Part 17 Terbongkarnya Rahasia

749 30 4
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Penulis: Triana Kumalasari

Part 17
Terbongkarnya Rahasia

.
.

Dilla terkejut bukan main ketika tahu Selina hamil. Awalnya, Selina bungkam, menyimpan sendiri kehamilannya. Namun, perutnya makin lama makin kentara.

“Astaga, Lin! Apa yang akan kau lakukan dengan bayi itu?” Dilla ribut bertanya. “Apa ... kau akan memberi tahu Mas Bram?”

Selina menunduk sedih.

“Memangnya kau mau berbagi suami dengan Janet? Kudengar hidup kayak gitu tuh berat.”

Selina menggeleng. “Aku nggak mau, Dil.” Dihelanya napas pelan. “Biarlah ... akan kuusahakan mengurus anakku sendirian. Semoga aku bisa.”

Dilla mengangguk. “Jangan khawatir, Lin. Akan kubantu menjaga rahasiamu ini dari Mas Bram.”

***

Selina menarik napas, menguatkan hati. “Tentu saja anak suami saya,” tukasnya, mempertahankan gaya bahasa formal. Benar, kan? Selina menghibur diri, berusaha memperkecil rasa bersalah. Riri memang terbentuk dari hubungan suami istri yang sah.

“Suami?” Bram mendengkus. “Siapa sekarang suamimu? Gito?” Wajahnya terlihat geram kala mengucapkan nama itu.

Selina tak menjawab. Ia melengos, memandang dinding.

“Usia Riri delapan tahun. Berarti ayah biologisnya adalah laki-laki yang dekat denganmu sekitar sembilan tahun lalu.”

Kedua tangan Selina yang mendadak dingin saling meremas di bawah meja.

“Wajah Riri tidak mirip Gito,” ujar Bram.

“Riri mirip siapa itu bukan urusan Bapak. Maaf, saya tidak tertarik membahas tentang keluarga saya. Saya permisi, Pak.” Wanita itu buru-buru berdiri. Ia ingin segera lari dari situ. Mungkin, besok bila bertemu lagi dengan Bram, dirinya bisa berpura-pura seolah pembicaraan ini tidak pernah terjadi.

Kaki kursi berderit menggesek lantai ketika Selina tergesa akan pergi.

“Apakah Riri anakku?”

Gerakan Selina terhenti. Ia bagai membeku. Pertanyaan itu menikam jantungnya. Perlahan, wanita itu menoleh ke arah Bram. Matanya yang membelalak beradu dengan tatapan Bram yang tajam menyelidik.

“Apa Riri anakku?” ulang Bram.

“Ke-kenapa Anda berpikir begitu?”

Mata Bram menyipit. “Aku ingat saat bertemu Gito di kampus kalian dulu, hidungnya tidak mancung.”

Tiba-tiba Selina teringat hidung Gito yang pesek. Gawat!

“Dan dagu Gito tidak belah.” Bram melanjutkan interogasinya dengan penuh selidik. “Riri memiliki hidung paruh elang dan dagu belah. Jelas itu tidak menurun dari Gito. Tidak juga darimu.” Ia memandang hidung Selina yang mungil dan agak bulat di bagian ujung, lantas turun ke dagu lancip wanita itu.

Selina susah payah menelan ludah.

“Di antara kita bertiga, hanya aku yang memiliki ciri-ciri itu.” Bram menjeda, berharap mendengar jawaban Selina. Akan tetapi, nihil. Mantan istrinya bungkam dengan wajah tegang. “Lin, apa Riri anak kandungku?”

Selina tetap mematung. Tak ada jawaban dari bibirnya. Beberapa menit berlalu. Mereka bertatapan dalam hening. Hingga akhirnya wanita itu berkata dengan sedikit bergetar, “Itu hanya perasaan Anda saja.”

Bram bangkit berdiri, mencondongkan tubuh ke depan dengan kedua tangan bertumpu ke meja. “Ayo lakukan tes DNA.”

“Apa?” Selina terkesiap, mundur selangkah. Kepalanya menggeleng. “Jangan keterlaluan. Kau tidak boleh melakukan tes DNA atau apa pun pada Riri.” Kali ini Selina lupa memakai gaya bicara formal. Sepasang mata berbulu lentik itu berkilat, bagai hewan yang tersudut. Perasaan panik, takut, dan marah tergambar menjadi satu di wajahnya. “Jangan sentuh Riri!” Suaranya meninggi.

“Kalau begitu, katakan sejujurnya!” bentak Bram.

Ketukan di pintu menghentikan pertengkaran mereka. “Pak Bram, apa ada masalah?” Suara laki-laki bertanya dari luar pintu yang tertutup. Rupanya teriakan mereka terdengar sampai ke luar.

“Tidak. Tidak ada masalah,” jawab Bram.

“Begitu. Baik, Pak.” Suara dari balik pintu menanggapi, disusul bunyi langkah menjauh.

“Kurasa aku pergi saja.” Selina berbalik, lalu segera melangkah menuju pintu.

Bram memutari meja dan berjalan cepat mengejar. Lelaki itu menyambar lengan Selina, menghentikan paksa langkahnya. “Kita belum selesai bicara.”

Selina terkesiap. “Jangan lancang menyentuhku. Kita bukan lagi suami istri,” protesnya, berusaha menarik lengannya dari genggaman Bram, tetapi sia-sia. Meskipun tangan Bram tidak menyentuh kulitnya, terhalang kemeja lengan panjang dan jaketnya, tetapi rasanya ini tidak benar.

Bram menarik Selina kembali ke meja kerja, lalu menghempaskan tubuh wanita itu ke kursi.

Selina terbeliak. Syok.

Sang project manager membungkuk, meletakkan tangan masing-masing satu di lengan kursi, memenjara mantan istrinya yang duduk dengan raut muka tegang.

“Katakan sejujurnya,” desis Bram. Ia tak lagi berteriak karena khawatir mengundang perhatian orang di luar. Dahinya berkerut. Sepasang alis tebalnya nyaris menyatu.

Selina menahan napas. Wajahnya pucat. Bram begitu dekat. Bahkan napasnya terasa di ujung hidung kala lelaki itu berbicara di depan mukanya.

“Tak ada ….” Selina tergagap. “Tak ada yang perlu kukatakan.”


.
.

Alhamdulillah, selesai sudah jatah postingan untuk media sosial. Ini part terakhir versi medsos.

Sampai berjumpa dengan Selina, Bram, dan Riri versi novelnya, insya Allah. 😊 Semoga rezeki kita semua lancar dan senantiasa sehat. Aamiin.

.
.

WAJAH BIDADARI insya Allah akan dijadikan novel. Nanti untuk info, bisa hubungi WA 087880039311 😊

Di medsos, insya Allah akan berakhir pada part 17 = sebagian dari bab 14 versi novelnya.
Kok beda? Karena perbedaan jumlah kata per bab antara medsos dan novel.

Untuk buku novel WAJAH BIDADARI ada 36 bab.

Saat ini sedang proses editing, lay out, dan cover di penerbit. Mohon doakan prosesnya lancar, ya. Terima kasih. 🙏

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang