Part 11 Hidung dan Dagu yang Unik

308 28 0
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 11
Hidung dan Dagu yang Unik

.
.

Wanita itu berdiri gelisah. Pikirannya membayangkan seorang gadis kecil. Bukankah sekarang waktunya Riri pulang sekolah? Di mana ia? Apakah ia kehujanan?

Selina mengeluh pelan. Ia perlu menghubungi Riri untuk mengecek keadaan putrinya saat ini. Akan tetapi, Bram tengah berada di dekatnya. Ia takut lelaki itu mengetahui hubungannya dengan Riri.

Selama beberapa menit, Selina hanya diam dibelit risau. Jari-jarinya memegang erat buku catatan, mengetuk-ngetuknya dengan gelisah. Sepasang matanya yang berbulu lentik terus mengamati hujan.

Duh, semakin deras. Riri, kau di mana? Sedang apa, Nak? Semoga tidak kehujanan. Pikiran Selina tak bisa tenang.

Bisa, pikir Selina. Ia akan menelepon Riri, tetapi tanpa menyebut kata “bunda”. Ia akan sangat berhati-hati saat berucap. Dirinya harus menelepon Riri. Gelisah dan cemas ini dapat membuatnya menjadi gila.

Setelah menarik napas dalam, Selina merogoh saku celana panjangnya, mengeluarkan ponsel. Ditekannya kontak Riri.

Setelah menunggu beberapa saat, baru terdengar suara anak kecil menjawab, “Iya, Bunda.”

Bunyi hujan deras membuat Selina harus memasang telinga tajam-tajam dan mengeraskan suara saat bicara agar Riri mendengar dengan jelas. “Kau di mana?”

“Di se ….”

Suara Riri tenggelam, tidak jelas terdengar, kalah dengan bunyi hujan. Selina menekan ponsel ke telinga kanan, sementara tangan kiri menutup telinga kiri, berusaha mengurangi suara dari sekitar. Gambar kerja dikepitnya di ketiak. “Apa, Ri? Bun ....” Ucapan Selina terhenti. Untung ia segera sadar. Hampir saja salah ucap. “Eh, maksudku, kamu di mana? Se apa tadi? Sekolah?” Selina membayangkan pasti Riri terheran-heran karena bundanya membahasakan diri “aku” kepadanya.

Hanya suara gemerisik. Selina mengerutkan alis. Kemampuan indra pendengarannya sudah dikerahkan maksimal. “Ha? Apa, Ri?”

Gemerisik.

“Duh, Riri? Ri?” Selina nyaris berteriak, saking gemas bercampur cemas.

“Di sekolah, Bunda.”

Akhirnya suara Riri terdengar meski kecil dan jauh.

“Di sekolah masih banyak orang, kan?” tanya Selina. “Kamu nggak sendirian kan di situ?”

“Ya, Bunda. Di sini hujan.”

“Di sini juga. Ya sudah, kamu berteduh dulu. Begitu hujan berhenti, langsung pulang, ya. Hati-hati naik sepedanya.”

Setelah Riri mengiakan nasihatnya, Selina menutup sambungan. Hatinya terasa lebih lega kini.

“Itu Riri anaknya Bu Endah?”

Suara bernada rendah itu membuat Selina terlonjak. Ia menoleh dan mendapati Bram berdiri cukup dekat. Kedua tangan lelaki itu terlipat di depan dada. Sepasang matanya tidak menatap Selina, melainkan terarah mengamati tetesan hujan di luar bangunan. Rizki, Gunawan, dan site engineer yang tadi ada di situ sudah tidak ada, mungkin masuk ke dalam.

“Eh, i-iya.” Selina menjawab ragu.

“Sepertinya Anda sangat dekat dengan anak itu.”

“Eh, saya … akrab dengan Bu Endah.” Wanita itu berusaha berdalih. Dimasukkannya ponsel ke saku celana. Setelah itu, diambilnya gambar kerja yang sejak tadi ia kepit. Tangannya yang memegang bundel kertas sedikit bergetar. Jantungnya berdegup kencang.

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang