Part 9 Kala Cinta Bersemi

292 29 2
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 9
Kala Cinta Bersemi

.
.

“Nah, Om itu minta Bunda memperbaiki gambar,” ujar Selina.

“Padahal Om itu baik sama aku. Beliin es krim, tambah cokelat. Tapi kok gitu sama Bunda?  Nyuruh menggambar sampai malam?”

Selina tertawa. “Itu memang pekerjaan dia. Dan pekerjaan Bunda kan memang menggambar.”

Ibu dan anak berjalan beriringan. Rumah mungil mereka tidak memiliki ruang tengah terpisah. Bangunan tipe 36/72 itu memiliki satu ruang memanjang, dua kamar, dan kamar mandi. Sofa tamu dan meja makan kecil berada di ruang yang sama.

Baru delapan bulan mereka tinggal di rumah ini. Sebelumnya, Selina mengontrak. Sejak ibunya meninggal tujuh tahun lalu, ia harus membayar pembantu untuk mengurusi Riri yang saat itu masih balita. Pembantu tersebut juga bertugas mengurus rumah dan memasak.

Selina selalu mencari rumah kontrakan di dekat kantor, agar bisa segera datang bila putrinya membutuhkan. Alhasil, Riri sering mengajak si pembantu mengunjungi bundanya ke kantor.

Kemudian, satu tahun lalu, rumah ini dijual. Selina yang telah lama sangat ingin memiliki rumah sendiri, tertarik untuk membeli dengan KPR. Apalagi lokasi rumah dekat dengan kantor. Hanya saja, cicilannya lumayan besar bagi Selina.

“Riri, rumah itu dijual. Kamu pingin nggak punya rumah sendiri? Dekat kantor Bunda pula.”

Hari Minggu pagi, setahun lalu, Selina mengajak Riri melihat rumah tersebut.

“Mau, dong, Bunda! Ayo kita beli!” Riri melonjak-lonjak. “Biar nggak pindah-pindah rumah lagi.”

“Nah, tapi, uang Bunda terbatas. Kalau mau menyicil rumah itu, kita harus berhemat. Riri bisa nggak sendirian di rumah tanpa Mbak Inah? Uang yang untuk bayar Mbak Inah, kita pakai untuk membayar rumah.”

Riri terdiam, mengerjap. Setelah beberapa saat berpikir, ia mengangguk yakin. “Iya, Bunda, nggak apa-apa. Aku bisa kok tanpa Mbak Inah. Aku kan udah besar. Lagian Mbak Inah susah diajak main sama aku. Mbak Inah main HP melulu. Nanti aku main ke kantor Bunda aja, ya.”

Jadi begitulah, sekarang Selina mengarahkan alokasi uangnya untuk cicilan rumah, kebutuhan sekolah Riri, dan katering putrinya satu kali sehari untuk makan siang. Sarapan dan makan malam, Selina berusaha memasak. 

Selina meletakkan tas dan kunci sepeda motor di lemari. Dipijatnya tengkuk yang terasa pegal. Ia menuju dapur dan mengambil piring. Riri membuntuti.

Aroma gurih bumbu kacang langsung tercium kala Selina mengeluarkan bungkusan sate dari kantong plastik yang dibawanya. Disiapkannya hidangan tersebut di meja makan. “Bunda beli sate untuk makan malam kita. Kamu makan duluan saja, Ri. Bunda mau mandi dulu.”

Riri menggeleng. “Aku mau nungguin Bunda. Aku mau makan sama Bunda.”

Selina membungkuk, mendekatkan wajah pada putrinya, tersenyum. “Kalau begitu, Bunda akan mandi secepat kilat.”

Makan malam itu menjadi pelipur lelah bagi Selina. Mendengarkan Riri bercerita tentang tingkah teman-temannya di sekolah, apalagi melihat gadis kecilnya itu tertawa lebar, benar-benar menjadi hiburan tersendiri.

Malam itu, Selina memutuskan tidur bersama putrinya. Meski sedikit heran, tetapi Riri girang. Mereka tidur sambil berpelukan.

Baru satu menit berbaring, Riri sudah terlelap. Akan tetapi, tidak demikian dengan Selina. Meski penat mendera tubuh, tetapi kerisauan dalam benak mencegahnya tidur nyaman.

“Takdir apa ini, Ri?” bisiknya seraya menatap wajah damai bidadarinya. “Kenapa kita harus bertemu lagi dengannya, padahal kami sudah memiliki kehidupan masing-masing? Kebahagiaan itu … telah lama pergi.”

***

“Aku suka kamu, Lin. Mau nggak jadi pacarku?” Saat itu, Bram muda menatap lekat Selina penuh harap.

Selina mengerjap. Ditatapnya lelaki dua puluh lima tahun itu dengan ragu. Sejak perkenalan mereka pada kunjungan Bram menjenguk Dilla sepuluh bulan lalu, lelaki itu sudah muncul di Malang untuk kelima kalinya. Setiap datang, ia selalu mengajak Selina pergi. Pada awalnya bertiga bersama Dilla. Namun, bila Dilla berhalangan, Bram nekat membawa Selina pergi berdua. Entah mengapa, gadis itu sulit menolak. Mungkin, karena ia memercayai lelaki ini. Sikapnya yang sopan, tegas, dan terlihat bertanggung jawab membuat Selina merasa nyaman.

Kebimbangan Selina bukan karena meragukan Bram, melainkan karena ibunya tidak menyukai pacaran. Meski pengetahuan agama keluarganya minim, tetapi ibunya sering mendengungkan bahwa pacaran itu berbahaya.

“Kenapa diam? Kamu nggak suka sama aku, ya?” tanya Bram. Mendung tipis muncul di wajahnya.

Ah, Selina tak tega melihat wajah manis lelaki di hadapan kecewa. Tak suka, katanya? Andai Bram tahu, bahwa seakan ada banyak kupu-kupu menggelitik perutnya tiap kali mereka bertemu. Bahwa desiran menggetarkan hatinya, dan ia merasa bahagia tanpa alasan yang jelas tiap kali melihat wajah dengan hidung paruh elang dan dagu belah itu.

“Lin,” Bram melongok wajah Selina yang menunduk, “kamu mau jadi pacarku, kan?”

Melupakan larangan ibunya, gadis berambut hitam sepunggung itu mengangguk malu-malu. Anggukan kecil yang seketika mengundang sorakan Bram.

“Yes!”

Selina tersenyum melihatnya. Beruntung, bangku di dekat mereka kosong. Kalau tidak, seruan Bram barusan bisa menarik perhatian orang.
 
Alun-alun Malang siang itu cukup sepi. Panas matahari terlalu terik, membuat orang malas berjalan-jalan di tempat terbuka. Mungkin hanya yang sedang kasmaran seperti Bram dan Selina yang bagai tak merasakan sengatan panas. Cinta mampu meneduhkan, meski kulit tetap saja akan menggelap karena terpanggang.

“Lin, berjanjilah, kau akan setia.” Bram menatap lekat wajah berbentuk hati di hadapan.

Selina tertegun mendapati sinar mata yang biasanya memandangnya lembut itu kini menyorot tajam.

“Eh, ya, tentu saja, Mas.” Rasanya aneh bagi Selina. Mereka kan baru saja jadian, bahkan belum ada lima belas menit. Akan tetapi, suara bernada menuntut dari Bram, dengan tatapan yang … apa ya itu? Curiga? Cemas?

“Aku serius, Lin. Kau harus setia. Karena aku ... nggak akan memaafkan pengkhianatan, sekecil apa pun itu.”

Wow, posesif banget!

Meski terheran-heran, gadis itu mengangguk. Toh, ia menyukai Bram. Tak ada sedikit pun pikiran untuk mengkhianati lelaki ini.

Hari-hari selanjutnya, dua sejoli tersebut bagai berjalan di atas pelangi. Indah selalu. Meski Dilla cemberut karena merasa kakaknya direbut. Selina berusaha menghibur dan menunjukkan bahwa kehadiran pasangan tidak serta merta membuat Dilla kehilangan sosok kakak. Bram juga meyakinkan bahwa ia akan tetap memperhatikan adiknya, meski lelaki itu juga sesekali menginginkan waktu tersendiri hanya mengobrol berdua bersama sang kekasih. Meski manyun, Dilla terpaksa mengalah.

Hingga suatu hari, ibu Selina menghampiri putrinya dengan wajah keruh.

“Ini maksudnya apa, Lin?”

Selina yang tengah duduk membaca diktat kuliah di teras rumah mengangkat kepala. Seketika wajahnya memucat, memandang dompet yang diulurkan ibunya. Benda penyimpan uang miliknya itu terbuka tepat di tempat foto Bram terselip manis.

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang