10) Tetangga dekat?

4 8 13
                                    

"Julio, aku mencintaimu," tawa Julio mengudara setelah beberapa detik mencerna apa yang gadis di depannya katakan.
Gadis yang dipanggil Valeri Sihotang terpana saat melihat betapa manisnya seorang Julio tertawa, dia tak salah menjatuhkan hatinya pada pria tampan dan mempesona seperti Julio.

"Julio aku benar-benar mencintaimu! Ayo kita pacaran kemudian menikah lalu memiliki anak dan menikmati hari tua bersama!" Valeri tersadar dari keterpanaannya dan terlalu bersemangat, berharap sangat besar jika cintanya pasti diterima.

Terdiam sejenak, Julio mencari kosa kata yang tepat. Menolak tapi dengan tidak menyakiti. "Valeri, aku belum mancintaimu dan kau bukan wanita pujaanku. Maaf tapi aku belum ingin pacaran apalagi sampai menikah," sematkan sedikit senyuman, agar tetap bisa berteman walaupun akan ada rasa canggung yang hinggap.

"Kau menolak?" Valeri merasakan patah hati sebelum berjuang.

Sebagai laki-laki bersertifikat paling ambisius Julio tersenyum dengan tangan menepuk dua kali pundak teman sekelasnya itu. "Mari berteman, aku menyayangimu sebagai sahabat!"

"Biarkan aku berjuang mendapatkan hatimu," ternyata Valeri belum menyerah.

"Kau akan merasa sakit hati," ucap Julio memperingatkan.

"Asalkan aku mendapatkan hatimu," lanjutnya penuh ambisi untuk mendapatkan hati Julio

Mengangguk setuju. "Aku tidak bisa menahan mu, tapi saat kau lelah dan aku menyakitimu terlalu jauh tolong peringati aku. Tapi itu memang konsekuensi yang akan kau terima Valeri."

Terus mengumbar senyum Valeri mengangguk, mengulurkan tangannya pada Julio masih sangat berharap jika pria itu akan bersikap manis sebelum dia berjuang.

Peka dengan yang Valeri inginkan Julio tersenyum manis, menyambut uluran tangan Valeri dan menggenggam erat jemari Valeri kemudian mengusak gemas rambut sebahu gadis itu.

"Ingin sebuah pelukan hangat?" Julio bertanya.

Tentu saja Valeri mengangguk.

"Selamat berjuang Valeri Sihotang," Julio membawa gadis itu kepelukannya, kemudian menghilang dari kelas setelah menyemangati Valeri dengan cara yang manis.

***

Baru saja keluar dari dalam rumah, Sagara disuguhkan pemandangan yang tidak mengenakan. Tidak ingin perduli dengan apapun yang terjadi, Sagara masuk ke dalam mobil audi putih kesayangannya dan melesat cepat meninggalkan pekarangan rumah menuju sekolah.

Menghela nafas berat ternyata Sagara sama sekali tidak bisa tidak perduli, dengan kesabaran yang kian menipis Sagara berbalik arah. Jangan sampai dia menyesali keputusannya.

"Lo ngapain disitu?" Sagara mendesis tidak suka, dengan tingkah tetangganya yang selalu terlihat menderita.

Dengan wajah yang memerah sehabis menangis Safira menatap Sagara malu, kemudian menggeleng pelan. Berharap sahabat kekasihnya itu mengerti bahwa dirinya sedang tidak ingin di ganggu.

"Lo mau bunuh diri?"

Posisi mereka agak jauh, tapi Sagara bisa melihat dengan jelas ada beberapa bekas pukulan ditubuh gadis itu. Menghela nafas berat, Sagara keluar dari mobilnya kemudian ikut duduk dengan Safira yang menangis dalam diam.

"Gue tanya! Lo mau bunuh diri?"

Tawa Safira mengudara, padahal hatinya sedang tidak baik-baik saja dan Sagara bisa mendengar bahwa ada kesedihan disana.

"Safira cuman mau hidup tenang."

"Berubah jadi jahat," berbicara dengan Sagara memang menyesatkan. Safira lelah.

"Lo mau gue bunuh Garha? Atau gue jeblosin langsung ke penjara?" Tanya Sagara tidak main-main, sorot matanya tajam namun Safira tau jika Sagara perduli dengannya.

"Dia papa Safira!"

"Tapi dia udah nyakitin lo goblok!" Jawab Sagara cepat.

"Safira mau peluk," pinta Safira pelan.

Permintaan Safira sederhana tapi Sagara mengingat Liam yang cukup protective dengan Safira.

"Jangan ngelunjak!"

"Tapi Safira emang butuh pelukan," ucap Safira pelan.

Senyum tipis merekat dibibir Sagara, dia memang tidak bisa tidak perduli dengan Safira. "Ayok, gue antar kerumah Liam. Lo butuh sandaran."

Menyembul ide dari benak Safira, gadis itu dengan cekatan merampas ponsel Sagara dan membuka kata kunci yang memang Safira hafal.

"Lo mau apa?"

"Mau nelfon Leem, Safira pengin jalan sama Sagara," jawab gadis itu pelan.

Terimakasih sudah membuat Sagara bingung, Safira dan otaknya yang kecil. "Gue ada kerjaan. Gimana kalau gue antar lo kerumah Liam?" Tanyanya hati-hati, dan tangannya meraih ponselnya dari tangan Safira setelah memastikan tidak ada panggilan keluar kemudian baru memasukkannya ke saku celana.

Menggeleng tidak setuju, Safira ingin dengan Sahabat masa kecilnya bukan dengan kekasihnya. "Yaudah kalau gitu peluk Safira," usul gadis itu semakin membuat Sagara sakit kepala.

Tanpa berpikir panjang, Sagara menarik Safira dalam pelukannya membiarkan gadis itu memeluk erat tubuhnya. Sagara mengelus surai Safira lembut menyalurkan perasaan khawatir yang cukup besar.

Safira memeluk erat Sagara, menumpukan tubuhnya sempurna pada pria yang menjabat sebagai sahabat masa kecilnya sekaligus tetangganya. "Safira capek," cukup pelan namun Sagara mendengar dengan jelas.

"Lo butuh Liam, mau gue antar?" Untuk yang kedua kalinya Sagara mengusulkan.

Mengangguk setuju Safira tetap memeluk Sagara, sesak di dada belum sepenuhnya keluar. Namun cukup, Safira ingat bahwa dirinya milik Liam.

Sebenarnya Safira tau apa yang dia minta pada Sagara salah tapi otak dan hatinya menginginkan sandaran, Liam terlalu jauh dia menginginkan seseorang yang dekat dan bisa mengerti dirinya. "Safira butuh dukungan," terisak kecil, Sagara mengangguk membawa Safira masuk kemobil kemudian melesat dengan cepat menuju rumah Liam.

"Gue antar lo kerumah Liam, nanti kalau mau pulang lo bisa telfon gue. Gue bakalan jemput."

Safira mengangguk, menatap Sagara sebentar kemudian beralih menatap jalanan. "Gara,"

"_"

"Terimakasih udah jadi sahabat terbaiknya Fira,"

"Sama-sama."

Mobil berhenti, Safira tersenyum ringan kemudian keluar setelah mengucapkan terimakasih. Setelah mobil Sagara melesat, Safira tersenyum kecil mengambil pisau kecil ditangannya kemudian menggores lengannya beberapa kali, menyakitkan namun Safira ingin mendapat perhatian lebih.

Setelah merasa cukup Safira membuang pisau kecil itu ke selokan, lalu mengetuk pintu rumah kekasihnya pelan. Rasa sakit dari goresan pisau akibat ulahnya sendiri kini mulai memberikan efek.

"Eh Safira?"

"Leem," lirihnya sebelum menutup matanya sempurna.

"Safira!" Safira beruntung tubuhnya belum sempat merasakan dinginnya lantai, Liam dengan sigap menangkap tubuh mungil kekasihnya.

"Sayang," Liam mengguncang bahu gadisnya berharap dia membuka mata. "Kamu kenapa?" Tanyanya khawatir, langsung membawa pacarnya kedalam rumah.

"Mbak telfon dokter sekarang!" Liam membawa Safira kekamarnya, percayalah saat ini Liam benar-benar khawatir di tambah luka sayatan di lengan gadisnya. Liam merasa gagal menjaga gadis itu.

"Baik tuan Liam."

Haii ketemu lagi sama Nona Sumatera Utara💜💙
Kalian apa kabar?
Oh ia ini cuman 940 kata, ide lagi gak ngalir.
Btw hilallnya udah keliatan tuh, kalian bisa tebak? Okurr segitu aja dulu
Jangan lupa komentar dan votenya supaya Nona sumatera ini semangat!!

Salam sayang dan peluk cium dari Nona Sumatera Utara💜💙

Show MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang