Part 2 Orang Terkasih di Rumah

497 47 6
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 2
Orang Terkasih di Rumah

.
.

Rapat pagi ini menjadi pertemuan yang paling enggan Selina hadiri. Semalaman ia tidak bisa tidur. Wanita itu hanya berbaring resah sambil memeluk seseorang yang teramat dikasihinya. Dengan kantong mata sedikit gelap karena kurang tidur, ia duduk lesu bersama dua anak buahnya, menunggu kedatangan tim proyek dari PT Atmaja Building.

Pintu terbuka. Henry masuk bersama tamu yang terdiri dari delapan orang. Satu kali pandang saja, Selina telah menemukan sosok itu. Sedikit berbeda dari yang dulu ia kenal. Tentu saja, waktu telah terbang selama sembilan tahun sejak perjumpaan terakhir mereka. Selain itu, suasana dulu dan sekarang juga berbeda.  Dulu, ia melihat rambut hitam Bram yang bebas diterpa angin, sesekali malah acak-acakan dan basah. Kini rambut itu tersisir rapi dengan belahan di samping kiri, diam di tempat karena pomade. Tubuh tegapnya terlihat lebih berisi dibanding dulu dan jenggot kambing kini menempel di dagunya. Selain itu, tak ada perubahan berarti.

Selina dan kedua anak buahnya buru-buru berdiri dan mengangguk sopan menyambut tamu perusahaan. Tujuh lelaki dan satu wanita dalam rombongan tersebut membalas anggukannya. Termasuk Bram. Lelaki itu tiga detik menatap Selina, sebelum mengalihkan mata. Ekspresi masam sempat Selina lihat muncul di wajah berrahang tegas tersebut.

Hmm, rupanya Bram juga enggan bertemu lagi dengannya.

Henry menawari para tamu untuk duduk mengelilingi meja rapat, kemudian mempersilakan pimpinan dari tim PT Atmaja Building untuk memimpin rapat.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi. Agenda rapat hari ini adalah perkenalan anggota tim dan membicarakan rencana pelaksanaan proyek. Sebelumnya, perkenalkan, saya Bramantyo Pradipa yang bertugas sebagai Project Manager. Di sebelah kanan saya adalah Pak Rizki Haryono yang bertugas sebagai Site Engineering Manager. Di sebelah kiri saya adalah Pak Gunawan Riyadi yang bertugas sebagai Site Operation Manager dan Pak Joko Kusuma selaku Site Administration Manager.” Dengan suara tenang dan datar, Bram lanjut memperkenalkan satu per satu anak buahnya beserta jabatan masing-masing.

Setelah Bram selesai, ganti Henry yang memperkenalkan tim dari pihaknya. “Baik. Dari Jinowan Arsitektur, kami menugaskan Bu Selina Ayu Kinanti sebagai arsitek sekaligus koordinator drafter. Sebagai drafter, ada Pak Johan Ardian dan Bu Pertiwi Dewi.”

Pembahasan selanjutnya adalah mengenai pelaksanaan awal proyek. Selina berusaha keras untuk berkonsentrasi. Namun, sulit sekali. Ia tak dapat menampik bahwa lelaki yang kini nyata-nyata bersikap tak acuh terhadapnya itu dulu pernah menempati posisi istimewa dalam hidupnya. Ditariknya napas dalam. Ada yang terasa sakit. Situasi ini membuat hatinya bagai diremas oleh tangan tak kasat mata.

“Bu Selina, tolong segera persiapkan shop drawing-nya.” Akhirnya mata Bram terarah juga kepadanya.

“Baik, Pak.” Selina menjawab setegas mungkin, berusaha menyembunyikan getar dalam suaranya. Di sini ia harus profesional, meski disayangkan, sisi kewanitaannya yang rapuh muncul dan mengusik konsentrasinya.

Rapat itu berakhir, tanpa satu kata pun lagi dari Bram untuknya. Selina menggertakkan gigi. Di satu sisi, ia lega Bram tidak berusaha mendekatinya. Lelaki berkemeja biru itu bahkan bersikap seolah tak pernah mengenalnya. Namun, di sisi lain, terasa menyakitkan.

Bram dan rombongan dari PT Atmaja Building meninggalkan ruangan, sementara Selina masih termangu. Semua bagai mimpi. Lebih tepatnya, mimpi buruk.

Sisa hari itu, Selina habiskan untuk membuat gambar kerja bersama dengan kedua anak buahnya. Senja yang datang membuat wanita itu berkali-kali melirik arloji. Pekerjaan masih banyak. Haruskah ia lembur?

“Kita lanjutkan besok saja, ya.” Akhirnya Selina memutuskan, sambil menggulung kertas A3 yang terhampar di meja besar. “Sudah malam.”

“Masih pukul tujuh, Bu.” Johan memprotes. “Belum terlalu malam.” Lelaki lulusan D3 itu memang masih lajang. Tak ada beban. Semangat kerjanya juga masih membara. Usianya baru dua puluh tiga tahun.

“Aku setuju sama Bu Selina.  Lanjut besok saja, Mas.” Pertiwi berujar, seraya memijat bahunya yang pegal.

Selina merapikan alat gambar. Ia memang tak bisa lembur. Pikirannya terus tertuju kepada seseorang yang menunggunya di rumah.

***

Bram meletakkan kertas yang dibacanya di meja. Dijalinnya kesepuluh jari, lantas menarik lengan ke atas demi meregangkan otot bahu dan punggung yang terasa kaku karena berjam-jam mempelajari berkas-berkas proyek Mal Pualam Indah. Setelah menggeliatkan badan ke kanan dan kiri, lelaki itu menyandarkan punggung dan merenung.

Ketika menerima daftar nama anggota tim dari Jinowan Arsitek, lelaki itu sempat berpikir untuk meminta dipindahkan ke proyek lain saja. Sayang, empat hari lalu, saat Bram menghadap, Leo sedang emosi. Direktur utama PT Atmaja Building itu melempar berkas laporan salah satu proyek ke meja, begitu bertenaganya hingga bundel kertas tersebut meluncur melintasi permukaan meja dan jatuh ke lantai. Saat itu, Bram dan Hendi hanya bisa diam. Duduk tak bergerak di depan meja kerja atasan mereka.

“Kenapa bisa pengerjaan rest area itu tidak sesuai jadwal? Malah kabarnya ada alat proyek yang hilang!” Suara Leo Atmaja menggelegar di siang bolong. Sudah hampir jam makan siang, tetapi rasa lapar rupanya tak menyurutkan kegeraman Leo.

“Akan segera saya selidiki ke lapangan, Pak,” ujar Hendi segera.

“Bagus,” sahut Leo. “Panggil site manager dan site engineer yang bertugas.”

“Baik, Pak.”

Detik itu juga, Bram mengurungkan niatnya mengajukan perpindahan proyek. Suasana hati atasannya sedang tidak bagus.

Ketukan di pintu memutus amukan Leo.

“Masuk!” tukas Leo ketus.

Pintu terbuka. Sekretaris mempersilakan Farah Dinata—istri Leo—masuk. Kemudian, sang sekretaris segera undur diri, tahu situasi sedang panas di dalam ruangan.

Farah melangkah mendekat. Wanita berjilbab hijau itu memandang suaminya, kemudian matanya turun ke berkas di lantai.

Leo menatap tajam istrinya, lantas membuang napas. Dengan gerakan kaku, lelaki itu keluar dari balik meja kerja dan berjalan menghampiri berkas yang tergeletak. Ia berjongkok, lalu memungut kertas-kertas dari lantai. Setelah berdiri kembali, diletakkannya laporan itu di meja. Bram dan Hendi memilih pura-pura menjadi patung.

“Silakan kembali bertugas. Pak Hendi, segera bereskan masalah di proyek rest area,” perintah Leo. “Dan Pak Bram, selamat memimpin proyek Mal Pualam Indah di Malang.”

Tak ada yang bisa Bram lakukan selain berkata, “Baik, Pak.” Ia masih betah bekerja di sini. Dari tiga perusahaan tempat ia pernah bekerja, gaji dan fasilitas PT Atmaja Building yang paling bagus.

Bram dan Hendi bangkit dari kursi dan undur diri. Ketika melewati istri Leo, Hendi tersenyum ramah sambil mengangguk, sementara Bram hanya mengangguk tanpa senyum. Wanita itu membalas dengan anggukan sopan.

Pintu sudah hampir tertutup di belakang punggung Bram, ketika ia mendengar suara Leo. “Tadi aku hanya meletakkan berkas itu di meja, Sayang. Lalu jatuh sendiri.”

Alis Bram terangkat. Tangannya menahan gerakan pintu yang akan menutup hingga masih menyisakan celah kecil.

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang