Hero

7 1 0
                                    

"Aduh! sakit!" Aku terus mengusap lututku yang tak sengaja terluka karena kelalaianku.

"Zel? ya ampun. Ceroboh lo ga pernah berubah." Raut kekhawatiran terlukis diwajah Juna.

"Aww, gabisa jalan jun. Ini gimanaa.." Aku merengek. Pagi ini aku bersepeda pagi bersama Juna, hanya berdua didekat perumahannya.

"Sini.." Juna mengisyaratkan aku untuk naik ke punggungnya.

"Kenapa diem?"

"Gue berat loh jun, terus sepedanya gimana?"

"Ck, urusan nanti, udah cepetan." Dengan paksaan Juna menggendongku.

"Ajun.." Lirihku memanggil namanya dengan panggilan kecilnya. Juna terlihat sedikit tertegun dan tetap melanjutkan jalannya.

"Gue mau ngomong, tapi jangan potong pembicaraan gue." Dia hanya mengangguk perlahan.

"Mungkin hidup gue ga seindah kehidupan milik orang lain. Terlihatnya satu per satu kenyataan yang bikin gue sadar, lika liku kehidupan itu ada nyatanya. Kenyataan yang sama sekali ga bisa gue terima, gue kehilangan Anjani. Kenyataan yang ga masuk akal, hubungan antara Clara sama Bang Alva. Kenyataan yang bikin gue sakit, gue bukan bagian keluarga Pratama." Juna memperlambat langkahnya.

"Hehe," Aku terkekeh. "Tapi disatu sisi, gue punya penyelamat yang ga ada duanya. Peri kecil gue yang udah bahagia diatas sana. Panglima yang selalu siap siaga apa adanya buat gue. Kurcaci-kurcaci yang terus membersamai setiap perjalannya gue." Juna menurunkan ku dari gendongannya, dan dia mengambil kotak P3K dirumahnya.

"Peri?" Tanya Juna sembari mengobati lukaku, aku bahkan masih bercerita dengan sendirinya.

"Iya, itu Anjani." Senyuman hangat terukir jelas diwajah Juna.

"Kurcaci? ada banyak dong?" Aku mengangguk, "Jenia, Clara, sama Iva. Sampai sekarang cuma mereka yang gue punya. Hati-hati jun ngobatinnya." Peringatku.

"Iyaa, ini udah hati-hati. Terus siapa panglimanya?" Aku diam. Mengamati setiap gerak gerik Juna. Dia yang sadar aku tiba-tiba diam, lalu segera menutup luka dan membereskan obat-obatan lalu duduk menghadapku.

"Dia... Panglima hebatnya tiada tara, banyak hal yang membuatnya kecewa. Tetapi ia tetap juga tegar. Berusaha menahan tekanan demi seorang anak perempuan yang tidak ada apa-apanya." Juna setia mendengarkan segala ocehanku.

"Menangislah jika dirasa sesak, marahlah jika kecewa, dan diamlah jika sudah lelah. Terus menjadi superhero tanpa memikirkan dirinya sendiri. Menjadi sebuah keegoisan bukan? Arjuna Narendra." Aku menatap matanya lamat ketika menyebutkan lengkap namanya.

"Sebuah kehormatanku menjadi seorang panglima. Benar, sebuah keegoisan yang terus terulang. Tapi tak masalah bukan jika egois untuk diri sendiri. Selalu mengutamakan kepentingan orang lain, selalu menolong orang lain, dan melupakan diri sendiri." Kini aku yang berusaha mencerna setiap kalimatnya.

"Sudah menjadi tugasku, untuk melindungi orang disekitarku. Apalagi demi seorang anak perempuan yang kau bilang tidak ada apa-apanya. Nyatanya dia yang mengajarkan ku semuanya. Mengajarkan tentang bersyukur, tentang arti hidup, luka, dan cinta yang sesungguhnya. Akupun tak akan pernah menyesali itu semua, Zeline Zakeisha." Hatiku menghangat ketika kalimat terakhir terucap.

"Lalu bagaimana dengan orang tua ku, siapa mereka?" Tanya Juna.

"Mereka..." Aku berpikir keras. "Mereka adalah sepasang burung merpati." Juna Heran.

"Karena mereka melambangkan kesucian, kesetiaan dan kebahagiaan. Mereka akan tetap menjadi yang terhormat dari segalanya yang ku punya."

"Lalu untuk Nathan, dia adalah seorang tangan kananku. Yang selalu bisa kuandalkan dalam keadaan apapun. Untuk dokter Sam, beliau adalah Tabib. Menyembuhkan segala keluh kesahku."

"Sempurna bukan?" Dua kata terucap dari bibirku.

"Sempurna, tapi akan lebih begitu sempurna jika kau mempunyai seorang raja." Juna memegang kedua tanganku.

"Raja?" Juna mengangguk kuat. "Tuhan. Ia yang telah menciptakan segalanya. Ia juga yang berkehendak atas takdir umatnya. Namun kembali dari diri kita. Jadi semua sudah sempurna."

Aku hampir saja melewatkannya, apa yang telah ku lalui selama ini adalah sebuah takdirnya. Aku tak pernah berharap kehidupanku begitu menyedihkannya, tapi apapun yang terjadi memberikan sebuah amanat diujung ceritaku nanti.

Bersyukur dikelilingi orang-orang baik, sudah membuatku bahagia dengan caraku sendiri.

"Zel! Kan malah ngelamun." Juna membuyarkan semuanya. "Can't be expressed in words, can't be realized with gifts. but I want to say thank you very much." Lanjutku.

"As a sign of my care, has become my duty and as an expression of my love." Sambung Juna.

"Cinta?" Lagi-lagi Juna hanya menatapku tanpa berkata sepatah apapun. Aku tak tau apa maksud dari tatapan matanya. Tapi ini begitu dalam dan menenangkan.

"Biar waktu yang menjawab Zel, gimana lukanya? Masih sakit?" Sontak aku mengecek luka dilututku. "Udah ga sesakit tadi kok," Aku cengingisan.

"Lagian kalau naik sepeda terus ada turunan itu direm, bukan makin dipedal mentalkan jadinya." Sial, Juna malah mengingatkan ku dengan kejadian tadi.

"Diem Jun, maluu guenyaaa." Wajahku memerah.

"Ga perlu malu, tadi cuma ada beberapa anak kecil, 3 pasang pasutri, 2 pasang anak pacaran. Mereka juga cuma ngeliatin, ga ngetawain." Ujar Juna dengan enteng.

"Iya mereka ga ketawa, tapi eluuu yang ketawanya kenceng bangettttt..."

"ZELINNEEEEE AWAASSSSS NUBRUUUKKK, terus habis itu BRUUUKKKK!!!! Jatuh sudahhh anak perempuan malang menabrak sebuah batu besar." Juna terus mengejekku dengan bergaya akting seperti reporter berita.

"Males ah, Ajun gitu muluuuu.." Aku merajuk didepannya.

"HAHAHAHA NGAMBEK ANJIRRRRR.." Dia malah tertawa seenaknya, tapi aku mempunysi jurus yang jitu.

"Zeline ngambek nih sama Ajunnnn." Dengan menyebut nama sakral itu wkwkwkwkwk.

"Eh eh ehhh, yaudah engga enggaaa. Bercanda doang yang zel, jangan marah." Berhasil!

"Bodo ah, mo pulang..." Aku berusaha berdiri namun kakiku malah terasa nyeri.

"Kan, berdiri aja belum bisa. Mo pulang? Pulang sendiri sana." Dia malah mengusirku begitu saja.

Aku langsung memelas didepan Juna.

Juna menghembuskan napas panjang dan berat. "Yaudah makannya ga usah banyak gaya, duduk. Gue beliin ice cream habis ini." Aku sumringah bukan main.

"Yee gitu aja seneng, gue yang susah."

Tbc.

DIANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang