Part 5 Jauhkan Riri dari Kantor

396 42 2
                                    

Judul: WAJAH BIDADARI
Nama Penulis: Triana Kumalasari

Part 5
Jauhkan Riri dari Kantor

.
.

“Eh, nggak usah,” tolak Endah. “Kan bukan kamu nitip, aku sendiri yang beliin.”

Namun, Selina memaksa. “Mbak Endah perhatian sama aku aja, aku udah makasih banget. Jangan ditambah dengan jajanin, ah.”

“Yo wes, yo wes.” Endah mengalah. Diterimanya uang Selina.

“Eh, apa itu? Mbak Endah juga beliin es krim dan cokelat buat Riri?” Selina menunjuk kantong plastik kecil yang dibawa Riri. Dibukanya dompet kembali, tetapi Endah menahan tangannya.

“Bukan aku. Jajanan Riri itu dari Pak Bramantyo.”

Dompet Selina terjatuh ke lantai. Pemiliknya bagai tak menyadari. Sepasang matanya membelalak. Bibirnya terbuka. Wajahnya memucat. “Si-siapa? Siapa yang membelikan Riri es krim dan cokelat?”

“Pak Bramantyo.” Endah mengulangi. “Itu lho, project manager dari PT Atmaja Building.”

Seketika Selina merasa tubuhnya lemas, bagai tulang-tulangnya tak lagi berfungsi. Dadanya mendadak sesak, seakan lupa cara bernapas.

“Lina, kamu kenapa?” Endah menggoyang bahu kanan Selina. “Kok mendadak pucat? Duh, pasti karena telat makan.”

Selina mengabaikan Endah, dan segera menghadap Riri. “Ri, kenapa orang itu membelikanmu jajanan? Jawab Bunda!”

Riri terlonjak, kaget dengan pertanyaan bernada tinggi itu. “O-om itu jatuhin es krimku, Bun. La-lalu, dia ganti beliin.”

Selina mendesah, lunglai. Kenapa Riri harus berkenalan dengan lelaki itu? Setelah sejenak terdiam, ia meraih si gadis cilik, memegang erat lengan-lengan kecilnya. “Riri, dengar Bunda, jangan pernah bicara dengan Om Bramantyo lagi. Berjanjilah kepada Bunda, jauhi Om itu.”

Dahi mungil Riri berkerut. “Kenapa, Bun? Om tadi baik, kok. Kata Bunda kan nggak apa-apa berteman dengan teman kantor Bunda.”

“Memangnya kenapa sih, Lin?” Endah merangkulkan tangan gemuknya ke bahu Riri, tak tega melihat gadis cilik itu melengkungkan bibir dengan sudut-sudut ke bawah. “Betul kata Riri, Pak Bramantyo itu baik kok sama Riri. Tadi aku lihat sendiri.”

Beberapa karyawan masuk. Di ruang itu, meja-meja lebar dipakai dua orang. Tidak ada tempat khusus untuk setiap karyawan. Semua orang boleh berpindah-pindah tempat agar tidak jenuh. Jendela kaca lebar menampilkan halaman samping yang penuh tanaman hijau.

Selina melirik rekan-rekannya yang baru kembali dari makan siang, lantas menghela napas. “Sudahlah. Ayo kita makan dulu, Ri. Kau mau makan nasi soto atau katering?”

“Soto!” Riri berseru.

Selina mengambil tas merah jambu dari punggung Riri, lantas mengeluarkan kotak bekal berwarna bening yang di dalamnya terlihat menu katering hari ini. Diajaknya putrinya keluar ruangan, menuju pantri. Sementara itu, Endah kembali ke ruang administrasi.

Riri duduk di kursi pantri yang memiliki bantalan bundar dengan kaki kursi yang tinggi sambil menikmati nasi soto hangat, sementara Selina memakan jatah katering putrinya dengan perlahan. Wanita itu tak bisa menikmati cah kangkung dan jamur goreng yang sebenarnya enak tersebut. Pikirannya tidak fokus. Perasaan khawatir mendominasi benak.

“Bunda, Om Es Krim, eh Om Bramantyo, hidungnya kok kayak aku, ya?”

Celetukan Riri sontak membuat Selina tersedak. Ia terpaksa berhenti makan karena terbatuk-batuk.

“Bunda kenapa?” Riri meletakkan sendok. Tangan kecilnya menepuk-nepuk punggung Selina.

“Ter-se-dak,” jawab Selina, berusaha menetralkan kekagetannya. “Mungkin makan Bunda tadi terburu-buru.”

“Kan Bunda yang nyuruh aku makan pelan-pelan.” Gadis cilik itu mendekatkan minum ibunya. “Minum dulu, Bun.”

Selina meneguk air dalam gelas. Setelah mengatur napas sejenak, ia menatap putrinya lekat-lekat. “Ri, kemiripan wajah ataupun hidung orang itu biasa terjadi. Tak ada yang aneh dengan hal itu.”

“Benarkah?” Sepasang mata Riri mengerjap, tampak belum yakin.

“Iya.” Selina berusaha tersenyum, berharap cukup meyakinkan. Semoga Riri tidak memikirkan kemiripan itu lagi.

Riri terdiam sejenak. Kemudian, ia mengangkat bahu dan melanjutkan makan. Selina mengawasinya nyaris tak berkedip.

“Riri sayang.” Perlahan, Selina menyentuh lembut bahu putrinya. “Bunda rasa, untuk sementara waktu, kau jangan ke kantor Bunda lagi, ya.”

Riri menghentikan kunyahan, menoleh ke arah bundanya dengan kedua alis terangkat. “Kenapa?”

“Karena ….” Selina bingung mencari alasan.

Riri masih menunggu. Kini alisnya berkerut. Mata kecilnya berkedip.

“Emm, karena … yah, karena sebaiknya begitu.”

Bibir mungil Riri langsung mengerucut. Ia menggeleng. “Nggak mau, Bunda. Aku maunya tetap main ke sini. Aku bosan sendirian di rumah terus.” Manik bening itu kini berkaca-kaca, membuat hati tak tega.

Selina merengkuh putrinya. “Maafkan Bunda, Sayang,” bisiknya. “Bunda nggak bisa sering nemani kamu. Tapi Bunda kan memang harus kerja untuk makan kita, untuk sekolah Riri, juga untuk membayar cicilan rumah. Untuk kita, Nak.”

Beruntung, para karyawan lain masih kenyang setelah makan siang, sehingga anteng di kursi kerja masing-masing. Tidak ada yang mengganggu adegan haru mereka berdua di pantri.

“Kalau begitu, biarkan aku main ke sini, Bunda,” pinta Riri, memelas.

Selina hanya diam.

***

Malam itu, Selina tak dapat tidur. Ia terus mengganti posisi miring ke kanan dan kiri di ranjang. Akhirnya wanita itu bangkit dan menuju dapur. Berharap segelas air dapat menenangkan gelisahnya.

Aliran air menyejukkan kerongkongannya. Namun, sayang, tidak berpengaruh banyak pada suasana hatinya. Selina menarik embuskan napas perlahan. Diletakkannya gelas ke meja.

Setelah meninggalkan dapur mungilnya, Selina tak langsung kembali ke kamar. Ia masuk ke kamar Riri yang bersebelahan dengan ruang tidurnya. Ruangan kecil bercat merah jambu itu sangat cocok untuk gadis ciliknya.

Selina berhenti di sisi ranjang berukuran double, memandang putrinya yang tengah lelap sambil memeluk Jenny si boneka kelinci. Perlahan, wanita itu duduk di tepi ranjang, lalu menyentuhkan jemarinya ke kepala Riri, mengusapnya pelan.

“Kamu bidadari Bunda, Nak,” bisik Selina. “Kamu alasan Bunda mampu bertahan dan terus berjuang. Tetaplah bersama Bunda.”

Wanita itu membetulkan selimut Riri yang sedikit tersingkap, lalu membaringkan tubuh di samping si gadis kecil. Malam terus bergulir. Selina melewatinya sambil memeluk putrinya. Perlahan, ia pun terlelap.

***

Selina memperhatikan putrinya menyendok nasi putih, meletakkan ke piring. Kemudian, Riri mengambil telur mata sapi. Setiap pagi, memang Selina selalu menyediakan makanan yang praktis dan bisa dibuat cepat.

“Nanti siang, jadwal kateringmu capcay.” Selina mengecek menu di ponsel, lalu tersenyum kepada putrinya. “Wah, enak nih, Ri.”

“Nanti aku bawa kateringnya ke kantor Bunda, ya.” Riri menoleh bundanya dan memandang penuh harap. “Nggak enak makan sendirian, Bun. Sepi.”

“Makan di rumah saja ya, Ri,” bujuk Selina. “Nanti biar Bunda yang pulang jam makan siang.”

“Tapi habis itu aku ikut Bunda, ya. Enak di kantor Bunda, rame.” 

Selina menarik napas panjang. Kalau begitu sih sama saja bohong. Namun, wanita itu mengerti betapa tidak nyamannya sendirian bagi anak yang suka bicara seperti putrinya. “Em, Riri, bolehkah hari ini Bunda berangkat duluan? Bunda mau ke rumah Tante Endah. Sudah dua hari Tante nggak masuk kantor.”

“Tante Endah bolos, Bun?”

WAJAH BIDADARI (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang