Jehan membuka matanya setelah kegelapan menerpa beberapa menit yang lalu. Dia sekarang berada di sebuah lapangan hijau. Jehan tahu ini tempat manusia bermain bola. Tapi Jehan tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat seperti ini. Yang dia tahu hanya diskotik yang penuh sesak dengan manusia penggila dunia.
"Kenapa di sini? Nggak enak dipandang. Hijau-hijau kayak makanan kambing." Jehan menatap sebal lapangan seluas 4.050 meter persegi di depannya. Tidak ada yang menarik pikirnya.
Jehan lalu tersadar bahwa ada detak jantung yang berdetak. Tidak seperti ketika dia menjadi malaikat dulu. Terasa aliran darah dari otak turun ke setiap sudut pembuluh darah dalam tubuhnya. Jehan terpaku diam sambil berkedip beberapa kali sampai tangannya tanpa sadar memegang dada tengah sedikit ke kiri, sejajar dengan jantungnya.
"Wah ... Ini berdetak. Alat penggerak hidup manusia. Aku jadi manusia?" Jehan berkedip-kedip sambil membayangkan hidup manusia yang bisa mencoba ini itu. Jehan lalu tersenyum, "Sepertinya menyenangkan hidup menjadi manusia."
"Bukannya kamu nggak suka sama manusia Je?"
"Hah! Menganggetkan saja kamu senior. Aku bukannya tidak suka dengan manusia tapi pikiran manusia teramat beragam. Kebanyakan juga jahat. Tapi menyenangkan sepertinya mencoba menjadi manusia."
"Ya terserahlah." Yerevan sudah terbiasa dengan tabiat laki-laki di sampingnya.
"Lalu senior kenapa ada di sini?"
"Untuk mengantarmu pada Mahendra."
"Ahh manusia itu. Ayo!" Jehan menatap seniornya dengan semangat. Mereka lalu menuju salah satu kompleks perumahan elite. Jehan menatap rumah-rumah itu yang terlihat megah dan mewah. Sayang saja banyak penghuninya.
Mobil yang dikendarai Yerevan dan Jehan sudah sampai di pelataran rumah salah satu jajaran rumah mewah di kompleks itu.
"Turun!" Jehan menatap Yerevan dengan pandangan bertanya. "Turun Je. Udah sampai. Itu rumahnya."
"Terus aku harus gimana?"
"Tungguin di sana. Tuh ada satpam minta masuk aja. Bilang mau jadi pelayan di sana."
"Pelayan? Apa itu? Sebuah hal buruk?"
"Tidak Je. Biar kamu bisa masuk ke situ aja."
"Nggak mau." Jehan menggelengkan kepalanya dengan kuat.
"Terus kamu gimana bisa ketemu dia? Nggak mau balik jadi malaikat ha?"
Jehan menurunkan bibirnya, yang semula bergaris lurus itu beralih melengkung ke bawah. Dia lalu membuka seatbelt dan membuka pintu mobil Yerevan dengan pelan. "Menyebalkan," gumam Jehan sambil menutup pintu mobil tersebut.
Dia lalu berjalan ke arah pagar dan melakukan sesuai permintaan seniornya ketika ditanya oleh satpam tersebut. Begitu dibolehkan masuk, Jehan menatap keberadaan Mobil Yerevan di tempat semula, tapi ternyata sudah tidak ada.
Jehan lalu berjalan melintasi taman yang ada di depan rumah Mahen sampai berada di depan pintu. Pintu itu tertutup.
Jehan mengetuknya sekali.
Dua kali
Tiga kali
Empat kali
Lima kali
Tetap tidak ada jawaban. Padahal tangan Jehan sudah memerah karena bersentuhan dengan kayu dengan cukup kencang ketika tulangnya bersinggungan.
