Part 6 Jilbab Pertama

343 33 2
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 6
Jilbab Pertama

.
.

“Memangnya kamu, pingin bolos sekolah segala?” Selina tersenyum kecil seraya menggeleng. “Tante Endah sakit. Katanya demam. Tante kan baik banget sama kita, Ri. Bunda ingin nengokin.”

Riri mengangguk. “Iya, Bun. Nggak apa-apa. Nanti aku yang kunci pintu.”

Selina mengusap kepala putrinya dengan sayang. “Ya sudah. Bunda siap-siap dulu, ya.”

Selina beranjak ke kamar. Ia sudah siap dalam balutan kemeja putih dan kulot, dirangkap blazer abu-abu. Tinggal memakai jilbab. Ketika menyematkan peniti, gerak tangannya terhenti. Dilihatnya wanita berwajah bentuk hati di cermin menatapnya dengan mata sayu. Kerudung abu-abu membungkus wajahnya yang terlihat kurus. Perlahan, dibelainya bagian bawah kerudung yang menjuntai. Endah berjasa membuatnya mengenakan kain penutup kepala ini.

“Ini buat kamu, Lin. Dipakai, ya. Biar makin cantik dan salihah.” Begitu ucap Endah ketika memberinya jilbab merah setengah tahun yang lalu.

Saat itu, Selina menggeleng sungkan. “Terima kasih, Mbak. Tapi, aku belum pantas mengenakan jilbab.”

“Lho? Kenapa?”

“Aku belum baik, Mbak. Masih banyak dosa.”

“Lha? Menutup aurat kan kewajiban semua muslimah, Lin, terlepas dia banyak dosa atau enggak. Kalau nunggu jadi orang suci tanpa dosa dulu baru memakai jilbab, ya kayaknya nggak bakal sampai.” Endah mengambil tangan Selina yang berada di keyboard laptop dan meletakkan empat bungkus plastik berisi jilbab merah di telapak tangannya. “Ini dua jilbab buat kamu, dan dua buat Riri.”

Selina termenung, memandang kain-kain dalam plastik di tangannya dengan perasaan campur aduk.

“Jangan ditunda-tunda, hanya karena merasa belum cukup baik untuk menjadi muslimah berjilbab. Menutup aurat itu kewajiban. Kalau tidak dilakukan, malah berdosa. Kamu nggak mau kan menambahi dosa?” Endah tersenyum, hingga pipinya yang chubby makin menggelembung. “Tutup dulu aurat, nanti, akhlak dan perilaku sambil jalan diperbaiki juga. Yuk, sesekali temani aku ikut pengajian di dekat rumahku. Riri ajak aja biar nggak sendirian di rumah.”

Selina mendesah ragu.

“Memangnya kamu melakukan hal buruk apa sih, Lin?” Endah menatap Selina penasaran dari balik lensa kacamata. 

    Selina hanya menggeleng lembut sambil tersenyum sayu.

Endah mendecak. Ia tahu, percuma untuk mengorek Selina. Sejak masuk Jinowan Architect, teman kantornya itu selalu pendiam dan tertutup, terutama masalah pribadi. “Aku nggak tahu kamu ada masalah apa. Tapi, selama berteman, aku merasa kamu orang baik. Kalau butuh tempat curhat, kapan pun aku siap ya, Lin.”

Selina mengangguk, meski tak berniat untuk menceritakan isi hati. “Makasih, ya, Mbak. Nanti jilbabnya aku sampaikan ke Riri.”

Riri sangat senang diberi hadiah jilbab. Ringan saja bagi gadis cilik itu untuk mengenakan kain penutup kepala tersebut ke mana-mana, karena beberapa temannya juga berjilbab.

Berbeda dengan putrinya, Selina membutuhkan tiga bulan penuh sampai akhirnya memantapkan diri untuk mengenakan jilbab pemberian Endah. Pengajian-pengajian yang dengan bujukan Endah ia hadiri sepekan sekali mampu menyentil kesadarannya dan membuka nurani.

Menepis lamunan enam bulan lalu, selina bergegas merapikan jilbab abu-abunya. Bila pada mulanya ia dan Riri hanya memiliki jilbab merah pemberian Endah, kini mereka berdua telah membeli beberapa jilbab yang sesuai dengan warna favorit masing-masing. Kalau merah, itu warna favorit Endah. Dua bulan lalu, Selina bahkan mengeluarkan tabungannya untuk mengganti semua seragam sekolah Riri menjadi lengan panjang lengkap dengan jilbab putih dan cokelat pramuka.

Meski demikian, sesungguhnya masih ada satu keresahan besar yang ia pendam. Dihelanya napas yang terasa sesak seraya beristigfar. “Ampuni aku, ya Allah. Ini karena aku sangat takut kehilangan dia.”

***

Masih pukul 6.30 pagi. Selina memacu sepeda motornya keluar dari perumahan Sawojajar. Jeruk, apel, dan susu beruang yang telah ia beli kemarin malam berada dalam plastik yang tergantung di cantelan motor. Semua itu buah tangannya untuk Endah. Setengah jam, waktu yang ia butuhkan untuk sampai di Jalan MT Haryono, daerah rumah teman kantornya berada.

Ketika melewati universitas tempat dulu ia menimba ilmu, Selina melirik. Dihelanya napas yang tiba-tiba terasa sesak sambil tetap melajukan sepeda motor. Tatkala melewati gerbang belakang universitas, mendadak ia menekan rem. Tanpa bisa dicegah, memori itu kembali berputar bagai film dokumenter di dalam kepala.

***

“Mas Bram!”

Di gerbang belakang universitas ini, Dilla melambai gembira di samping Selina. Mereka berdua saat itu masih mahasiswi.

Selina mengikuti arah lambaian temannya. Dilihatnya seorang laki-laki muda berkaus hitam berdiri di seberang jalan, membalas lambaian Dilla.

Bram menyeberang jalan dan menghampiri mereka.

Lumayan juga selera Dilla, pikir Selina, melihat sekilas wajah lelaki itu, sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain. Yang langsung terlihat adalah paras manis dengan hidung berbentuk paruh elang. Unik.

“Mas jemput aku?” Dilla bertanya semringah.

Lelaki itu tersenyum kepada Dilla yang kini bergelayut manja di lengan kirinya. “Ya. Sekalian ngajak kamu makan siang.” Kemudian, matanya beralih pada Selina. “Oh, kamu sama temanmu.”

“Iya, Mas. Mau ngerjain tugas kelompok bareng.” Sudut-sudut bibir Dilla mendadak melengkung ke bawah. “Duh, gimana, dong? Aku pingin makan siang sama Mas Bram.”

Selina jadi tidak enak hati. Maunya sih meninggalkan Dilla berdua dengan lelaki yang barangkali kekasihnya itu, tetapi tugas kelompok mereka besok harus dikumpulkan.

“Ya sudah. Ajak saja temanmu makan bareng kita.” Bram memberi solusi.

“Oh, nggak usah.” Selina buru-buru menolak. “Nggak apa-apa aku nggak jadi makan siang bareng Dilla.”

Bram memandang Selina dengan sebelah alis terangkat. “Lho, katanya mau ngerjain tugas kelompok bareng?”

“Iya. Nanti aku dan Dilla bisa ketemuan lagi setelah makan siang. Aku nggak mau gangguin kalian pacaran.”

Lelaki itu terbahak, membuat Selina kaget. “Pacaran? Aku ini kakak Dilla.” Sepasang mata hitam Bram menatap Selina geli.

“Ooh.” Pipi-pipi Selina memerah. “Maaf, Mas. Aku nggak tahu. Kukira … duh ….” Gadis itu menyentuh pipi.

“Nggak apa. Gabung saja sama kami. Kalau enggak, nanti jadinya aku yang nggak enak sudah mengganggu rencana kalian.”

Selina memandang Dilla, bertanya tanpa suara.

Dilla menggosok ujung hidungnya yang pendek bulat sembari menghela napas. “Ya udah. Kamu makan siang aja bareng aku dan Mas Bram. Habis itu, baru kita ngerjain tugas.”

Selina pun mengekor kakak beradik itu berjalan ke Ibi Kafe. Tempatnya nyaman, dengan tempat duduk lesehan.

“Mau pesan apa? Biar Mas traktir.” Bram menyodorkan kertas menu kepada Dilla yang langsung menyambut antusias. Di meja kecil itu hanya ada selembar kertas menu, jadi Selina menunggu dengan sabar.

“Namamu siapa, Dik?” Bram beralih pada Selina yang duduk berseberangan dengan Dilla. Sementara ia dan adiknya bersebelahan.

“Selina, Mas.”

“Aku Bram.”

Selina mengangguk kecil sembari tersenyum.

“Nih, Mas. Aku udah selesai milih.” Dilla menyodorkan kertas menu kepada kakaknya.

Bram mengambil daftar menu dan meletakkannya di depan Selina. “Kau duluan.”

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang