It's Okay

8 1 0
                                    

(It's Okay - Treasure)

Tidak, dia tidak benar-benar mengancamku.

Kejadian tadi malam membuatku takut untuk pulang kerumah. Alva membuatku benci dengan keadaan. Aku rasa dia memang sudah gila. Konsentrasi ku buyar, aku tidak bisa fokus dengan pelajaran.

"El!" sontak aku langsung tersadar dari lamunanku,

"Lo kenapa?" Jenia nampak khawatir. Aku hanya menggelengkan kepala

"Lo pucat banget, gue anter ke UKS ya?" tawarnya, namun aku menolak.

"Lo daritadi ga fokus pelajaran, kita keluar aja ya." Jenia menarikku keluar kelas dan berbohong ingin ke toilet.

Sesampainya dirooftop, aku hanya menghembuskan napas berat dan menutup erat kedua mataku. Menikmati deru angin yang menerbangkan dedaunan.

"Lo bisa cerita ke gue el," Ujar Jenia dengan posisi sama denganku, menghadap hamparan lapangan sekolah yang luas.

"Gue lagi gak baik-baik aja jen," Jawabku dengan berusaha tegar.

"Gue tau," lirih Jenia. Aku membalikkan badan menyenderkan pundak didinding dan merosot terduduk.

"Gue gatau harus darimana, gue gatau harus dengan cara apa, gue gatau harus gimana Jen.." Jenia menatapku kasihan, dan ikut duduk disampingku.

"Gue.. Gue bukan anak kandung mereka Jen.. Gue bukan siapa-siapanya mereka.. " Aku tak bisa menahan kebenaran ini lebih lama.

Flashback

"Gue tegasin sekali lagi! Lo bukan adik gue! Lo bukan bagian dari keluarga Haidar Pratama!" Ucapannya bagaikan petir yang menyambar.

"Jangan suka ikut campur urusan orang lain! Lo cuma anak buangan yang ga sengaja ditemuin sama mama! Mama cuma kasihan sama lo!!!" Alva terus meneriakan kalimat-kalimat yang menyakitkan. Tak lupa ia juga memperlakukan ku seenaknya. Menamparku, mendorongku, dan yang lainnya.

Kali ini dia mencengkeram bajuku kencang. "Jangan sok jadi orang yang paling menderita, gara-gara lo mama papa harus banyak keluar uang!"

"Satu lagi, Jangan pernah urusin gue sama Clara atau lo bakal gue bikin kayak dia. Paham?" Aku hanya mengangguk pasrah dihadapannya.

Flashback end

Jenia sontak membulatkan matanya. Terlukis betapa khawatirnya dia.

"Mana badan lo yang sakit? mana el? biar gue obatin sekarang. Apa mau gue bawa ke UKS?" Dia terus bergerak dan menanyakan bagian tubuhku yang sakit karena perlakuan Alva. Aku hanya menggeleng dan mengarahkan tangannya.

"Disini Jen, hati gue yang sakit. Remuk. Udah ga tersisa." Tanganku bergetar begitu hebat.

"Clara hancur gara-gara gue, Anjani pergi gara-gara gue, mereka susah gara-gara gue, Alva Alya begitu benci sama gue. Semua gara-gara gue." Jenia langsung memelukku erat.

"Jangan, jangan, jangan salahin diri lo sendiri. Ini semua bukan salah lo. Gue disini, gue masih disini bareng lo el." Jenia menenangkanku.

"Lo tau? lo orang paling kuat yang pernah gue temuin. Jangan gini el, hati gue sakit dengerin tangisan lo." Lanjutnya,

Aku benar-benar jatuh. Jatuh dititik terendah untuk kedua kalinya. Salah, jika aku tidak memiliki siapa-siapa. Jenia, Juna, Bahkan Anjani terus bersamaku sampai sekarang.

Aku semakin mempererat dekapan Jenia. Tidak, aku tidak ingin kehilangan dia. Aku tidak ingin kehilangan untuk kesekian kalinya. Aku tidak ingin melepas pelukan ini seperti aku melepas Anjani kala itu.














































"Maaf Clara, apa kamu yakin dengan keputusan ini? Kamu tinggal beberapa bulan duduk dikelas 3." Pak Bagus mencoba menyakinkan Clara.

"Saya sangat yakin pak. Orang tua saya juga sudah setuju." Ucap Clara.

"Apa kamu bisa memberi alasan yang spesifik?"

"Saya mau pindah pak, bukan karena alasan lain."

"Apakah ada wali atau orang tua kamu?"

"Permisi pak, saya wali dari Clara. Perkenalkan saya Rendra kakak dari Clara." Alva memasuki kantor dengan percaya diri. Tentunya dengan dandanan samaran.

"Baik kalau begitu, jadi harus ada beberapa berkas yang diurus." Pak Bagus mempersilakan Alva duduk.

Terlihat Clara tidak bisa apa-apa, semua ini bukan keinginannya. Tapi Alva. Aku yang mendengar semua percakapan mereka sendiri tidak bisa berkutik.

Hanya bisa duduk diluar kantor dengan was was. Tak lama kemudian mereka berdua keluar dari kantor. Alva melihatku dengan wajah tangguhnya, sedangkan Clara hanya menunduk.

"Gue perlu bicara sama Clara. Kasih gue waktu." Pintaku ke Alva.

"Gue gak pernah main-main sama perkataan gue, 10 menit cepetan." Ujarnya. Aku menarik Clara berjalan ke belakang sekolah.

"Lo beneran mau ngikutin Alva? Gue gak yakin sama itu Ra, lo harusnya nolak dia, dan gue takut lo kenapa napa, gimana sama orang tua lo? sama keluarga yang lainnya?" Clara mengisyaratkan aku untuk diam.

"Gue gamau denger apa-apa lagi el, ini jalan satu-satunya. Ortu gue udah ga ada. Jadi buat apa?"

"Percaya sama gue, semua bakal baik-baik aja. Kalo gue ngelawan dia, itu baru ga baik-baik aja." Lanjut Clara.

"Tapi raa.. Gue khawatir sama lo." Aku menatapnya lekat.

"Gue tau, sorry. Kemarin gue bilang lo brengsek. Nyatanya lo sebaik ini sama gue El, Gue beruntung kenal sama lo. Rendra emang udah gila, berani nyakitin adiknya secantik ini."

"Lo tau?" Aku heran.

"He'em, dia cerita sama gue. Kalau gue udah ga lama hidup didunia ini, gue mau minta maaf sedalam-dalamnya sama lo El." Clara mulai melantur

"Lo ngomong apa sih Ra." Aku tak suka dengan gaya bicaranya.

"Gue udah bikin keputusan masuk kandang singa, pintunya udah ketutup. Ga mungkin gue selamat. Jadi gue cuma bisa pasrah." Clara mengakhiri kalimatnya dengan melebarkan senyumnya.

Aku segera memeluknya dan menggeleng. "Gak, lo ga boleh bilang gitu. Gue bakal ngeluarin lo dari kandang ini Ra. Gue janji. Gue bakal cari lo, gue bakal jemput lo dimanapun itu.." Clara mulai terisak dipundakku.

Lalu ia melepaskan pelukanku dan mengusap air matanya.

"Kalau bisa sebelum terlambat ya El, gue ga sekuat lo. Sampai jumpa Zeline, titip salam ke yang lain ya.."

Clara meninggalkanku sendirian, dia benar-benar sudah pergi dari hadapanku.

Tbc.

DIANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang