Part 8 Anak Bu Endah

299 33 2
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 8
Anak Bu Endah

.
.

Bram urung menuju ruang kerja arsitek dan berbelok ke pantri. Rizki dan Agus mengekor.

Dehaman Bram membuat Selina menoleh, dan seketika membelalak bagai melihat hantu. Bunyi berdenting terdengar ketika sendok yang dipegang wanita itu jatuh membentur lantai.

“Mas Br … eh, maksud saya, Pak Bram.” Selina mencericit. Suaranya seperti susah keluar dari tenggorokan.

Bram mengangkat sebelah alis, mengerutkan kening. Sementara Rizki memandang Selina dan atasannya bergantian, tampak heran. Agus diam menunggu.

“Oh, ini Om yang beliin es krim.” Riri yang kini ikut menoleh, berseru. Bibir mungilnya langsung melengkungkan senyum lebar.

“Riri.” Serta merta Selina meraih kedua bahu Riri, menghadapkan tubuh kecil itu ke arahnya. “Kau pergilah ke minimarket. Beli jajanan, lalu langsung pulang.” Dilepaskannya bahu Riri, lalu sibuk merogoh kantong blazer. Ujung jilbabnya bergoyang di tiap gerakan panik tubuhnya.

“Duh, Riri, ayo kita ambil uang di tas saja,” ajak Selina setelah tak menemukan apa pun di kedua saku blazernya kecuali tisu. Buru-buru ia berdiri dari kursi pantri. Tempat duduk berkaki tinggi tersebut nyaris jatuh saking kakunya gerakan turun mendadak yang dilakukan penghuninya. Deritan keras terdengar saat kaki kursi menggeser lantai.

Selina buru-buru mengangkat Riri dari kursi dan menurunkannya ke lantai, di bawah pandangan heran Bram, Rizki, dan Agus.

“Bukannya kita belum selesai makan?” protes Riri.

“Nanti saja dilanjutkan makannya ya, Ri. Sekarang beli jajanan dulu.” Ia menoleh ke arah Bram. “Maaf, Pak. Mohon tunggu sebentar.” Kemudian, wanita itu menyeret Riri pergi.

Rizki garuk-garuk kepala, Agus mengangkat kedua alis, sementara Bram berkacak pinggang sambil memandang kepergian dua wanita beda generasi itu.

“Bagaimana, Pak?” tanya Rizki.

Bram memandang sendok yang tergeletak di lantai. “Kita susul ke ruang kerja arsitek.”

Begitu sampai di meja kerjanya, Selina langsung menyambar tas yang berada di kursi. Dengan gugup, ia membuka ritsleting, lalu mengeluarkan dompet abu-abu berhias kupu-kupu kecil. Ditariknya selembar uang keluar dari dompet. Wanita itu segera berbalik dan meraih tangan Riri. Diabaikannya tas dan dompet yang masih terbuka, belum dirapikan. “Ri, pergilah beli jajan, lalu ambil sepedamu, dan langsung pulang.”

Alis Riri berkerut. “Bunda kenapa, sih? Kok kayak takut habis ketemu monster? Lagian aku masih belum pingin pulang. Di rumah sepi, Bun. Aku masih pingin di sini sama Bunda.”

Jantung Selina seolah mempercepat detaknya sendiri, kala dari sudut mata ia menangkap Bram dan anak buahnya berjalan memasuki ruangan.

“Ri, dengarkan Bunda. Turuti Bunda,” desis Selina, menatap tajam Riri. Ekspresi campuran marah dan pucat di wajahnya membuat si gadis cilik keheranan.

“Bun … da?”

“Sana, Ri. Cepat!” Selina mendorong tubuh putrinya. “Bunda janji, nanti pulang cepat.”

Dengan muka manyun, Riri menurut. Kentara sekali ia enggan. Bibirnya mengerucut dan langkahnya diseret. Ketika berpapasan dengan Bram, gadis cilik itu bahkan lupa untuk menyapa atau sekadar tersenyum.

Selina menata napasnya yang agak tersengal sambil mengawasi sosok gadis kecil yang kini telah mencapai pintu ruangan. Ditegakkannya tubuh kala Bram dan rekan-rekannya mendekat.

“Kenapa anak itu? Cemberut gitu?” celetuk Rizki kepada Selina.

“Oh? Eh, biasa, Pak. Anak kecil kan mudah ngambek,” jawab Selina, kemudian menunduk, menyibukkan diri menutup dompet, lalu memasukkannya ke dalam tas.

“Tidak saya sangka Bu Selina begitu dekat dengan anak Bu Endah,” ujar Bram. Yang diajak bicara sontak mendongak, menatap Bram sambil melongo.

“Jadi anak tadi anaknya Bu Endah?” tanya Rizki. “Dia yang es krimnya jatuh kemarin itu kan, Pak?”

Bram mengangguk.

“Wah, Bu Selina baik sekali, mentraktir anaknya teman. Tadi saya sempat mengira itu anak Bu Selina, soalnya terlihat akrab.” Rizki tersenyum. Matanya memancar ramah ke arah Selina.

“Oh, iya ....” Otak Selina berputar cepat, berusaha mencerna situasi, mencari celah untuk berkelit. “Saya akrab dengan Bu Endah, jadi tentu saja dekat juga dengan … eh, anaknya.” Kemudian, wanita itu menggigit bibir. Keringat dingin terasa menuruni punggungnya.

“Ehm, baiklah.” Bram menggerakkan dagu ke arah gulungan kertas di tangan Rizki. “Kami datang untuk membicarakan tentang shop drawing. Ada yang perlu diperbaiki. Bisa kita ke ruang rapat bersama tim drafter?”

“Oh, baik, Pak.” Selina mempersilakan tiga tamu dari PT Atmaja Building memasuki ruang rapat dan bergegas memanggil Johan dan Dewi.

Rizki menggelar gambar kerja yang tadi pagi diambil oleh Agus dari Jinowan Architec.

“Ini gambar yang kami terima dari Jinowan Architec.” Bram mengetuk gambar itu.

“Benar, Pak. Tadi pagi Pak Agus mengambil gambar itu kemari. Kami telah membuatnya lengkap dengan elevation dan section,” jawab Selina.

“Ada yang tidak sesuai dengan DED.” Bram menatap Selina tajam, membuat wanita itu resah.

Rizki membuka Detail Engineering Design dari konsultan perencana.

“Coba perhatikan bagian ini. Ada kekeliruan.” Bram menunjuk bagian yang ia maksud, membandingkan kedua gambar.

Napas Selina tertahan. Matanya membelalak. Astaga! Benar, ada detail yang salah. Ia tahu siapa pembuat gambar yang keliru tersebut. Dewi. Diliriknya Pertiwi Dewi yang berdiri sambil menggigit bibir. Wajah anak buahnya yang masih muda itu terlihat ketakutan.

Duuh, ini salahnya, Selina menyesali. Seharusnya ia memeriksa terlebih dahulu pekerjaan anak buahnya sebelum diberikan kepada tim PT Atmaja Building. Hanya saja, kegalauan yang menghantuinya akhir-akhir ini sehubungan dengan Riri membuat konsentrasinya sering buyar, sehingga kecepatan kerjanya menurun. Ketika Agus datang menagih gambar tadi pagi, pekerjaannya belum rampung. Ia tergopoh-gopoh menyelesaikan bagiannya sendiri sehingga tidak sempat memeriksa bagian Johan dan Dewi. Dan, sekarang, ternyata ada yang keliru. Aduuh ....

“Kami mohon maaf, Pak,” ucap Selina. “Akan segera kami perbaiki.”

“Bu Selina tahu kan, keterlambatan gambar kerja dapat membuat pelaksanaan proyek ikut terhambat?” Bram berkata tajam.

Selina tertunduk. “Saya tahu. Sekali lagi mohon maaf, Pak.”

Bram mengembuskan napas. Dari kantor tadi ia kesal dan ingin mendamprat, tetapi melihat wajah memelas Selina saat ini, timbul sedikit rasa tidak tega. Apa kesalahan gambar ini yang membuat wanita itu sepucat mayat, atau ada masalah lain lagi?

***

Selina membuka pintu dan langsung ditubruk seseorang hingga terhuyung ke belakang.

Meski lelah, wanita itu tertawa. “Riri, Sayang, sudah menunggu lama, ya?” Dengan lembut, dibelainya pipi gadis cilik yang kini mendekapnya erat.

“Bunda bilang pulang cepat, tapi kenapa sampai malam?” gerutu Riri, merajuk.

Selina mendaratkan kecupan demi kecupan di kepala Riri dengan perasaan bersalah bergejolak. Saat ini, jam dinding telah menunjukkan pukul delapan malam. Dipeluknya erat tubuh mungil itu. “Maafin Bunda ya, Ri. Tadi ada pekerjaan mendadak. Kamu ingat nggak Om Bram yang tadi datang waktu kita makan siang?”

Riri mendongak, memandang wajah Selina, kemudian mengangguk.


WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang