3) Pertemuan pertama

69 74 235
                                    

Sagara sampai di tangga pertama rumahnya, tangannya terkepal saat melihat Olivia menunduk di hadapan seorang wanita tua yang menyandang gelar sebagai Oma. Ketika netra tajam Sagara bertemu dengan wajah terkejut Olivia. Sagara sesegera mungkin melunakkan wajahnya, menarik nafas kasar karena seperti yang kita tau kalau Sagara meratukan Olivia lebih dari apapun.

"Sagara pulang," semua anak sama saja, ketika datang dari manapun orang yang pertama di temui dan di cari adalah Mama, tidak ada yang akan bisa menggantikan posisi tersebut.

Menarik tangan Olivia untuk ia salim, Sagara tersenyum kecil. Mendaratkan ciuman di pipi sang Mama penuh sayang. Kemudian memeluk Olivia seakan mengadukan bahwa hatinya sedang tidak baik-baik saja.

"Sagara. Oma disini sayang," Pricilia Alexander, Ibu dari sang Papa. Dari suaranya wanita lanjut usia itu menginginkan pelukan yang sama dari cucu kebanggaannya, meski sudah lanjut usia tapi wajahnya masih terlihat cantik meski keriput menghiasi wajah dan tubuhnya.

Sagara tidak perduli, melewati Oma'nya dengan wajah datar. Sagara hanya akan menghormati orang-orang yang layak di hormati.

"Mama. Sagara butuh Mama," Sagara tidak perduli jika dia dianggab tidak sopan atau dianggab tidak menghormati orang yang lebih tua.

Menggeleng tidak setuju Olivia menarik tangan putranya lembut, Olivia tidak bisa membiarkan putranya bersikap kurang sopan. Pricilia tetap Oma Sagara dan ibu mertuanya yang tidak lain adalah Mama kandung suaminya.

"Dia Oma kamu Kak, peluk dan hormati dia bagaimana Kakak memperlakukan Mama," Sagara tidak setuju dengan apa yang Olivia katakan bagaimana dia bisa meratukan orang lain jika hatinya tidak menginginkan itu. Dan Sagara juga tidak ingin melakukan hal-hal kecil yang manis terkecuali untuk Olivia.

"Mama satu-satunya wanita yang akan Sagara perlakukan bagai ratu dan Mama satu-satunya orang yang akan Sagara sayangi lebih dari apapun!" Olivia tersanjung air matanya tiba-tiba menitik, Sagara yang melihat itu tersenyum gamang. Dalam hati memaki diri sendiri karena membuat sang Mama menangis.

Menggeleng tegas, Sagara menghapus cairan bening yang berharga itu dari pipi Olivia. "Mama tau? Sagara kurang menyukai air mata yang turun dari netra indah Mama," terkesan berlebihan tapi ini Sagara. "Sagara hanya menyukai saat bibir Mama tersenyum atau tertawa, Mama terlihat lebih cantik," cetusnya membawa Olivia ke pelukan besar Sagara. Tapi netranya menatap tajam sang Oma yang meneguk ludah kasar saat bertubrukan langsung dengan tatapan tajam cucunya yang bengis.

Kini Olivia mendongkak menatap putranya dengan tatapan haru. "Mama cuman gak mau kamu terbentuk jadi pribadi yang keras, Mama mau kamu tumbuh jadi pribadi yang kuat tapi punya rasa kemanusiaan yang tinggi."

"Apapun yang Mama inginkan, Sagara akan berusaha mewujudkannya," jawaban yang Olivia inginkan.

Hanya di hadapan Mama!

.

***

.
"Mas, saya mau dua botol air mineralnya," Bianca mendesah kasar, hari ini benar-benar panas di tambah dirinya lupa membawa air minum saat akan ke taman. Menyebalkan!.

"Trimakasih," selesai dengan dua botol minumannya, gadis yang kita kenal dengan sebutan Bianca itu, mendudukan dirinya di bangku taman yang letaknya sangat strategis.

Matahari bersinar sangat panas, Bianca menyukai bagaimana matahari menghangatkan permukaan bumi. "Tuhan begitu baik," gumamnya menikmati setiap detik yang ia habiskan sekedar untuk menatap kemudian menyapa dan sesekali tertawa karena tingkah konyol beberapa anak yang bermain.

Akh

Bianca mendengar suara itu, netranya membulat saat seorang gadis kecil dengan posisi tiarap dengan cemilan yang berantakan sudah menjelaskan kalau gadis kecil itu terjatuh dan kewajiban Bianca adalah menolong.

Dengan sigap Bianca hendak menolong gadis kecil itu namun niat baiknya tertahan kala seorang remaja pria dengan wajah datar lebih sigab membantu gadis kecil itu. Sikap kakunya benar-benar menarik perhatian Bianca.

"Kenapa bisa jatuh?" Bianca tersenyum saat dia mendengar dan menyaksikan interaksi keduanya. "Tadi ada batu, Cici mau ketemu abang. Tapi Cici jatuh," jawabnya kelewat menggemaskan.

Mengangkat tubuh mungil itu Sagara meneliti tubuh gadis kecil di dekapannya memastikan bahwa tidak ada yang terluka. "Lain kali jalan pelan-pelan! Abangmu tidak akan meninggalkanmu!" Tegas tapi terkesan lembut. Sagara tau cara menghadapi anak-anak.

Mengangguk kecil binar gadis itu kembali terlihat saat seorang pria yang Sagara yakini adalah Ayah dari gadis kecil di gendongannya berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka. Sagara menurunkan gadis kecil itu perlahan. "Hati-hati."

Sagara cukup peka sejak tadi ada yang memperhatikannya, tapi apapun itu Sagara tidak ingin tau.

"Kamu dari mana aja? Papa khawatir, jangan pergi tanpa izin ya sayang," rasa kehilangan begitu menyakitkan ada beberapa orang trauma akan hal itu tapi ada beberapa orang yang terkesan tidak perduli.

"Tadi Cici kejar Abang, tapi tadi Cici jatuh," mendengar kata jatuh, jantung pria itu berdetak lebih keras, wajah paniknya menerbitkan senyum Sagara. Dia sering merasa apa yang pria itu rasakan saat Olivia melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya.

Ada yang harus di katakan tapi Sagara memilih bungkam dan berlalu dari sana, kewajibannya menolong sudah ia jalankan. Saatnya ia menjauh karena pada dasarnya jaman sekarang ucapan terimakasih tidak lagi penting.

"Maaf, apa anda yang menolong putri saya?" Sagara berbalik, kemudian mengangguk singkat tanpa tersenyum. "Terimakasih sudah menolong putri saya, kalau anda tidak ada putri kecil saya pasti akan terluka," mendengar itu Sagara hanya mengangguk. Tidak masalah, karena menolong adalah kewajiban setiap orang.

"Tidak masalah, saya hanya melakukan apa yang hati saya minta," Sagara berlalu dari sana setelah memberikan senyum kecilnya pada gadis kecil itu.

Saat bertemu seseorang tersenyumlah agar tidak di kira sombong bukan mengumpat itu tidak sopan.

"Dasar penguntit," Sagara tidak perlu repot-repot mengecilkan volume suaranya saat mengatakan itu, karena yang di katakan Sagara murni hasil pengamatan mata tajamnya.

Bianca belum paham, otak kecilnya di paksa bekerja dua kali lipat. Setelah paham maksudnya, Bianca melipat bibir ke dalam dengan tangan terkepal. Hilang sudah fikiran baiknya tentang pria itu.

"Kalau ngomong tolong di saring dulu, karena gue bukan penguntit!" Bianca protes, tidak terima.

Sagara menaikkan alis, wajahnya semakin datar persepsinya tentang para gadis yang merepotkan dan berisik semakin kuat. "Dasar batu!" Bianca berteriak, sejurus kemudian melangkah menjauh tidak ingin melihat wajah menyebalkan itu.

"Gue harap, gue gak ketemu lagi sama si penguntit!"

"Gue harap, gue gak ketemu lagi sama si batu!"

Dua remaja itu tidak tau suatu saat nanti mereka akan bertemu lagi dan lagi, takdir yang membawa keduanya bertemu di taman dan takdir juga yang akan memutuskan kapan mereka akan kembali bertemu dan berpisah.

Ya takdir berjalan sesuka hatinya.

1009 kata❤
Ingat tinggalkan vote dan komentar❤
Chalange 30 hari❤
Peluk cium dari nona Sumatera Utara

Show MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang