Part 4 Bidadari

447 48 6
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 4
Bidadari

.
.

Anak itu mengalihkan mata ke lantai. “Es krimkuu!” serunya. Serta merta ujung-ujung bibir mungilnya menggelayut ke bawah.

Bram mengikuti tatapan si gadis cilik. Sebuah es krim cone tergeletak di lantai. Olahan susu yang lembut dan lezat itu sebagian besar keluar dari contongnya dan berceceran mengotori tegel keramik putih.

Sepasang mata anak perempuan itu berkaca-kaca. Bibir mungilnya mengerucut dan agak bergetar.

“Jangan menangis. Nanti es krimnya Om ganti,” bujuk Bram. “Tadi kamu beli di mana?”

“Di Abang es krim dorong,” jawab anak itu. “Sekarang sudah pergi.”

Bram berpikir sejenak. “Kalau Om belikan es krim di minimarket, mau?”

Gadis kecil itu mengerjap, memandang ragu. “Kata Bunda, aku nggak boleh ikut orang tak dikenal. Nanti diculik. Cuma boleh sama teman Bunda aja.”

“Kan cuma ke minimarket depan kantor. Tuh, dari sini kelihatan.” Bram menunjuk ke seberang jalan yang terlihat dari kaca lobi.

Si gadis cilik memandang ke arah minimarket. Tangannya menarik-narik ujung jilbab. Ia terlihat berpikir keras.

“Beneran nih, Adik nggak mau es krimnya Om ganti?” Bram bertanya sabar.

“Eh, mau, Om.” Akhirnya es krim menang di atas keraguan.

Bram tersenyum. “Nah, sebelumnya, ceceran es krim ini harus dibereskan.”

“Biar saya panggilkan OB, Pak.” Salah seorang site engineer menawarkan diri. “Sebentar, tanya orang sini dulu di mana letak pantri.”

“Pantri lurus ke sana, lalu belok kanan,” celetuk si gadis cilik. Rupanya anak itu sudah terbiasa dengan kantor Jinowan Architect.

Setelah meminta tolong teman-temannya agar mengurus ceceran es krim dan menyuruh mereka kembali ke kantor duluan, Bram mengajak anak itu ke minimarket di seberang Jinowan Architect.

“Om orang baru, ya? Aku belum pernah melihat Om sebelumnya.” Si anak kecil berceloteh, sambil berjalan setengah melompat-lompat di sebelah Bram.

Lelaki itu tersenyum, lega karena tampaknya gadis cilik ini tidak terluka ataupun keseleo. “Ya, begitulah.”

Bram mendorong pintu kaca minimarket dan menahannya dengan tangan, menunggu si gadis kecil masuk. Wadah pendingin es krim berada di tepi ruangan, dekat dinding. Ada dua kotak besar berjejer dengan merek berbeda.

“Nah, kau mau yang mana?” tanya Bram.

Anak berjilbab merah jambu berdiri di depan kotak pendingin, mengamati satu per satu es krim di dalamnya dengan ekspresi serius. Sementara di sebelahnya, Bram berdiri menunggu. Lelaki itu memperhatikan hidung paruh elang si gadis cilik dari samping.

“Aku mau yang itu, Om.” Anak itu menempelkan telunjuk kanan ke kaca penutup, menunjuk ke dalam kotak pendingin.

Bram menggeser kaca penutup. “Ambillah.”

Dengan semringah, si gadis cilik langsung mengambil es krim yang ia inginkan. Lalu, ia mendongak. “Om nggak ambil?”

“Tidak,” jawab yang ditanya, tersenyum. Tangannya menutup kembali kaca kotak es krim. “Ayo, kita ke kasir.”

Di depan kasir, melihat cokelat berjajar, Bram menawarkan, “Mau tambah cokelat nggak, Dik?”

Gadis kecil itu memandang Bram dengan mata membulat, lalu ganti menatap jajanan pipih panjang di hadapan dengan ragu. “Tapi … Om tadi kan cuma jatuhin es krimku. Enggak ada cokelatnya.”

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang