4. His Name

1K 165 9
                                    

"Jehan."

Nama itu sudah Mahen dengar satu jam lalu sebelum mereka sampai di restoran Italia yang berada di depan gedung kantornya. Tapi nama itu berulang kali terputar di dalam pikirannya. Padahal makanan Jehan bahkan sudah habis untuk kedua kalinya. Laki-laki itu memakan banyak makanan yang membuat Mahen tidak habis pikir. Satu piring ratatouille yang dia pesan saja belum habis, Jehan sudah menghabiskan dua ronde makan siang.

Jehan mengusap pipinya dengan tisu dan melemparnya ke dalam mangkok bekas makanannya. "Wuing ... Yash!" Jehan bersorak dengan gembira karena berhasil memasukkan tisu itu.

"Kamu nggak makan berapa hari Jehan?" Mahen masih tidak sanggup menerima kenyataan yang ada. Laki-laki di depannya ini memiliki tubuh yang kecil, tapi untuk ukuran porsi makannya, Jehan seperti kuli panggul yang habis mengangkat Berton-ton semen.

"Selama aku melihat dunia, aku nggak pernah makan." Jehan memegang perutnya yang terasa penuh. Bahkan Jehan bersendawa sebagai efek terakhir dari semua makanan yang dia makan. "Ah lega."

"Hah?" Mahen tidak habis pikir dengan jawaban Jehan. Jadi Jehan ini siapa sebenarnya?

"Aku ingin makan pudding kayak gitu. Berwarna-warni, sepertinya enak." Jehan menunjuk salah satu meja yang sedang menyajikan dessert pudding. Jehan mengusap bibirnya dengan lidahnya.

"Tidak. Kamu sudah makan banyak. Sekarang kita pulang saja."

Mahen berdiri dan meninggalkan Jehan lebih dulu. Waktu istirahatnya telah berakhir. Dia harus meninjau ulang beberapa kontrak kerjasama yang ditawarkan beberapa perusahaan yang menawarkan kerjasama.

"Mahen!" Jehan loncat dan memeluk Mahen di punggungnya. "Perut aku penuh banget. Gendong ya. Ya ya."

Mahen hanya diam saja karena tanpa mengiyakannya, Jehan sudah memegang bahunya dan loncat ke punggungnya. Lalu melingkarkan tangannya ke leher Mahen dengan erat. Kepalanya juga sudah disandarkan ke bahu kanan Mahen.

Lihat kelakuan laki-laki itu. Tidak ada yang bisa mengalahkannya. Mahen hanya bisa pasrah dan memegang kaki Jehan agar tidak terjatuh.

Meskipun Jehan telah makan banyak, tapi tidak langsung membuat tubuh laki-laki itu terasa berat. Jehan memang memiliki tubuh yang kecil, hanya saja tubuhnya tetap terlihat atletis dengan otot di beberapa bagiannya.

Mahen meletakkan tubuh Jehan di kursi penumpang. Mahen menurunkan jok mobilnya agar Jehan bisa lebih nyaman beristirahat karena mata Jehan sudah tertutup sejak beberapa menit yang lalu.

Jika dilihat dari sekarang, Mahen bisa bersumpah saat ini juga. Jehan itu memiliki wajah yang cantik dengan bulu mata lentik dan bibir yang berwarna merah muda. Jarak ini membuat Mahen terpana. Tapi beruntungnya dia bisa mengontrol dirinya. Mahen memakaikan seatbelt dan menutup pintu mobilnya. Lalu bergerak ke kursi pengemudi dan melajukan mobilnya kembali ke kantornya.

Kelakuan Jehan tidak habis saat itu saja. Dia kembali meminta gendong kepada Mahen karena masih mengantuk. Padahal Mahen bisa saja meninggalkan ya saat ini dibasemant parkir, tapi tidak mungkin karena udara di sini tidak baik untuk Jehan. Alhasil Mahen kembali menjadi Babu Jehan dan menggendongnya ke lantai atas gedung.

Semua mata menjadi terpaku pada sosok Mahen yang menggendong Jehan di belakangnya. Mereka berbisik dan saling menyusun teori atas hubungan apa yang terjadi di antara mereka. Mahen biasa saja karena mau dibikin aturan seketat apapun, manusia ya tetap manusia. Mereka teramat suka mencari tahu kehidupan seseorang. Tapi beruntungnya kejadian apapun di dalam kantor tidak boleh tersebar di luar kantor. Jika ada yang melakukannya, maka jelas orang itu akan dikeluarkan.

***

Mahen meletakkan Jehan di atas tempat tidur yang ada di ruangannya. Ruangan itu memang ada untuk membuat dirinya beristirahat. Apalagi jika banyak berkas yang harus dia selesaikan, Mahen akan memilih untuk tidur di kantor. Mahen justru lebih suka tidur di kantor karena memang hampir 24/7 hidupnya hanya didedikasikan untuk bekerja.

"Manis dan cantik." Mahen mengusap rahang tegas Jehan. Beralih ke hidung mancung Jehan yang sejak pertama kali membuatnya ingin memegang hidung mancung itu. Tulang tegas yang menyangga saluran napas itu teramat tinggi. Tapi cocok dengan wajah Jehan.

Mahen berhenti mengamati wajah Jehan dan menarik tangannya. "Apa yang kamu lakukan Mahen." Mahen lalu berdiri dari duduknya dan berjalan ke tempat duduknya. "Tenang, bisa jadi dia orang jahat meskipun wajahnya lembut. Kamu tidak boleh memercayainya dengan mudah."

Mahen menghempaskan tubuhnya ke tempat duduknya. Mungkin kalau dia bertemu Jehan sepuluh tahun yang lalu, dia akan memperlakukan Jehan dengan baik. Tahun itu tahun terakhir Mahen bisa memperlakukan manusia.

"Kamu datang di saat yang tidak tepat Je. Di saat aku udah nggak bisa memperlakukan manusia seperti manusia pada umumnya." Mahen menutup matanya dan memutar kursi kerjanya. Pikirannya terlempar pada kisah sepuluh tahun lalu.

***

Sudah teramat banyak kehidupan yang Mahen lihat di umur dua puluh tahun ini. Dia menikmati waktu bermain seperti pada umurnya. Kuliah, belajar, ikut organisasi, melakukan kegiatan demo, naik ke puncak gunung, dan banyak kegiatan lainnya ketika dia berkuliah.

Tapi semua kebahagiaan itu lenyap begitu saja ketika prahara rumah tangga kedua orang tuanya terjadi. Hubungan mereka menjadi renggang. Mahen bahkan tidak mendapatkan kasih sayang. Tapi yang membuatnya tidak habis pikir, ternyata selama ini mereka hanya berpura-pura untuk menjadi keluarga harmonis.

Suatu ketika Mahen mendengar teriakan mamanya yang mengatakan bahwa mamanya telah lama menunggu. Mahen tidak mengetahui apapun tentang itu. Tapi kalimat setelahnya berhasil membuat dunia Mahen runtuh.

"Pergilah dengan laki-laki pilihanmu. Kita selesai di sini. Aku akan memilih laki-laki pilihanku sendiri."

Fakta itu membuat mamanya pergi meninggalkan rumah. Dan lebih mengejutkannya lagi, ternyata mamanya selama ini berselingkuh dengan laki-laki lain dan bahkan sudah memiliki seorang anak ketika mamanya mengurus perusahaan di luar negeri selama dua tahun penuh.

Kenyataan itu membuat dunianya hancur karena dia ditinggalkan oleh papa dan mamanya. Perusahaan papanya mengalami kebangkrutan karena fakta yang baru terungkap itu dan papanya memilih pindah ke luar negeri. Beruntungnya dia masih diberi uang oleh mamanya. Meskipun perempuan itu tidak pernah mengatakan apapun lagi, tapi setiap bulan ketika Mahen mengecek rekeningnya akan terisi penuh. Bahkan cukup untuk hidup selama tiga bulan jika dia tidak menggunakan uang itu seperti biasanya.

Kisah itu tidak akan pernah Mahen lupakan. Saat itu juga dia tidak pernah percaya dengan manusia, tidak lagi peduli akan keberadaan mereka. Hidup ini hanya ilusi semata. Semuanya bagaikan karangan pencipta yang penuh kemisteriusan di dalamnya.

Mahen teramat membenci kenyataan keluarganya yang itu. Bahkan untuk berdiri di tengah-tengah banyaknya perusahaan tidak pernah mudah. Ketika dia lulus, mamanya tidak pernah mengirimkan uang lagi. Tidak pernah menghubunginya juga. Apalagi papanya, laki-laki itu bahkan tidak bertanggung jawab sama sekali.

"Jehan terlalu baik untuk berada didekat monster yang sedang duduk di kursi ini. Seharusnya dia tidak mendatangiku. Entah apa yang akan aku lakukan nanti. Pergilah Je, cukup hari ini saja kamu di sini."







How to be Alive? || MarknoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang