Part 3 Wanita Penoreh Luka

510 51 6
                                    


Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari



Part 3
Wanita Penoreh Luka

.
.


“Oh ya, tentu saja.” Terdengar suara lembut menjawab dari dalam ruang direktur. “Sepertinya Mas Leo meletakkan berkas itu dengan penuh tenaga.”

      Sesekali, Farah Dinata memang datang ke kantor untuk makan siang bersama suaminya. Banyak yang berkasak-kusuk tentang pasangan ini. Sebagian heran, bagaimana Farah yang lembut bisa tahan menghadapi laki-laki segalak Leo. Ada juga beberapa karyawati usil merasa Farah kurang cantik untuk Leo yang ganteng. Biasanya, Bram masa bodoh dengan segala gosip dan urusan orang lain. Namun, percakapan barusan menarik perhatiannya.

Tawa kecil dari sebelahnya menyadarkan Bram. Ditutupnya pintu, sambil melirik Hendi yang menutup mulut menahan tawa.

Setelah agak jauh meninggalkan ruang direktur, berjalan beriringan menyusuri koridor, barulah Hendi membuka mulut dengan senyum lebar. “Pak Bram sepertinya heran dengan kejadian di ruangan Bos tadi.”

Bram menyunggingkan senyum tipis. “Apa Pak Leo suami takut istri?”

“Tidak juga. Hanya saja, setelah menikah dengan Bu Farah, Pak Leo mengalami perubahan. Meski masih galak, tetapi lebih baik dari sebelumnya.”

Bram manggut-manggut. Saat ia masuk PT Atmaja Building, Leo telah menikah. Jadi, ia tak tahu perubahan yang terjadi. Sementara Hendi sudah bergabung di perusahaan sejak atasan mereka masih bujangan.

“Meski hasil perjodohan bisnis, kurasa Pak Leo mencintai istrinya.” Hendi tersenyum, sementara tangannya menekan tombol lift.

Bram mendengkus. “Itu karena Bu Farah belum mulai mengkhianatinya.”

Hendi melongo. Dengan heran, ia memandang Bram yang melangkah masuk ke dalam lift, lantas buru-buru menyusul rekannya sebelum pintu tertutup.

“Kenapa Anda bilang begitu, Pak Bram? Masa Bapak berpikiran bahwa Bu Farah akan mengkhianati Pak Leo?”

“Semua wanita sama saja. Saya sudah pernah melihat buktinya, bahkan lebih dari satu kali.”

Hendi memandang Bram dengan alis terangkat, tetapi yang dipandang lebih suka menatap pintu lift di hadapan. Pintu logam itu memantulkan bayangannya, lelaki berhidung paruh elang dengan wajah dingin. Sepasang mata hitamnya menyorot sinis.

Bram menghela napas, mengenyahkan lamunan percakapannya dengan Hendi empat hari lalu dari benak. Meski ingin menghindar, nyatanya ia akhirnya tetap berada di sini. Mungkin memang terlalu konyol bila mencampuradukkan pekerjaan dengan masalah pribadi. Selain terkesan tidak profesional, atasannya yang galak juga pasti tidak suka. Kabarnya, Leo Atmaja bahkan tega memecat kakak kandung istrinya. Kalau saudara iparnya saja ia depak dari perusahaan, apalagi karyawan tanpa hubungan keluarga seperti Bram.

Perlahan, Bram merapikan proposal dan berkas-berkas di meja. Dikembalikannya bolpoin ke tempatnya di sudut meja. Ia menyukai kerapian. Lelaki itu tidak dapat tidur tenang kalau meninggalkan meja kerjanya dalam kondisi semrawut.

Setelah mematikan lampu ruang kerjanya, Bram naik ke lantai dua. Rumah dua lantai ini disewa PT Atmaja Building untuk tempat tinggal sementara para karyawannya yang bertugas menggarap proyek Mal Pualam Indah di Malang. Bagian bawah difungsikan sebagai kantor, sementara bagian atas untuk kamar tidur.

***

Pagi ini, Bram pergi meninjau ke lokasi proyek di Jalan Mayjen Sungkono, Buring, bersama dengan para site manager dan site engineer. Besok proyek tersebut akan resmi dimulai. Setelah melakukan pengecekan di lapangan, rombongan kecil tersebut bertolak ke Jinowan Architect.

Henry Jinowan menyambut tamu-tamunya dengan ramah. Selina hadir sebagai koordinator drafter. Tak ada senyum di bibir yang terpulas lipstik warna nude.

Bram mengernyitkan kening. Ada yang berubah dari wanita ini. Perubahan yang sepertinya bukan hal bagus. Tubuh Selina tampak lebih kurus daripada saat menjadi istrinya. Ia mendengkus sinis. Apa pernikahan baru perempuan itu tidak bahagia?

***

Sembilan tahun lalu, di hari ulang tahun Selina, Bram yang justru mendapat kado pahit.

    Saat itu, ia sedang di toko perhiasan, memilih kalung untuk istrinya. Tugasnya sebagai site engineer di sebuah proyek jalan tol telah membuatnya terikat di Jakarta, tak bisa merayakan hari istimewa tersebut bersama sang istri di Malang. Kendati demikian, ia berjanji akan terbang ke kota apel hari Minggu ini, dan seuntai kalung dengan liontin hati akan dipersembahkannya sebagai hadiah.

Baru dua langkah Bram meninggalkan pintu toko perhiasan, ketika ponselnya berdenting. Dirogohnya saku untuk mengeluarkan alat komunikasi tersebut. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Lelaki itu sedikit mengerutkan alis.

Begitu pesan tersebut ia buka, alis Bram bukan hanya sedikit mengerut, melainkan nyaris menyatu. Sebuah foto terpampang di layar ponselnya, memperlihatkan seorang wanita berbaju abu-abu tengah bersandar di pelukan pria berambut ikal. Bram mengenali lelaki itu sebagai Gito, teman kuliah adiknya yang ia tahu naksir Selina.

Napas Bram mendadak memburu. Yang membuat lelaki itu naik darah karena wanita yang bersandar dalam pelukan Gito tidak lain adalah Selina, istrinya.

Tangan Bram mengepal. Bungkusan berisi kalung ia remas dengan beringas.

***

Bram membuang napas untuk menyingkirkan bayangan masa lalu. Lelaki itu melirik kedua tangannya. Ternyata, tanpa sadar tangannya terkepal. Ingatan yang berkelebat barusan mendidihkan lagi darahnya. Untung ia masih sadar lokasi dan tidak menghantam meja.

Setelah Selina menyerahkan beberapa gambar yang telah timnya buat, Rizki, Gunawan, dan para site engineer memeriksanya. Wanita itu menjawab dengan lugas setiap komentar mereka. Senyumnya nyaris tak pernah muncul. Ketika Bram yang berkomentar, wajah berbentuk hati itu terlihat menegang.

Dengan ekpresi datar dan suara dingin, Bram memberi masukan-masukan dan koreksian untuk gambar kerja yang tadi dipresentasikan Selina. Sebenarnya, PT Atmaja Building memiliki tim drafter sendiri. Hanya saja, saat ini, perusahaan kontraktor tempatnya bekerja itu juga sedang menangani proyek rest area di Bandung dan hotel di Bali. Drafter mereka ditugaskan di dua proyek tersebut. Sehingga untuk pembangunan Mal Pualam Indah, PT Atmaja Building membuka kerja sama dengan konsultan arsitek yang menyediakan jasa drafter.

Ketika rapat berakhir, Bram hanya mengangguk tipis ke arah Selina dan anak buahnya, lantas berbalik pergi. Matanya hanya dua detik menyorot wajah mantan istrinya. Itu pun dengan tatapan sedingin es.

Bram berjalan paling depan, menyusuri lorong menuju lobi. Para site manager dan site engineer berjalan di belakangnya sambil membicarakan shop drawing.

Bram mengusap dagu belahnya yang ditumbuhi sedikit jenggot. Masih terbayang olehnya betapa tegang wajah Selina kala mereka beradu pandang.

Ketika berbelok, tiba-tiba Bram bertabrakan dengan seseorang. Lelaki itu terkejut. Karena berjalan sambil melamun, ia tak waspada, tak mengira bahwa di belokan menuju lobi akan muncul seorang anak yang berjalan berlawanan arah dengannya. Anak itu sedikit terpental, terdorong ke belakang, dan jatuh terduduk di lantai.

“Oh, kau tak apa-apa?” Bram buru-buru berjongkok. Enam anak buahnya yang tadi mengobrol ikut mengerumuni. Bram memperkirakan usia gadis cilik di depannya sekitar tujuh atau delapan tahun. “Ada yang sakit, Dik? Sorry, tadi Om tak melihatmu.”

“Bisa bangun? Apa perlu digendong?” Rizki yang membungkuk di sebelah Bram ikut bertanya.

Anak berkaus merah jambu dengan jilbab warna senada itu mendongak, memandang tujuh pria yang mengelilinginya. Bram tercengang. Sesuatu pada wajah si gadis cilik membuatnya tertegun.

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang