Untuk pertama kalinya Mahen kembali mengkhawatirkan seseorang. Terakhir kali dia hanya mengkhawatirkan kehidupan kedua orang tuanya. Tapi sekarang, ada yang lain. Jehan. Ya hanya Jehan yang menguasai seluruh sarafnya hari ini.
Mahen rela menyetir mobil dengan kecepatan seratus dua puluh lima kilometer per jam hanya untuk sampai di rumah. Dia ingin melihat keadaan Jehan. Dan laki-laki itu baru membuka matanya ketika mendengar suara berisik yang ditimbulkan oleh Mahen.
Laki-laki yang baru pulang dari kantor itu menendang pintu karena tidak sabar. Begitu melihat Jehan masih bernyawa dan tidak kurang suatu apapun, Mahen baru bernapas dengan lega. Dia merebahkan dirinya di atas sofa.
"Mahen kayak orang kesurupan. Kenapa?" Jehan menguap dengan lebar. Perutnya terasa kosong. Dia baru ingat kalau belum makan tadi siang. Sekarang sudah pukul tujuh malam.
"Laper?" tanya Mahen ketika melihat Jehan memegang perutnya. Jehan tersenyum segaris dengan matanya yang menghilang sempurna sambil mengangguk. Terlihat manis sekali. Tanpa sadar, hal itu membuat kupu-kupu di dalam dada Mahen berterbangan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Mahen berdiri dari duduknya untuk menepuk kepala Jehan. "Ayo aku ajak pergi nyari makan."
"Asik."
"Tapi mandi dulu." Mahen berniat meninggalkan Jehan untuk berganti pakaian. Tapi Jehan menarik lengan Mahen.
Jehan menggelengkan kepalanya, kemudian memperlihatkan puppy eyesnya sambil mengedipkan matanya beberapa kali. Pipinya juga menggembung untuk membuat Mahen luluh. Tadi Jehan menonton drama korea. Untuk meluluhkan seseorang, maka harus bersikap lucu. Makanya Jehan mempraktikannya kali ini agar tidak disuruh mandi oleh Mahen.
"Dingin Mahen. Ini malam hari."
"Mandi atau nggak makan?"
"Aku masih wangi Mahen." Jehan berdiri di atas sofa. "Nggak usah mandi ya. Ayolah. Dingin Mahen, ga suka, ga mau. Ga mau ga mau ga mau." Jehan memeluk leher Mahen dan menggantungkan tubuhnya di belakang tubuh Mahen.
Kali ini Jehan tidak bisa diganggu gugat. Maka, sekali lagi Mahen lah yang harus mengalah. Dia menepuk pantat Jehan sekali karena merasa gemas dengan tingkah laki-laki yang kini berada di belakang punggungnya. Tangan Mahen lalu memegang kedua lutut Jehan agar Jehan mendapatkan tempat nyamannya.
Tanpa banyak bicara, Mahen membawa Jehan naik ke lantai atas untuk berganti pakaian.
🐾🐾🐾
Mahen ingin mengajak Jehan untuk makan di salah satu kafe mewah di Jakarta. Tapi niat itu pupus ketika Jehan melihat penjual di pinggir jalan sedang membuat martabak merah muda dengan toping warna warni. Laki-laki itu langsung merengek seperti biasanya karena Mahen tidak memperbolehkan. Makanan pinggir jalan terlalu banyak terkena pencemaran udara dari asap bahan bakar dan debu.
Tapi Jehan ya Jehan. Mahen harus berputar arah karena Jehan sama sekali tidak berniat mengubah makanannya untuk malam ini. Laki-laki dengan senyuman mautnya itu menempelkan tubuhnya di pintu mobil untuk mejauhkan jarak di antara mereka.
"Masih marah?"
"Tanya aja sama tukang martabak nanti. Marah nggak?"
"Saya nururtin kamu loh Je. Bahkan rela putar arah yang jelas-jelas udah jauh dari tempat abangnya."
Jehan menatap Mahen, bibirnya masih mengerucut karena Mahen sekarang menyalahkannya. "Kok jadi salah aku? Mahen sendiri loh yang salah. Kalau dari tadi mau putar arah juga bisa. Mahen aja yang nggak mau kan."
KAMU SEDANG MEMBACA
How to be Alive? || Markno
FanfictionKesalahan Jehan hanya satu, salah mencabut nyawa manusia lebih cepat satu hari sebelumnya. Tapi hukumannya tidak main-main. Dia harus menjaga sosok manusia ceroboh bernama Mahendra Yuanda selama seratus hari sebelum kematiannya. Jehan mulai belajar...