.
"Nggak dingin ini. Udah aku atur hangat." Mahen mengecek suhu airnya. Ternyata memang benar dingin."... tadi sih."
"Nggak mau mandiiiii, Mahen." Seperti biasanya, Jehan kembali merengek untuk memnbuat Mahen mengurungkan niatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to be Alive? || Markno
FanfictionKesalahan Jehan hanya satu, salah mencabut nyawa manusia lebih cepat satu hari sebelumnya. Tapi hukumannya tidak main-main. Dia harus menjaga sosok manusia ceroboh bernama Mahendra Yuanda selama seratus hari sebelum kematiannya. Jehan mulai belajar...