Jehan lalu memilih berjongkok sambil bermain dengan lantai marmer yang memiliki corak itu. Jari telunjuknya bergerak mengikuti tiap garisnya. Sampai pada akhirnya pintu itu berderit ketika ditarik dan keluarlah manusia dengan pakaian penuh warna hitam dari rumah megah itu.
Jehan berdiri dan menepuk kedua tangannya. Senyumnya mengembang seketika. Matanya bahkan menghilang dibalik senyuman lebar itu.
"Nah sudah terbuka. Dari tadi kenapa sih." Jehan berniat untuk masuk ke dalam rumah Mahen, tapi langkahnya terhenti ketika Mahen menarik tudung kepala hoodienya. "Lepasin! Aku mau masuk."
Jehan membalik tubuhnya untuk menatap Mahen tapi Mahen membaliknya kembali. Hal itu berulang sampai membuat kepala Jehan pusing.
"Saya tidak pernah mengenalmu. Siapa kamu? Tidak sopan ingin langsung masuk ke rumah saya." Mahen bersedekap sambil mengamati laki-laki yang sedang berpusing ria akibat efek putaran yang dilakukan tadi.
"Saya pe—" Jehan berpikir ulang. Dia rasa yang namanya pelayan itu mengerikan. "Pelindung. Ya ya pelindungmu."
Mahen menaikkan sebelah bibir kanannya ke atas. Merasa aneh dengan jawaban Jehan. Kalaupun laki-laki di depannya berniat menjadi pengawalnya, jelas itu tidak mungkin karena Jehan tidak terlihat seperti manusia yang bisa menjadi pelindungnya. Apalagi tingkahnya barusan, Mahen sanksi kalau laki-laki itu adalah anak SMA yang nyasar di rumahnya.
"Pelindung apa? Dari mana?"
"Dari sana." Jehan menaikkan telunjuknya ke atas.
"Dari atap rumah? Yang benar saja. Silakan pergi." Mahen lalu berjalan meninggalkan Jehan ke mobil yang sudah disiapkan sopirnya di halaman.
"Aku serius Mahen. Aku ini pelindungmu yang dikirim dari atas." Jehan mengekori Mahen dan ikut masuk ke dalam mobil Mahen ketika Mahen membuka pintu mobilnya.
"Saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusmu. Pergilah! Atau kamu butuh uang? Berapa? Biar saya bayar."
"Aku nggak butuh uang. Aku butuh Mahen. Jadi kalau Mahen mau pergi ya ayo. Aku ikut." Jehan bersedekap di dada.
Mahen tersadar beberapa saat. Dia baru melihat laki-laki ini untuk pertama kalinya tapi laki-laki itu sudah mengetahui namanya. Mahen menatap Jehan dengan sengit.
"Dari mana kamu mengetahui nama saya? Siapa yang menyuruhmu?"
"Ck." Jehan bernapas dengan keras sambil mencebikkan bibirnya. Sepertinya orang yang bernama Mahen ini orang bolot yang tidak bisa memahami bahasa manusia. Jehan lalu menatap Mahen dengan alis yang menukik tajam ke bawah. "Aku sudah bilang ya Mahendra Yuanda. Kalau aku dari atas. Utusan atas untuk menjadi pelindungmu selama seratus hari. Oke. Seratus hari. Jadi bekerjasamalah denganku agar ini semua selesai dengan baik. Mengerti?"
Mahen lalu mengalihkan pandangannya. Mata seindah cahaya di laut samudra yang tersinar dari kedua bola Jehan itu tidak mampu membuat Mahen berkata-kata. Sepertinya Jehan memang orang baik. Akhirnya dia melajukan mobilnya karena Mahen tidak ingin berdebat kembali dengan Jehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to be Alive? || Markno
FanfictionKesalahan Jehan hanya satu, salah mencabut nyawa manusia lebih cepat satu hari sebelumnya. Tapi hukumannya tidak main-main. Dia harus menjaga sosok manusia ceroboh bernama Mahendra Yuanda selama seratus hari sebelum kematiannya. Jehan mulai belajar...